Tular Nalar Kritis Sukatani

Oleh: Muhammad Kamaluddin
Pegiat Literasi NUN
Sepekan belakangan ini wajah media diramaikan dengan berbagai pemberitaan yang membelalakkan mata pemirsanya. Beberapa di antaranya yakni berita tentang ditangkapnya Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto oleh KPK, terbongkarnya korupsi PT. Patra Niaga sebagai anak usaha BUMN Pertamina senilai kurang lebih Rp 190 T, dan tentu juga berita tentang grup musik beraliran Punk asal Purbalingga yang bernama Sukatani.
Yang terakhir disebutkan tadi bahkan mampu menjadikan warganet sebagai pemerhati dunia maya bersatu dalam tanda pagar “kami bersama Sukatani!”. Lantas, ada apakah gerangan yang terjadi di balik hebohnya berita terkait grup band yang digawangi oleh dua orang yang menyebut diri mereka sebagai Electroguy (Muhammad Syifa Al Lufti) dan Angel Twister (Novi Citra Indriyati) tersebut?
Menjadi polemik yang cukup menarik perhatian khalayak pembaca untuk dicermati apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada grup band beraliran Punk, Sukatani. Ihwal performa panggung mereka yang membawakan lagu berjudul “Bayar Bayar Bayar” ternyata yang tengah menjadi bahasan banyak orang. Bukan saja menjadi bahasan oleh para penggemarnya, melainkan juga oleh para pengamat demokrasi pada khususnya.
Band Sukatani menjadi bahan diskusi menarik di berbagai beranda ruang media digital. Mereka dianggap sebagai representasi perlawanan karena berani menyuarakan kritik sosial melalui kreativitas seni bermusik. Lirik lagunya dianggap oleh para pendengarnya begitu faktual dan relevan dengan keadaan bangsa ini sekarang. Utamanya mereka dengan lugasnya menyebut frasa bayar polisi.
Secara satire, frasa bayar polisi tersebut seolah ditujukan bukan saja kepada oknum personil anggota kepolisian, tetapi juga institusinya. Meskipun juga tidak secara gamblang apakah polisi yang dimaksud oleh Band Sukatani dalam lirik lagunya adalah polisi Indonesia ataukah polisi dari wilayah selain Indonesia? Kontroversi ini yang kemudian menyeruak menjadi topik pemberitaan di berbagai media belakangan ini.
Diksi “polisi” yang disebut oleh Band Sukatani dalam lirik lagunya secara tersurat merupakan oknum. Baik itu personal maupun kelembagaan yang berangkat dari kognisi sosial kemasyarakatan di Indonesia. Namun demikian, tidak dipungkiri secara tersirat bahwa “polisi” yang dimaksud bisa jadi mengarah kepada oknum personil polisi yang menjadi bagian dari pengalaman empiris grup Band Sukatani sendiri.
Band Sukatani menggambarkan dalam liriknya polisi erat kaitannya dengan urusan transaksional yakni bayar membayar. Semisal mengurus SIM (Surat Ijin Mengemudi), mengurus kehilangan barang, masuk penjara, bahkan miris sekaligus ironis disebut pula konon untuk menjadi polisi pun mesti membayar! Kata “bayar” dalam lirik lagu tersebut tentunya tidak lepas dari segala hal transaksional yang mensyaratkan adanya uang.
Tendensius memang, meskipun bisa jadi faktual dari pengalaman empiris Band Sukatani sendiri. Bahkan, di lingkungan sosial keindonesiaan sudah bukan rahasia umum berangkat dari banyak kasus yang diberitakan media, bahwa seorang individu ataupun kelompok masyarakat di saat berurusan dengan pihak kepolisian ada saja yang mensyaratkan sejumlah besaran biaya.
Nah, menjadi polemik saat polisi dari institusi kepolisian di Indonesia rupanya menganggap lirik lagu Band Sukatani tersebut menyudutkan mereka. Frasa bayar polisi dianggap berkonotasi negatif terhadap profesi serta karir mereka di tengah-tengah masyarakat. Frasa bayar polisi ini secara verbal dimaknai sebagai tindakan yang bertentangan secara moral dan etika anggota institusi kepolisian yang seharusnya. Frasa tersebut menambah literasi masyarakat yang mengaitkan polisi dengan frasa sejenis yang dianggap tabu diujarkan, wereng coklat misalnya.
Di sisi lain, rupanya masyarakat Indonesia pada umumnya pun seolah mengamini apa yang dinyanyikan oleh Band Sukatani terkait polisi. Dalam teks kolom komentar warganet di berbagai platform media sosial misalnya, diksi “polisi” secara sadar melalui nalar kritis para warganet banyak disebut bukan secara lugas apa adanya sesuai KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Ada juga kerap di beberapa konteks isu yang sedang dibahas ramai oleh warganet terkait polisi, seketika mereka menyebutkan misalnya diksi isilop, polkis, ladusing, parcok dan lain sebagainya.
