Opini

Meneroka Sistem Pemilu Kita, Proporsional Terbuka atau Tertutup?

Oleh   Yustiyadi

CEO Meccanian

DALAM demokrasi elektoral di Indonesia, pemilu bukan hanya dipandang sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat, tetapi juga merupakan sukesi kepemimpinan yang setiap 5 (lima) tahun sekali mengalami pergantian siklus. Perhelatan akbar Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 mengemuka ke ruang-ruang publik perihal diskursus sistem pemilu kita. Gagasan antara penerapan sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup  sama-sama menguat, baik dari elite parpol, para pakar sampai tingkatan akar rumput.

Sebagai warga negara-yang memiliki persyaratan memilih dan dipilih-sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kehendak memilih adalah kebebasan yang dijamin dan dilindungi secara legal formal. Dorongan untuk berpartipasi aktif dalam pemilu memungkinkan warga negara turut-serta menghadirkan kepemimpinan nasional yang lebih akuntabel, bermartabat, transpraran dan berkualitas.

Jejak sistem pemilu di Indonesia

Partai politik memiliki peran sentral, sebagaimana diatur dalam undang-undang, diberikan kewenangan untuk mengajukan calon yang mereprsentasikan warga negara dalam parlemen (candidacy). Jabatan politik ini, tentu saja, seyogianya memenuhi aspek-aspek keadilan (fairness), terbuka (openness), rekam-jejak baik secara kualifikasi dan pengalaman (good track record), serta tidak mengedapnkan politik dagang sapi (transactional money/bribes). Perlindungan hak asasi untuk memilih harus dijaga, dilindungi dan dikembalikan kepada hati nurani warga negara, tanpa paksaan dan tekanan dari pihak mama pun.

Jika ditilik paska Reformasi, sejatinya demokrasi kita telah mengadopsi beberapa kali pergantian sistem pemilu dalam menentukan wakil rakyat. Setidaknya rekaman sejarah menunjukkan kita sudah berganti sistem 3 (kali) dalam penyelenggaraan pemilu. Pada Pemilu 1999 sebagai transisi demokrasi setelah tumbangnya rezim Soeharto, kita menerapkan sistem proporsional tertutup, selanjutnya pada Pemilu 2004 yang bertepatan dengan pionir pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung untuk pertama kalinya, kita menggunakan sistem proporsional semi terbuka. Era berikutnya dari 2009 sampai dengan yang kiwari pada 2019 lalu, kita teguh pendirian menerapkan sistem proporsional terbuka.

Sebelum menelaah lebih jauh, mari kita mengenal apa fungsi dari penerapan sistem pemilu. Ada 2 (dua) hal pokok yang menjadi pegangan kita bersama, yakni:

Pertama, alat ukur mekanisme dalam menentukan konversi suara (votes) menjadi kursi perwakilan (seats) penyelenggara negara, dalam hal ini legislatif (DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota), dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan;

Kedua, instrumen terarah untuk mengambun sistem politik bermartabat, ajeg, terpercaya dan melengkapi elemen-elemen demokrasi sebagaimana diejahwantahkan dalam Demokrasi Pancasila kita.

Sistem pemilu sesungguhnya hanyalah satu variabel yang tak boleh kosong kita teropong dengan begitu saja, karena hal demikian hanya untuk instrumen pemberian suara dan algoritma perolehan kursi yang terus berdinamika seiring sejalan dengan variable lain dalam sistem kepartaian, sistem pencalonan dan lainnya.

Di tengah-tengah sistem multipartai yang telah kita aplikasikan sejauh ini dalam tataran praksis, sistem pemilu hendaknya mampu menguatkan partisipasi publik semakin meningkat dari pemilu yang satu ke pemilu berikutnya dan menghasilkan wakil rakyat yang mendengarkan aspirasi rakyat seutuhnya.

Dikursus perubahan sistem pemilu

Wacana keinginan untuk mengubah sistem pemilu kembali menjadi pokok bahasan hangat menjelang Pemilu Serantak Tahun 2024 yang akan sama-sama kita jelang. Hal ini diinisiasi oleh anggota PDI-P yang mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan yang diajukan mengenai sistem proporsional terbuka segaimana diatur dalam Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Para penggungat menghendaki perubahan dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.

