Opini

Dana Pokir yang Dilematis bagi Kuwu

Oleh: Sukanda Subrata
Penulis Lepas Cirebon

SUDAH menjadi rahasia umum bahwa anggaran desa untuk satu tahun itu sangat besar. Mayoritas desa – desa di Kabupaten Cirebon anggarannya lebih dari Rp 1 miliar rupiah. Bisa dibayangkan jika semua anggaran itu untuk pembangunan fisik, kondisi jalan desa dan JUT (Jalan Usaha Tani) bagus. Justru kondisinya berbalik, banyak jalan rusak, JUT dan fasilitas lain juga buruk.
Masyarakat harus tahu bahwa anggaran yang satu miliar lebih itu untuk dialokasikan ke semua bidang yang ada di desa.Ternyata anggaran tersebut juga untuk belanja pegawai (penghasilan tetap aparat desa), untuk kegiatan Posyandu, honor kader Posyandu, honor RT, RW , honor BPD dan LMD, honor anggota Linmas, untuk ATK desa, perjalanan dinas aparat desa, perawatan kantor desa, makan minum rapat desa, pemeliharaan listrik internet, jasa listrik internet dan perawatan serta honor pengemudi mobil siaga desa, kegiatan rutin peringatan HUT RI, stimulan Karang Taruna dan sebagainya.
Anggaran Rp 1 miliar tersebut bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, anggaran dari tanah titisara desa dan anggaran lain seperti retribusi desa yang sah. Anggaran desa bisa besar juga karena desa tersebut masih punya tanah titisara yang luas dengan harga jual tinggi. Setiap desa luas tanah titisaranya tidak sama, apalagi desa yang belum dimekarkan. Ada beberapa desa di Kabupaten Cirebon yang memiliki titisara puluhan hektar. Sayangnya tanah seperti ini seperti milik pribadi kuwu, kontribusi terhadap des nya minim kerena dijual dengan harga murah, padahal sebaliknya.
Kadang timbul pertanyaan kita, mengapa desa yang minim titisaranya bisa membangun fasilitas desa dengan baik? Ternyata hal ini tergantung upaya kuwu dalam menjemput anggaran-anggaran khusus, baik yang ada dinas di kabupaten atau di DPRD. Salah satu anggaran yang ada di DPRD adalah dana Pokir (Pokok Pikiran Rakyat). Kuwu yang malas mencari anggaran tambahan, desanya biasa-biasa saja secara fisik.
Kebijakan dana Pokir ini diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal 87 UU menyebutkan bahwa anggota DPRD dapat menyerap aspirasi masyarakat dalam bentuk pokok-pokok pikiran yang kemudian dijadikan dasar dalam perencanaan pembangunan daerah.
Dana Pokir sebenarnya adalah dana yang bersumber dari anggaran pemerintah yang digunakan untuk menampung aspirasi atau usulan masyarakat. Dana ini dialokasikan oleh anggota legislatif untuk mendanai program atau proyek yang dianggap penting untuk kepentingan masyarakat di daerah pemilihannya. Adapun tujuan utama dari dana Pokir adalah untuk memberikan dukungan pada pembangunan yang berbasis pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi minus kesenian dan kebudayaan. Padahal kesenian dan kebudayaan adalah aset bangsa yang harus dibina dari dana Pokir juga. Sayangnya juga dana Pokir seringkali menjadi kontroversial karena sering dikaitkan dengan praktik-praktik politik tertentu dengan bagi-bagi proyek untuk kepentingan politik atau persona, bukannya kepentingan masyarakat. Jelas ini melenceng
Alasan adanya dana POKIR yaitu untuk memberikan ruang bagi anggota legislative dalam menyalurkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah pemilihannya. Dengan kata lain, bertujuan untuk memastikan bahwa pembangunan atau program yang dilaksanakan di suatu wilayah benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Alasan dana Pokir itu di antaranya untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam menyampaikan ide atau kebutuhan yang penting agar diperhatikan oleh pemerintah, sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Kedua pendekatan pembangunan yang tepat sasaran. Dengan mendengarkan langsung aspirasi dari masyarakat, pemerintah diharapkan dapat mengalokasikan dana dan proyek yang lebih relevan dan bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Kemudian dapat meningkatan kesejahteraan sosial. Dana ini sering digunakan untuk proyek yang dapat langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur dasar (jalan, air bersih, jembatan), fasilitas pendidikan, atau pemberdayaan ekonomi.Terakhir bisa mendukung pemerataan pembangunan.Pembangunan tidak hanya terfokus di pusat, tetapi juga di daerah-daerah yang kurang mendapat perhatian dalam perencanaan pembangunan nasional.Tentu saja, penggunaan dana Pokir ini harus transparan dan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntabilitas agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau politik tertentu.
Sebenarnya setiap dinas di pemerintah daerah atau pusat sudah memiliki anggaran untuk menjalankan program dan kegiatan mereka masing-masing. Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk infrastruktur, Dinas Pendidikan untuk program pendidikan, atau Dinas Kesehatan untuk pelayanan kesehatan. Dana-dana ini memang lebih terstruktur dan diarahkan pada program yang lebih luas dan menyeluruh berdasarkan prioritas pembangunan daerah atau negara.
Intinya dana Pokir hadir untuk menampung aspirasi lokal yang lebih spesifik, yang tidak selalu tercakup dalam program-program yang sudah ada di masing-masing dinas. Digunakan juga untuk menyelaraskan kebutuhan yang lebih spesifik di level masyarakat, sesuai dengan apa yang diusulkan oleh wakil rakyat (anggota DPRD atau DPR) yang berasal dari daerah tersebut.
Bisa dikatakan dana Pokir ini sebagai jalur tambahan untuk memenuhi kebutuhan yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam anggaran rutin dinas, membantu mempercepat implementasi program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.Oleh karena adanya dua aliran dana ini, terkadang menimbulkan kebingungannya, terutama dalam koordinasi dan akuntabilitas. Akibatnya bisa terjadi tumpang tindih atau bahkan penyalahgunaan jika tidak dikelola dengan transparan.
Upaya kuwu dalam menjemput anggaran-anggaran yang di atas patut kita hargai. Bagi masyarakat, setelah mengetahui dana Pokir itu ada yang welcome saja selama tidak terjadi penyelewengan anggaran. Justru opini yang beredar adalah dana pokir itu tidak seratus persen diberikan kepada pemerintah desa, namun 30 persennya untuk dewan yang bersangkutan. Jika ini benar adanya bagaimana untuk pertanggungjawaban kuwu nanti di depan Inspektorat? Ini bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah mati. Bisa jadi di sinilah banyak para kuwu yang tersandung korupsi, sedangkan dewannya yang memakan anggaran 30 persen aman-aman saja, sungguh aneh bukan?

Related Articles

Related Articles

Back to top button