Ayumajakuning

Akibat Beragam Alasan, Pengajuan Dispensasi Nikah Dini di Majalengka Tinggi

 

MAJALENGKAJumlah pemohon menikah dini atau di bawah umur di Kabupaten Majalengka masih cukup tinggi. Meski jumlahnya di bawah angka permohonan nikah dini pada saat pandemi beberapa tahun lalu.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Kabupaten Majalengka Aris Prayuda, saat menjadi pembicara pada acara diskusi publik membehas kekerasan terhadap anak dan perlindungan perempuan, yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Orda Majalengka, Kamis (2/11/2023) mengungkapkan,  angka pemohon dispensasi nikah dini per Oktober 2023 mencapai 370 orang, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

“Pada saat pandemi ada sebanyak 447 orang yang mengajukan permohonan dispensasi nikah dini, dengan alasan beragam. Pada saat pandemi ada yang menyebut tidak bisa sekolah dan bermain, hingga akhirnya memilih menikah,” katanya.

Menurutnya, untuk mencegah pernikahan di bawah umur, upaya yang bisa dilakukan di antaranya, perlunya perlindungan terhadap anak, menyediakan ruang untuk anak mengekpresikan diri serta berikan suasana yang aman dan nyaman bagi anak.

Ia menyebutkan,  aksi kekerasan terhadap anak terjadi di banyak tempat. Selain di sekolah, juga di pesantren dan di lingkungan keluarga. Padahal tempat-tempat tersebut  seharusnya menjadi tempat berlindung anak, bukan sebaliknya.

Aris menyampaikan, aksi kekerasan di lingkungan keluarga di antaranya ada anak yang dicabuli oleh pamannya bahkan orang tuanya hingga melahirkan. Kemudian ada kiai atau ustad yang melakukan aksi kekerasan seksual terhadap santri, hingga hamil dan punya anak.

“Santrinya dipaksa untuk mendirikan pesantren sedangkan anaknya disaftarkan sebagai penerima bantuan sosial. Kekerasan yang dilakukan jadi menumpuk,” katanya.

Ia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menjauhi korban aksi kekerasan. Namun seharusnya diberikan perlindungan agar psikisnya tidak semakin terganggu.

“Semua pihak harus peka terhadap kondisi sosial yang ada di lingkungan masing – masing, untuk mencegah aksi kekerasan terhadap anak,”katanya.

Pembicara lainnya, Uswatin dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan KB menyampaikan, kekerasan terhadap anak dan perempuan tidak hanya dilakukan melalui fisik, namun juga psikis lewat tekanan jiwa.

Namun kaum perempuan jarang bersedia mengungkapkan persoalannya. Apalagi harus melaporkan secara hukum pidana. Karena  hal itu dianggap sebagai aib serta banyak perempuanan yang tidak berdaya dengan keadaannya.

“Alasannya malu. Selain itu sudah punya anak, jadi kasihan anaknya. Jika dipolisikan khawatir semakin dendam serta kalau akhirnya berpisah takut tidak ada yang membiayai hidup. Karena si perempuan tidak mampu mencari nafkah sendiri atau tidak bisa hidup mandiri,” tuturnya.

Menurut dia, lembaganya  memiliki tempat pengaduan bagi para perempuan yang menerima aksi kekerasan dari suami dan juga pendampingan prikologis bagi anak yang menerima aksi kekerasan. Namun sayangnya, jumlah kasus dengan jumlah psikolog tidak sebanding. Sehingga pendampingan terpaksa harus antre.

“Jumlah kasus tinggi sedangkan psikolog hanya satu orang. Jadi kasus menumpuk hingga penanganan antrenya panjang,”katanya.(Tati)

 

 

Related Articles

Back to top button