Dagelan Awal Tahun: SMA Unggulan Garuda
Oleh Muhammad Guruh Nuary*
Dosen PG-PAUD Universitas Muhammadiyah Tangerang
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) berencana membuka Sekolah Menengah Atas (SMA) Unggulan Garuda, menjadi isu hangat yang setidaknya menyalip beberapa isu nasional lainnya, seperti penolakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, Ibu Kota Nusantara (IKN) yang terbengkalai dan mulai ditinggal investor. Ya bagaimana tidak, betapa gemilangnya Kemendiktisaintek kita yang tiba-tiba mewacanakan secara serius “SMA Unggulan Garuda”.
Bahkan, isu ini muncul di tengah gamangnya guru swasta yang khawatir nasib mereka tidak jelas usai dilemparkan janji-janji manis saat kampanye, ditambah perjuangan para dosen ASN untuk mendapatkan tunjangan kinerja (tukin) agar dapat terealisasi. Bukankah ini sungguh aneh? Coba kita urai bagaimana anehnya pola pikir Kemendiktisaintek.
Pertama, ranah SMA itu ada di Direktorat SMA Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Bisa terbayang dan menjadi pertanyaan tentunya, ngapain Kemendiktisaintek mengambil ranah yang bukan menjadi urusan kementeriannya? Bukan cuma tumpang tindih wewenang, tetapi juga terlihat bahwa Kemendiktisaintek seperti tidak memahami tugas pokok dan fungsi mereka sendiri.
Jika pun ingin menghasilkan lulusan yang berkualitas dari level SMA agar bisa diterima di kampus-kampus top dunia, mestinya koordinasi lebih lanjut antar dua kementerian ini dapat terjalin, sehingga tidak ada lagi ego sektoral ingin terlihat lebih “kerja”, padahal rencana yang dipaparkan lebih condong untuk blunder.
Kedua, SMA Unggulan Garuda, terlihat lebih menjadi satu program yang tendesius, tidak mendesak dan bukan untuk memperbaiki keadaan pendidikan tingkat menengah. Melainkan, keinginan Kemendiktisaintek malah terlihat memperkokoh kesenjangan tingkat kualitas antar SMA.
Ketiga, Kemendiktisaintek justru bisa dibilang semakin merunyamkan kondisi pendidikan tingkat menengah, di tengah dari keadaan guru yang belum sejahtera dan masih simpang siurnya tunjangan guru yang telah dijanjikan.
Keempat, rumitnya pemikiran Kemendiktisaintek juga semakin terpampang nyata dengan kajian yang ingin mendatangkan guru asing ke Indonesia, dengan kata lain impor guru. Ini salah satu dagelan nyata bahwa Kemendiktisaintek mentok ide, tidak solutif dan cenderung tergesa-gesa dalam memaparkan program.
Kelima, Kemendiktisaintek dan Kemendikdasmen seharusnya bisa melihat secara nyata dan terang bahwa kualitas pendidikan bukan ditentukan dari omon-omon “unggulan”, yang malahan memperkeruh suasana, bukan juga untuk membuat di suatu daerah SMA Unggulan, tetapi dari keseriusan kementerian terkait secara political will “mau atau tidak” membenahi dengan percepatan tertentu, bukan mencari solusi instan dengan mendatangkan guru impor.
Dari banyaknya isu yang penulis paparkan, tidak lupa untuk bertanggung jawab, maka penulis juga akan memberikan beberapa solusi yang mungkin bisa diakomodir.
Sudah penulis singgung di awal untuk antar kementerian bisa saling berkoordinasi. Pembahasan lintas sektoral dibutuhkan demi sinkronnya program pendidikan, namun bukan mewujudkan SMA Unggulan Garuda yang tendensius menambah celah kesenjangan. Meski memang, Kemendiktisaintek sudah mengeklaim jika program tersebut sudah diserahtugaskan ke kementerian mereka, namun tetap saja koordinasi adalah kunci.
Di sisi lain, program ini rentan dari sisi perencanaan. Jika yang dicanangkan adalah agar lulusan tersebut bisa tembus universitas dunia, artinya secara tidak langsung, Kemendiktisaintek mengakui universitas dalam negeri masih punya berbagai problematika.
