Ayumajakuning

Tidak Menjanjikan, Anak Muda di Majalengka Tak Mau Jadi Petani

MAJALENGKA- Kabupaten Majalengka alami krisis petani dan pertanian, karena masyarakat lebih memilih bekerja di pabrik dibanding bertani atau bahkan bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga.

Lahan pertanian banyak yang tidur, terutama di musim gadu sehingga banyak lahan yang tidak produktif. Lahan hanya ditanami di saat musim penghujan setelah itu telantar, terlebih lahan tegalan dibiarkan tidak ditanami.

Menurut Bupati Majalengka Karna Sobahi, minat anak muda untuk bertani semakin tidak ada, karena kesan terhadap petani adalah berbaju compang camping, bergulat dengan lumpur serta memikul cangkul.

Kini di Majalengka buruh tani semakin sulit, karena masyarakat yang biasa bekerja di sawah semakin tua dan tidak mampu lagi bekerja, sedangkan anak muda enggan ke sawah.

Tak heran jika buruh tani ketika musim panen padi banyak mendatangkan dari wilayah Indramayu, atau tebang tebu dari Tegal  dan Pemalang. Mengolah lahan bawang merah dari Brebes.

Untuk membangkitkan minat bertani dan mengupayakan agar lahan bisa tetap produktif Bupati Majalengka ingin melakukan kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus mencari upaya tanaman apa yang cocok untuk ditanam di lahan tegalan atau tanaman di musim kemarau agar lahan bisa tetap produktif serta hasil pertaniannya  memiliki nilai ekonomi tinggi.

“Kami ingin bagaimana meningkatkan minat anak muda agar mau bertani. Semua tahu bahwa sektor pertanian paling bisa bertahan dari hantaman pandemi, jangan selalu muncul kesan  patani teh bajuna rabig, manggul pacul,” ungkap Bupati.

Dengan menjalin kerja sama dan bimbingan dari IPB diharapkan banyak muncul petani muda baru, kesan petani berbaju kumal pun hilang karena bisa saja bertani dengan teknologi baru dan produk pertaniannya memiliki pasar yang luas.

Sejumlah petani di wilayah Kecamatan Kertajati dan Jatitujuh membenarkan sulitnya mencari buruh tani, semua anak muda tidak ingin lagi bertani, mereka memilih mencari pekerjaan lain yang dianggap tidak terlalu capek dan kotor.

“Kalau anak muda tidak mau lagi bertani wajar karena orang tuanya juga menyekolahkan dengan tujuan agar jangan mengikuti jejak orang tuanya harus capek ke sawah dan kokotoran,” kata Yono salah seorang petani di Desa Kertawinangun, Kecamatan Kertajati.

Selain itu menurutnya, bertani tidak banyak menguntungkan jika pengolahan lahan dilakukan oleh pihak lain atau mengandalkan buruh tani. “Lahan juga semakin sempit, sewa lahan semakin mahal tidak sebanding dengan hasil,” kata Yono.

Kepala Desa Kertawinangun yang juga petani tebu Suparman membenarkan jika buruh tani kini semakin berkurang, demikian juga dengan petani. Bahkan dalam waktu tertentu buruh tani sulit diperoleh sehingga terpaksa harus mendatangkan dari luar daerah.

“Buruh panen terkadang susah, apalagi jika kondisi padi banyak diserang hama. Hanya beruntung sekarang bisa dipanen dengan mesin combine, jadi panen bisa cepat dan murah, tapi di lahan sempit tetap harus menggunakan orang,” katanya.

Untuk buruh tebang tebu sekarang hanya ada di beberapa daerah saja, seperti Desa Pasiripis, Pilangsari, Pangkalanpari, Pagandon dan Genteng. Jika di wilayah tersebut semua kerja, maka buruh tebang diambil dari Pemalang dan Tegal.(Tati)

 

Related Articles

Back to top button