Batas Usia, Diskriminasi Halus
Oleh: Sukanda Subrata
Penulis Lepas Cirebon
Pergunakan masa mudamu dengan baik agar tidak menyesal nanti. Ketika muda kita bisa menuntut ilmu saluas-luasnya baik di pendidikan formal (sekolah, kuliah, mondok) atau di pendidikan non formal (kursus, pelatihan).Idealnya setiap orang (anak ) ingin seperti itu, namun karena berbagai hal banyak orang yang tidak punya kesempatan untuk mengikutinya. Misalnya, alasan ekonomi orang tua atau tidak mendapat dukungan dan kasih sayang orang tua. Bisa juga karena infrasutruktur dan kebijakan pemerintah yang belum berpihak kepada rakyat miskin. Kita paham sekolah di sekolah lanjutan meski tidak ada uang bulanan, tapi uang masuknya besar, uang pengembangan sekolahnya tiap tahun ada, juga uang tour dan uang perpisahan.
Ketika usia kita melewati batas-batas yang ditentukan, kepada siapa harus mengadu? Usia mustahil mundur sedetikpun, usia akan terus berputar, hari berganti dan bulan berganti hingga tahun berganti.Rasanya baru kemarin kita lulus SMA, tiba – tiba usia mendekati 30. Masih bersyukur kita sudah bekerja, baik yang formal atau tidak.Kita bisa menghidupi diri sendiri dan orang lain. Coba jika di usia itu kita belum mendapatkan yang kita inginkan, kita harus berbuat apa? Persaingan sesama teman semakin ketat. Peluang mendapatkan pekerjaan semakin sempit dan seterusnya, bagaimana nasib kita ke depan? Ini merupakan gambaran umum yang terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia.
Penentuan batas usia kerja memang merupakan hak si pemilik pekerjaan, mau batas usia berapa terserah dia. Pertimbangannya bahwa pada usia tersebut orang dalam kondisi baik untuk bekerja. Apalagi untuk jenis pekerjaan yang butuh fisik dan skill yang kuat.
Kita boleh ilustrasikan sedikit saja untuk pemahaman pribadi. Usia masuk karyawan pabrik maksimal 25 tahun dan ketika dterima harus tunduk kepada aturan kontrak sekitar 2 atau 3 tahun saja.Setelah itu siap-siap out dengan alasan politisir untuk memberi kesempatan kepada yang lain. Kita yang familiar dengan HRD bisa berkesempatan menjadi karyawan tetap perusahaan, jika tidak pasti menjadi pengangguran. Jadi batas usia benar-benar menakutkan bagi kebanyakan generasi muda.
Kini di dunia politik sudah mengikuti perihal batas usia.Padahal dunia politik itu bukan dunia perkerjaan karena tidak ada SMK jurusan politik.Dunia politik adalah dunia pengabdian untuk rakyat yang tidak melulu memikirkan uang. KPU mengeluarkan aturan batas usia maksimal untuk masyarakat yang ingin berpartisipasi di Pemilu. Batas untuk usia KPPS saja dibatasi 55 tahun, tidak boleh lebih seharipun. Kita paham pembatasan tersebut bukan karena ketidakmampuan skill. Namun di karenakan untuk memberi kesempatan kaum muda yang belum punya pekerjaan tetap agar bisa berpartisipasi di Pemilu.
Buktinya masih banyak usia 55 tahun hingga 60 tahun yang masih tetap semangat bekerja (instansi pemerintah, swasta). Sebenarnya tugas KPPS itu tidak terlalu rumit, cuma mendata hak pilih, mengundang warga untuk memilih dan mencatat hasil pilihan, itupun jumlahnya tidak lebih dari 500 orang di setiap TPS nya. Petugas KPPS jumlahnya sekitar 7 orang.Coba di mana letak kesulitannya biar masyarakat paham.
Sepertinya aturan itu mengada–ada, padahal memang jelas ada aturannya, tidak main – main.Yang harus kita kritisi adalah pembuat aturan itu.Secara manusiawi, peraturan batasan usia maksimal ini secara tidak langsung telah membatasi kesempatan warga negara yang akan berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu.
Padahal setiap warga negara punya kedudukan yang sama di mata hukum/aturan .Perlu diingatkan lagi demokrasi ini milik semua orang, bukan milik suatu golongan . Namun kita sebagai masyarakat yang normal bisa melihat dengan kasat mata tentang kehidupan demokrasi di negara ini terutama dengan penyelenggara Pemilu (KPU RI, KPUD, PPK, PPS, Bawaslu, Panwascam, PKD). Jika di atasnya golongan A mana mungkin ke bawahnya B. Meskipun ada yang beda golongan, itu sebatas sisipan untuk menghibur masyarakat. Paling perannnya di ke-Pemiluan sebagai ban serep.***