Apa yang direncanakan Kemendiktisaintek bukan untuk perkembangan sumber daya manusia (SDM) unggul, tetapi menambah surplus masalah lain. Salah satu yang harusnya diurus kementerian tersebut adalah tentang kesejahteraan dosen, baik ASN maupun swasta. Belum lagi, evaluasi dan monitoring seluruh kampus, agar memiliki standar pendidikan yang tidak kalah dari universitas luar negeri, bukankah ini PR besar yang harusnya didahulukan?
Bukan cuma dosen, dalam konteks SMA, guru menjadi sumber yang mestinya diperhatikan. Bayangkan jika kita impor guru? Bukannya hal tersebut hanya akan membebani lebih banyak anggaran APBN untuk membayar honor guru impor tersebut, yg pastinya tidak murah.
Sungguh dagelan jika guru impor diperhatikan kesejahteraan dan kelayakan hidupnya dibanding guru dalam negeri yang seharusnya lebih dulu diberikan atensi lebih dan kesejahteraan yang merata. Dengan profil Kemendiktisaintek yang dihuni para guru besar, rasanya pembahasan ini tidak absen di meja kalian toh?
Selain itu, jangan juga beralasan agar SMA punya lulusan unggul ke luar negeri, tetapi coba saja lihat dan perhatikan SMA yang sudah matang dan maju, diberdayakan serta diberi ruang agar bisa menjadi seperti yang diinginkan Kemendiktisaintek, agaknya hal tersebut lebih arif dan bijaksana demi menambal celah kesenjangan.
Tiap SMA pada tiap provinsi diberikan ruang yang sama, diberikan fasilitas dan keterbukaan informasi yang memadai, saya kira SMA tersebut akan unggul tanpa disebut “SMA Unggulan Garuda”. Hal itu bukan sesuatu yang sulit, dan bukan sesuatu yang mustahil jika kedua kementerian tersebut mau duduk bersama dan mengintegrasikan program masing-masing.
Mental untuk memperbaiki, mengintegrasikan, dan menyempurnakan hal-hal yang sudah ada, wajib ada pada program mereka, bukan malah membuat program baru yang tidak nyambung dengan kebutuhan masyarakat luas. Apalagi program ini lahir dari pikiran yang prematur dan tanpa memikirkan realitas yang ada. Kedua kementerian, baik Kemendiktisaintek ataupun Kemendikdasmen akan dianggap abai dengan problematika kesejahteraan yang merupakan pangkal kualitas pendidikan di negeri ini.
Sebab tidak bisa dipungkiri, kualitas pendidikan menengah kita ikut tergerus karena kementerian terkait tidak memahami dinamika kesejahteraan yang terjadi di akar rumput. Padahal, kualitas pendidikan berjalan beriringan jika kesejahteraan guru bisa terpenuhi, utamanya guru swasta.
Sayangnya, isu krusial ini hanya jadi bahan kampanye semata. Tidak betul-betul serius untuk diperhatikan. Lucunya lagi, Kemendiktisaintek berencana impor guru yang sama sekali tidak terdapat urgensi di dalamnya.
Kenapa tidak Kemendiktisaintek berpikir untuk menyeleksi guru-guru lokal terbaik dan ditempatkan di Sekolah Unggulan Garuda? Selain tidak membebani APBN, hal itu juga menjadi bukti bahwa guru lokal juga mampu mengelola Sekolah Unggulan Garuda.
Saya curiga dan ini masih dugaan, bahwa Kemendiktisaintek mentok ide dan hanya memikirkan cara instan tanpa ingin membenahi dari dalam terlebih dahulu. Paradoks ini hanya akan terus-terusan berputar di tempat jika inti problematikanya tidak dituntaskan.
Masa sih Indonesia menjelang 100 tahunnya, dari tiap generasi presiden non-kapabel menyelesaikan soal pendidikan yang sebetulnya mereka sendiri sudah tahu episentrum masalahnya. Beginilah lagi-lagi dagelan awal tahun 2025. Kapan mau selesai dong?