Maka dari itulah momentum Band Sukatani ini seolah makin memupuk subur nalar kritis masyarakat Indonesia kebanyakan yang kiranya belum sempat diutarakan. Band ini dianggap sebagai representasi dari bagaimana masyarakat hendak menyampaikan segala keresahannya selama ini terkait pengalamannya berurusan dengan polisi. Ditambah lagi dinamika yang terjadi makin memancing perhatian khalayak ramai yang bisa jadi awalnya tidak tahu bahkan tidak mau tahu tentang Band Sukatani.
Khalayak pada umumnya beropini apa yang dilakukan pihak institusi kepolisian dalam menyikap Band Sukatani adalah wujud pembungkaman demokrasi. Band ini terkesan diintimidasi yang kemudian merilis video penyampaian permohonan maafnya kepada institusi kepolisian. Masyarakat umum tentu sah-sah saja beranggapan apa yang terjadi pada band tersebut adalah bentuk intimidasi oleh pihak kepolisian.
Sebagai rasionalisasi dari dugaan intimidasi tersebut yakni secara tidak biasa Band Sukatani membuka penutup wajah khas yang biasa dikenakan dalam tiap penampilan panggungnya. Penutup wajah yang biasa dipakai sebagai atributnya itu dibaca oleh warganet terpaksa ditanggalkan oleh sebab karena tekanan dari pihak kepolisian yang mendatanginya.
Selain itu, ditambah lagi informasi yang santer mengatakan bahwa vokalis Band Sukatani juga baru saja dipecat dari pekerjaan tetapnya sebagai seorang guru di sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu di Purbalingga. Hal tersebut juga ternyata makin menambah kontroversi warganet yang malah ikut-ikutan menyalahkan pihak sekolah yang memecat vokalis Band Sukatani dari pekerjaannya sebagai guru di sekolah tersebut.
Buntutnya, baik pihak kepolisian dan juga pihak sekolah bergantian menyampaikan klarifikasi terkait polemik tersebut. Dari pihak kepolisian menyatakan bahwa tidak ada intimidasi yang dilakukan mereka tehadap Band Sukatani. Pihak sekolah juga menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan terhadap vokalis Band Sukatani tidak ada kaitannya dengan lagu berjudul Bayar Bayar Bayar.
Setelah dinamika yang terjadi di atas, belakangan pihak kepolisian menyatakan bahwa Band Sukatani tidak dilarang untuk menyanyikan lagu berjudul Bayar Bayar Bayar. Ditambah pihak sekolah juga mengungkapkan bahwa alasan pemutusan hubungan kerja terhadap vokalis Band Sukatani adalah perihal pelanggaran aturan tekait norma dan etika yang berkaitan dengan pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh vokalis Band Sukatani.
Baik apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian maupun pihak sekolah tidak lepas dari pantauan masyarakat. Mereka tenyata tidak tinggal diam terhadap anomali-anomali yang tengah terjadi dalam dinamika demokrasi di Indonesia belakangan ini. Suara rakyat sipil makin nyaring terdengar saat berbagai alat negara diketahui mulai oleng bergerak “miring” jauh dari kebebasan berpendapat dan demokrasi.
Bisa jadi wajar apabila respon masyarakat begitu terlihat semangat menolak intimidasi polisi terhadap Band Sukatani. Masyarakat punya hak sekaligus kewajiban menilai rekam jejak digital keduanya. Baik Band Sukatani maupun polisi tentu saja harus terus didukung untuk menghadirkan iklim demokrasi yang sehat. Demokrasi yang dimaknai kembali dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, bukan hanya untuk aparat.
Akhirnya, sebagai masyarakat pembaca media hendaknya tetap berkata dan bertindak bijak dalam membersamai polemik Band Sukatani. Jika memang secara institusi dari pihak kepolisian dalam hal ini Kapolri sudah terang menyatakan bahwa siapapun yang kritis terhadap polisi adalah kawan, maka jangan ada lagi sikap intimidatif terhadap siapapun yang dianggap berseberangan dengan para aparat kepolisian.
Sedemikian sehingga institusi kepolisian pada umumnya dan personil kepolisian pada khususnya dapat kembali berpikir dan berbuat sesuai khittahnya mengayomi masyarakat. Sebisa mungkin ingatan publik bahwa aparat penegak hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah itu bisa berangsur-angsur hilang. Hukum tidak lagi menjadi barang mahal bagi kaum alit yang kebanyakan tidak mempunyai uang jika diminta untuk “membelinya”. Wallahu’alam!***