Peran Kesetaraan Gender Dalam Menyongsong Kepemimpinan Negeri
Oleh: Khaerudin
Penulis Buku Langkah Kaki II
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menemukan kondisi yang mengharuskan diri kita ditunjuk sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam melakukan atau menyelesaikan sesuatu. Baik itu di dalam ranah pekerjaan, sekolah, keluarga dan lain sebagainya. Tidak sedikit dari kita menyanggupi jika melakukan hal yang memang sudah ditugaskan kepada kita itu, baik hanya sekedar mencantumkan namanya atau pun memang ikut serta di dalamnya.
Namun akhir-akhir ini persepsi tentang kepemimpinan hanya diidentikkan dengan peran laki-laki saja yang harus selalu mendominasi. Laki-laki harus lebih unggul dan lebih maju daripada perempuan. Bahkan di setiap sektor bidang kehidupa yang menjadi petinggi atau pimpinannya harus laki-laki, sehingga perempuan hanya diperbolehkan untuk menjadi peran pendukung saja.
Menurut Hayana (2023), bahwa peran pemimpin sepenuhnya memang masih didominasi oleh pria mulai dari sektor kehidupan yang sederhana sampai ranah parlementer di pusat. Bahkan saat ini kursi parlemen yang di duduki oleh kaum perempuan hanya berkisar 30 persen saja. Sedangkan laki-laki masih memegang kendali angka berikutnya yakni 70 persen.
Jika kita membahas mengenai peran kepemimpinan yang tidak boleh membedakan gender atau mengkhususkan satu gender saja untuk mendominasi sedangkan yang lainnya tidak diprioritaskan maka kita perlu mengingat seorang tokoh besar bernama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai guru bangsa yang pernah menyampaikan pandangannya bahwa perempuan memiliki peluang untuk menjadi seorang pemimpin di setiap sektor pendidikan, terlebih lagi jika ia memiliki kompensi dalam bidang tersebut.
Beliau pun pernah menyampaikan bahwa seseorang yang menganggap bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki adalah pendapat yang keliru. Beliau memberikan beberapa contoh dan gambaran bahwa banyak sekali contoh kepemimpinan suatu daerah atau kerajaan dipegang oleh perempuan-perempuan hebat dan berkharisma bahkan sukses dalam kepemimpiannya seperti Ratu Balqis, Cleopatra, Megawati Soekarnoputri, Ratu Elizabeth, Benazir Butho dan masih banyak lagi.
Ini menunjukkan bahwa dunia ini memang begitu adil dalam setiap bidang, tak terkecuali dengan ranah kepemimpinan. Siapa saja bisa menjadi pemimpin yang adil jika memang seseorang tersebut dapat mengemban amanah yang baik dan kompeten dalam hal tersebut. Namun kenapa masih banyak yang meragukan bahwa jika perempuan yang akan menjadi pemimpin maka tugas yang dijalankan itu dikhawatirkan berjalan tak sesuai karena identiknya perempuan adalah makhluk perasa yang setiap saat selalu menggunakan perasaannya dalam menghadapi suatu masalah. Oleh sebab itu dikhawatirkan dalam memutuskan suatu perkara ia pun masih menggunakan perasaannya, bukan logikanya.
Belum banyak yang tahu bahwa kesetaraan gender harusnya sudah berkali-kali dipahami oleh banyak orang, namun sayangnya kesetaraan gender saat ini masih menjadi polemik karena terbelenggu oleh budaya patriarki yang terdapat di lingkungan masyarakat kita. Perlu diketahui bahwa gender dan jenis kelamin adalah dua hal yang berbeda. Kelamin lebih menjelaskan tentang konsep biologis seseorang yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender merupakan penjelasan tentang pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan yang bisa dilakukan oleh keduanya.
Menurut Morgan dalam buku “Model Kepemimpinan dan Sistem Pengambilan Keputusan”, menyampaikan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang dapat mengidentifikasi kebutuhan bawahannya dan memberi mereka pembinaan yang tepat. Maka memilih pemimpin itu bukan hanya dilihat dari jenis kelaminnya saja melainkan dari karakteristik serta kemampuan pribadi atas bidang tersebut.
Saat ini kebanyakan dari masyarakat memandang bahwa perempuan sangat emosional, lemah, labil, baperan dan lain sebagainya. Sedangkan laki-laki diidentikkan kuat, logis, jantan, perkasa dan tidak cengeng. Persepsi seperti itu hampir mandarah daging di kalangan masyarakat kita. Oleh sebab itu, sudah menjadi tugas kita menyampaikan bahwa sifat dan karakteristik perempuan dan laki-laki dapat disalurkan pada tempat yang menuntut mereka menjadi seorang pemimpin, sehingga kesenjangan persepsi dan pandangan tentang perempuan selalu lemah dan tak direkomendasikan untuk menjadi pemimpin bisa kita atasi.
Dalam hal lain, jika kita pandang dan jelaskan melalui perspektif Islam Allah pernah berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 30 yang artinya bahwa: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Pada ayat tersebut dapat kita pahami bahwa Allah menciptakan dan menjadikan setiap orang apapun jenis kelaminnya siapapun orangnya maka ia memiliki tugas untuk menjadi pemimpin. Bukan hanya sebagai pemimpin dalam pemerintahan birokrasi saja melainkan dalam sektor lembaga, organisasi, pemimpin keluarga bahkan untuk dirinya sendiri. Seperti Hadis yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW yang menyampaikan bahwa: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Dari beberapa pembahasan tersebut maka dapat kita ambil sebuah pelajaran bahwa, pemimpin bukan hanya diperuntukan untuk laki-laki saja, melainkan perempuan juga bisa menjadi seorang pemimpin. Baik untuk sektor kehidupan seperti pendidikan, pemerintahan, organisasi, keluarga bahkan untuk dirinya sendiri.
Bahkan Agama Islam telah menjelaskan bahwa kesetaraan gender adalah sesuatu hal yang selalu menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja. Siapapun bisa berperan menjadi pengemban amanah terlebih lagi bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat di sekitarnya. Kesetaraan gender juga memiliki peran agar seseorang meninggalkan persepsi perbudakan tirani dan diskriminasi terhadap satu golongan saja terutama bagi perempuan. Sehingga kehidupan akan menjadi lebih seimbang karena persepsi masyarakat sudah mulai memahami bahwa kesetaraan gender sudah seharusnya berbagi peran dan tugas dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.***