Opini

Tantangan Moderasi Beragama

Oleh: Andri Hardiyana
Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Indonesia adalah salah satu negara besar dengan bercirikan kebhinekaan. Hal ini ditandai dengan beragamnya berbagai macam kebudayaan, tradisi, adat-istiadat, dan agama. Selain itu, juga dengan keberagaman lainnya ditunjukkan pada perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan. Oleh karena itu, keberagaman tersebut menjadi potensi yang harus dikelola dengan baik agar menciptakan suasana kerukunan, perdamaian, toleransi, dan saling menghargai serta menghormati diantara umat yang mengakui keberadaan ketuhanan. Sebagai negara yang menganut religi, Indonesia memiliki falsafah negara dan pedoman dalam berbangsa dan bernegara yang berdasarkan nilai-nilai kebangsaan dan ketuhanan yang bersumber dari konstitusi dan kearifan lokal masyarakat.
Secara yuridis, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama sebagai pondasi dalam penyelenggaraaan negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub di dalam pembukaan UUD 1945 terutama pada alinea keempat.
Namun demikian, keberagaman tersebut jika tidak dapat dikelola dengan baik dengan tanpa memperhatikan tujuan dan persamaan dalam mewujudkannya, maka niscaya perbedaan tersebut akan memunculkan persoalan dan gesekan sosial yang ada di tengah masyarakat. Salah satu permasalahan yang terkadang muncul adalah fenomena sikap radikalisme, terorisme, ekstrimisme. Selain itu, permasalahan lainnya adalah adanya kesenjangan sosial, konflik sosial, pemerataan ekonomi akan menjadi pemicu dan konflik dalam memahami keberagaman dan perbedaan yang dialami oleh bangsa Indonesia.
Fenomena konflik sosial seringkali muncul diakibatkan adanya kesenjangan dan pemahaman keagamaan yang belum sampai pada perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Agama menjadi penuntun dan pedoman perilaku bagi pemeluknya agar dapat memiliki cara berpikir dan cara bertindak yang benar dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, sikap toleransi dan pemahaman moderasi menjadi hal yang urgen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, angka IKUB mengalami kenaikan signifikan, yakni dari 73,09 pada tahun 2022, menjadi 76,02 pada tahun 2023, dan mencapai 76,47 pada tahun 2024. Berdasarkan data tersebut, seyogyanya menjadi pemicu agar toleransi, mdoerasi dan kerukunan umat beragama dalam meningkat seiring dengan tingginya pemahaman warga negara dalam memahamai ajaran agama yang dianutnya maupun sebagai warga negara yang baik dengan mengutamakan kewajiban daripada haknya.
Secara terminologi, moderasi beragama berasal dari dua kata yaitu moderasi dan beragama. Moderasi itu sendiri diartikan sebagai jalan tengah. Dalam sejumlah forum diskusi kerap terdapat moderator orang yang menengahi proses diskusi, tidak berpihak kepada siapa pun atau pendapat mana pun, bersikap adil kepada semua pihak yang terlibat dalam diskusi. Moderasi juga berarti ‘’sesuatu yang terbaik’’. Sesuatu yang ada di tengah biasanya berada di antara dua hal yang buruk. Contohnya adalah keberanian. Sifat berani dianggap baik karena ia berada di antara sifat ceroboh dan sifat takut. Sifat dermawan juga baik karena ia berada di antara sifat boros dan sifat kikir (Kemenag, 2019:1). Sementara kata beragama merujuk pada konsep cara jalan seseorang dalam memahami ajaran agama. Oleh karena itu, konsep moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi tadi. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat.
Moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama (Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2019: 14). Oleh karena itu, moderasi beragama menjadi cara berpikir dan cara bertindak yang didasarkan pada nilai-nilai agama yang tidak menunjukkan sikap berat sebelah (ekstrim kiri atau ekstrim kanan). Dengan memiliki sikap moderat diharapkan mampu menunjukkan perilaku yang mengarah pada perbuatan yang menghargai perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan.
Selain itu, bahwa indikator dalam mengimplementasikan moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan, toleransi, penerimaan tradisi lokal, dan anti kekerasan. Berdasarkan hal tersebut memiliki konsekuensi bahwa moderasi beragama mampu memiliki komiteman kebangsaan dengan ditunjukkan adanya konsensus dan penerimaan terhadap konstitusi negara berupa Pancasila, bhineka tunggal ika, UUD 1945 dan NKRI. Selanjutnya adalah toleransi, hal ini ditunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan keyakinan, pendapat dengan tidak memaksanakan kehendak seseorang terhadap keyakinan orang lain yang berbeda agama dan keyakinannya. Penerimaan tradisi lokal ini menunjukkan sikap menghormati budaya, kearifan lokal, dan tradisi masyarakat. Selanjutnya yang terakhir adalah anti kekerasan. Sikap anti kekerasan ini merupakan perilaku yang menolak dan mencegah segala bentuk ancaman kekerasan baik berupa teror, intimidasi, dan intervensi dalam kehidupan keberagamaan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Alhasil, semoga moderasi beragama mampu dibumikan di nusantara ini dengan harapan mampu menjadikan umat beragama agar memiliki sikap dan pemahaman yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dan memiliki perilaku yang tidak bertentangan dengan konsensus negara, sehingga dapat mewujudkan negara yang adil, makmur, dan sejahtera.***

Related Articles
Back to top button