Opini

Perbanyak Amal Baik Dalam Hidup

Oleh Dedy Sutrisno Ahmad Sholeh *

Alumni Prodi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

 

DALAM Alquran surat At-Taubah ayat 58: “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.”.

Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu.

Yang dikhawatirkan malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina.

Dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah ra. disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bila seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?”

Rasulullah Saw. bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi Saw. tetap menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala.

Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Umar bin Khaththab ra. bahwasanya Nabi Saw. Bersabda:

“Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrah-nya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut”.

Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah, maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga.

Ikhlas dalam beribadah dalam Islam merupakan pilar utama dalam ibadah bahkan menjadi ruhnya ibadah. Hal tersebut disebabkan karena amal seorang mukmin baru akan bernilai ibadah yang diterima oleh Allah SWT.

Menurut jumhur (kebanyakan) para ulama jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas (karena Allah) dan benar (sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw).
Para ulama meyakini bahwa niat ikhlas (amal batin) lebih utama dari amal lahir (perbuatan), meskipun kedua-duanya mutlak diperlukan adanya.

Niat artinya bermaksud, berkeinginan, atau bertekad. Yang merupakan amalan batin atau hati, karenanya tidak harus dilafadzkan. Sementara ikhlas artinya menjadikan Allah sebagai niat utama, tujuan utama, atau sebab utama dalam melakukan suatu amal.

Ikhlas kepada Allah SWT. maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. dan mendapatkan keridhaan-Nya.

Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi.

Pertama, dia memang ingin ber-taqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut.

Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik. Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi Saw. bersabda, “Allah SWT. Berfirman: “Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya.”

Kedua, dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan ber-taqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Dalam hal ini, Allah SWT. Berfirman dalam Alquran surat Hud ayat 15-16: “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”.

Perbedaan antara klasifikasi ini bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.

Ketiga, dia bermaksud untuk ber-taqarrub kepada Allah SWT., disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya -disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya; dia berhaji -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syiar haji (al-Masya’ir) dan bertemu para jamaah haji.

Hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan.

Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. mengenai para jamaah haji, yang termaktub dalam alquran surat Al-Baqarah ayat 198: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu.”.
Wallahu a’lam bisshawab.***

Related Articles

Back to top button