Dalam prosedur pemberian suara dengan menggunakan metode mencoblos sejauh ini, pemilu kita menerapkan perilaku memilih pada surat suara dengan mencoblos nama calon legislatif dan capres/cawapres atau masing-masing fotonya, dan ini merupakan sistem proporsional terbuka. Jika MK mengabulkan gugatan, maka pemberian suara lewat surat suara hanya akan memilih nama partai/gambar partai atau dikenal sistem proporsional tertutup.

Hari-hari ini MK masih berkutat untuk memberikan putusan yang teradil dalam rangka menentukan arah masa depan demokrasi perwakilan kita. Mari sama-sama kita mendoakan yang terbaik dan optimal. Jika kita memerhatikan hasil riset Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang berjudul ‘International Obligations for Elections Guidelines for Legal Frameworks’, persoalan transparansi dan hak mendapatkan informasi menjadi salah satu poin penting dalam pelaksanaan pemilu. Tanpa kelengkapan informasi tentang seorang calon wakil rakyat, maka terbuka kemungkinan munculnya sosok yang tidak mewakili pilihan rakyat.

Terbuka vs tertutup

Salah satu sistem dalam pemilu adalah sistem proporsional, selain sistem distrik dan sistem campuran. Sistem proporsional adalah sistem di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil. Dalam sistem proporsional, ada kemungkinan penggabungan partai atau koalisi untuk memperoleh kursi. Sistem proporsional disebut juga sistem perwakilan berimbang atau multi member constituency. Terdapat dua jenis sistem di dalam sistem proporsional, yaitu, sistem proporsional terbuka (open list people representative) dan sistem proporsional tertutup (closed list people representative).

Dalam surat suara sistem proporsional daftar terbuka, pemilih bisa melihat nama partai politik, nomor urut, hingga nama calon anggota legislatifnya di surat suara. Jadi, pada saat pemilihan, pemilih bisa memberikan suara untuk partai bahkan bisa memberikan suara kepada caleg yang menjadi pilihannya. Penentuan caleg terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Sementara itu, sistem proporsional daftar tertutup, yang tertera di surat suara hanya nama partai politik. Jadi, pemilih hanya dapat memilih tanda gambar/lambang partai. Dalam sistem ini, kekuasaan menentukan daftar calon dan calon terpilih sepenuhnya di tangan partai.

Dalam sistem proporsional terbuka, posisi kader pada partai tidak terlalu berpengaruh. Kader yang memiliki rekam jejak baik dan dapat dukungan penuh dari masyarakat bisa maju dalam pemilu dan jika menang, ia dapat menduduki kursi. Sedangkan pada proporsional tertutup, posisi kader pada partai sangat berpengaruh. Kader yang dekat dengan elite politik biasanya akan memiliki karier yang lancar meski ia tak didukung oleh masyarakat. Keterwakilan pemilih bisa sangat dirasakan dalam sistem proporsional terbuka karena dalam sistem ini masyarakat bebas memilih siapa tokoh yang ia jagokan untuk duduk di legislatif. Pemilih juga bisa mengawasi tokoh yang dipilihnya. Sedangkan di proporsional tertutup, keterwakilan masyarakat tidak terasa karena pemilih tak bisa memilih secara langsung wakilnya. Kadang tokoh pilihan parpol berbeda dengan polihan pemilih.

Masing-masing sistem, baik proporsional terbuka ataupun proporsional tertutup memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri, yang akan kembali berpulang pada penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan.

Peta jalan kebaikan bersama

Pemilu 2024 menjadi sangat penting dalam rangka regenerasi kepemimpinan di Indonesia yang akan terus dinamis. Dalam konteks Indonesia yang plural, pemilu menjadi alat penyelesaian perbedaan, yakni melalui cara elektoral dan menjadi peta jalan bagi masa depan demokrasi yang beradab, berkadilan dan berjiwa Pancasila. Inilah harapan kita bersama untuk terus-menerus berikhtiar mewujudkannya, terlepas dari apa pun sistem pemilu yang akhirnya diterapkan.***

 

Related Articles

Back to top button