Perilaku Anak Didik Pasca Pandemi
Oleh : Atin Apririyanti
Guru SDN 2 Gembongan Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon
ANAK didik di sekolah dan dirumah sangat berbeda. Sifat Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian untuk menemukan apa yang menurut perasaan dan pikirannya ideal.
Dunia ideal sendiri, baginya adalah dunia yang ada di depan matanya, yang karenanya ia akan melakukan pengerjaan atas dasar kehendak pribadi.
Di sisi lain, perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu memberikan alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standar nilai yang di kehendakinya.
Karena itu, selama proses yang dilaluinya, pun disaat pandemi ini hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu berkembang.
Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Proses bimbingan akan memberikan alternatif yang paling mungkin mereka lakukan sesuai dengan potensi dan kecenderungan yang dimilikinya.
Sebaliknya, bimbingan dalam hal ini bukanlah sesuatu yang dapat memenjarakan anak pada dunia yang hanya dikehendaki oleh orang lain.
Dalam masa pasca pandemi, guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Guru ataupun orang tua berperan dominan dalam membuat standar minat yang harus dilalui anak-anak mereka.
Proses pendidikan, dengan demikian, adalah proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang terbatas dari ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik.
Dalam kerangka seperti inilah, maka sekolah bisa berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau juga sebaliknya, jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu.
Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling saleh di sekolah, tetapi menjadi binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding kelas dan terbebas dari pengawasan sang guru.
Kegagalan atau keberhasilan pendidikan sekolah akhirnya tidak bisa dilihat secara sepihak. Ia harus melibatkan berbagai unsur yang sama-sama berpengaruh terhadap eksistensi anak didik secara utuh.
Keluarga serta lingkungan sosial lainnya di luar sekolah, misalnya, merupakan unsur pembentuk kepribadian anak yang pada gilirannya dapat berpengaruh lebih besar dibanding kekuatan sekolah sendiri.
Sebab interaksi antar pribadi yang dibangun melalui proses sosialisasi diri yang dilaluinya akan lebih mampu mempercepat proses internalisasi nilai-nilai ketimbang interaksi formal di sekolah yang kadang-kadang lebih terpenjara oleh sistem kurikulum yang dikembangkannya.
Karena itu, tidak ada kamusnya bagi orang tua yang telah menitipkan anak-anaknya ke sekolah untuk mempercayakan sepenuhnya perkembangan kepribadian mereka hanya kepada sekolah.
Komunikasi insani yang berlangsung di luar sekolah, termasuk di lingkungan keluarga, juga dapat berperan sebagai proses belajar mengajar yang langsung ataupun tidak langsung dapat mentransformasikan nilai-nilai sesuai dengan kultur dan ideologi yang tersusun tanpa kurikulum.
Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk memenuhi kebutuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan terbatas.
Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antar anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk selalu dipenuhi. Konsekwensinya, ketidak tersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat pada munculnya pada ketidak seimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang terjadi pada beberapa kasus di atas.
Demikian pula komunikasi pembelajaran yang berlangsung dalam proses formal di sekolah. Komunikasi dilakukan bukan hanya untuk kepentingan transformasi pengetahuan seperti yang tertuang dalam kurikulum ataupun batasan-batasan pelajaran.
Komunikasi juga dimaksudkan untuk melakukan proses internalisasi nilai-nilai sehingga terbentuk suatu kepribadian maksimal sesuai dengan watak alamiah anak didik.
Karena itu, berikanlah apa yang dibutukan anak didik sesuai dengan kecenderungan watak alamiah yang dimilikinya, bukan hanya memberikan sesuatu berdasarkan kehendak guru sesuai dengan batas-batas kurikulum formal meskipun seringkali dirasakan bertentangan dengan hati nurani.
Dengan perkataan lain, komunikasi pendidikan yang berlangsung dengan tuntutan hati nurani melalui bahasa rasa, sehingga terbentuklah keterkaitan psikologi secara utuh dalam nuansa kebersamaan dan penuh pengertian.
Dalam kerangka komunikasi seperti ini, antara anak dan orang tua di rumah ataupun antara murid dan guru di sekolah, dapat saling memberikan makna tentang hidup yang sesungguhnya melalui proses interaksi timbal balik yang dilaluinya, sehingga citra anak disekolah atau dirumah dapat selaras setelah masa pandemi ini berakhir. Semoga……***