Opini

Penerimaan PPDB Sistem Zonasi Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh : D. Rusyono
Anggota Juang Kencana, Puspaga Kabupaten Kuningan dan Pengajar di STIKes Kuningan.

SEBUAH sistem diciptakan tidak lain terkandung maksud untuk mempermudah, melengkapi, menguatkan dan sebagainya yang bersifat kebaikan.

Tetapi ternyata tidak selamanya demikian, karena ada kalanya tujuannya baik tetapi cara pelaksanaannya tidak baik, sehingga hasilnyapun menjadi tidak baik, contoh lain dalam kehidupan sehari-hari.

Maksud menolong atau memberi saran kepada seseorang, yang sudah barang tentu maksudnya baik, tetapi cara penyampaianannya tidak baik, akhirnya bukan menjadi solusi malah menjadi ketersinggungan/kemarahan dari oang yang diberi saran dan sebagainya.

Begitu pula halnya dalam bidang pendidikan yang sekarang tengah menghangat di masyarakat dan di pemerintahan, sebut saja Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi.

Atau kalau diterjemahkan secara sederhana adalah Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru secara Zonasi dalam bingkai kurikulum Merdeka, Sekolah/Kampus Merdeka.

Tentunya sistem ini digulirkan dengan maksud/tujuan yang baik, ya paling tidak untuk memacu guru dan murid untuk belajar secara kreatif, kemudian untuk mendekatkan domisili murid dengan sekolahnya atau juga pemerataan cakupan murid baru di setiap tingkatan sekolah

Tetapi ternyata berbeda dari harapan karena berbagai hal, seperti dalam kurikulum merdeka perlu dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai baik secara lembaga maupun perorangan, inipun secara individu siswa tidak sama kondisi sosial ekonominya.

Secara gambaran kondisi,
masyarakat Indonesia termasuk di dalamnya Kabupaten Kuningan secara umum tetap ada rasa keinginan atau kepenasaranan untuk menyekolahkan putra putrinya di sekolah yang dikehendaki (sebut saja dulu sekolah pavorit).

Karena image atau stigma sekolah pavorit masih saja melekat di masyarakat. terlebih bagi masyarakat yang memiliki putra putrinya yang berkemampuan intelektualnya di atas rata-rata.

Dan hal ini sah-sah saja terjadi di masyarakat, karena secara kodrati tetap saja ada keinginan untuk memilih bahkan untuk berbeda (self esteem) nya antara individu yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak aneh apabila untuk mewujudkannya berbagai carapun ditempuh.

Sehingga langsung ataupun tidak berdampak kepada kebijakan dan masyarakat yang lainnya (si itu juga bisa kenapa saya tidak) dan sebagainya, belum bentuk KKN yang lainnya, akhirnya esensi dari zonasipun menjadi berbelok arah bahkan bias.

Disisi lain kebijakan zonasi ini tentunya ada keterkaitan dengan sektor lain,
sehingga memperpanjang dampak yang timbul, sebagai contoh salah satu
pihak/stakeholder yang terkait.

Sebut saja Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang memiliki kefungsian dan kewenangan dalam pelayanan administrasi kependudukan, kemudian ada warga yang mengurus kepindahan alamat/domisili, ya dengan serta merta dilayaninya tanpa tahu akan dipergunakan untuk tujuan apa.

Eh sambung cerita ternyata digunakan untuk mensiasati anaknya agar bisa diterima di sekolah yang diinginkan yang kebetulan berada di luar zona tempat tinggalnya, (baca penjelasan Kadisdukcapil Kab. Kuningan, 12 Juli 2023), atau juga ada yang mengistilahkan numpang alamat dan cara-cara yang tidak lazim lainnya.

Akhirnya muncul kesan ada permainan, ada ikut campur dan bisa disiasati sebagainya. Itulah fenomena atau sisi kurang baik dari kebijakan sistem Zonasi pada PPDB saat ini yang menuai banyak persoalan.

Hal ini wajar terjadi bagi masyarakat yang memiliki putra/putrinya dengan prestasi bagus tetapi domisilinya jauh di luar zonasi yang ditentukan, tetapi yang repot dari kalangan di luar itu yang memaksakan kehendak untuk mensiasati agar anaknya bisa masuk ke zona yang dikehendaki, akhirnya menjadi preseden tidak baik.

Selanjutnya Memperhatikan statemen dari Wabup Kuningan H.M. Ridho Sugandha, intinya minta pihak terkait agar meninjau/mengevaluasi kembali terhadap
pola Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru untuk SMP, SMA dan SMK karena menyulitkan siswa (kabarcirebon.com, 12 Juli 2023).

Akhirnya dengan tanpa bermaksud menggurui atau intervensi, sebagai
kapasitas warga masyarakat, secara prinsip saya sependapat dengan beliau (Pak Wabup Kuningan).

Bahkan kalau bisa kembali saja kepada sistem pasing grade, dimana sangat memungkinkan seorang calon siswa pelanjut ke jenjang pendidikan lebih atas yang mempunyai prestasi memadai akan sangat bisa masuk ke sekolah
yang diinginkannya, dengan dasar pertimbangan;

Pertama; Calon siswa akan terpilih dan terpilah secara capaian prestasi, secara
konsisten dari zona domisili manapun sepanjang memenuhi syarat grade yang telah ditentukan dan disepakati.

Silakan dan memang harus diterima oleh sekolah yang dituju, sehingga bisa berkesan lebih berkeadilan, sesuai dengan makna “Merdeka” masa kurikulum dan sekolahnya MERDEKA.

Sementara dalam melanjutkan sekolahnya seperti belum merdeka (meskipun pola passing grade juga bukan berarti segalanya) karena setiap polapun tidak lepas dari kurang dan lebih, tetapi paling tidak mendekati unsur konsistensinya lebih bisa dikedepankan.

Kemudian yang kedua; mudah-mudahan dapat menghindari praktek-praktek yang
tidak terpuji seperti dengan mengakal-akali zona dan sebagainya. Sedangkan yang ke tiga, ada dua hal yang harus dihindari yaitu:

1. Untuk pihak sekolah jangan ada anggapan bahwa siswa yang baik akan
terkonsentrasi di beberapa sekolah, meskipun hal ini secara sepintas demikian,
tetapi tidak perlu menjadi persoalan.

Karena melalui perjalanan KBM (Kegiatan Belajar dan Mengajar) tidak menutup kemungkinan akan banyak terbentuk siswa-siswa yang berprestasi (prestasi dalam arti luas mencakup semua sub sistem pembelajaran).

2. Kepada masyarakat tentunya diharapkan dapat mematuhi aturan grade yang telah ditentukan dan disepakati serta semoga menjadi hikmah tersendiri dengan aspek tempat tinggal.

Serta dapat menanamkan sikap dan mindset bahwa prestasi anak didik dapat dibentuk/diwujudkan melalui sekolah yang ditempatinya. Insha Allah, aamiin.***

Related Articles

Back to top button