Kesehatan Mental, Mindfulness dan Agama
Kesehatan Mental, Mindfulness dan Agama Kita
Oleh: Eman Sulaeman Syahri
Pegiat Kajian The Gate of Information
Selain istilah healing plesiran dan ngopi cantik, setidaknya ada dua frase istilah lagi yang menjadi tema banyak generasi kekinian, yaitu mental health dan mindfulness atau kesehatan mental dan hidup penuh kesadaran.
Tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Health Mental Day). Menurut WHO, gejala gangguan mental di Indonesia mencapai 9,8 persen pada tahun 2021, dengan angka depresi mencapai 6,6 persen. Kehidupan modern yang serba cepat berubah, ditambah pandemi Covid 19 yang berkepanjangan meningkatkan gangguan kesehatan mental. Angka itu diperkirakan meningkat di tahun 2024 ini. Perhelatan politik 2024 yang bersusulan dimulai dari Pilpres, Pileg dan kemudian Pilkada tentu menambah tekanan sosial bagi masyarakat Indonesia.
Dan seakan gayung bersambut, beberapa tahun belakangan muncul gaya hidup yang sedang diminati, yaitu mindfulness. Cara hidup berkesadaran penuh, nampaknya sebagai salah satu solusi pada keruwetan kehidupan modern. Bahkan teknik mindfulness yang awalnya berakar dari agama Budha ini dikembangkan secara akademis di universitas-universitas besar di dunia, dalam program meditasi sekular untuk kesehatan mental. Dr. Jon Kabat-Zinn dari Universitas Massachusetts Amerika mempopulerkan metode MBSR (Mindfulness Base Stress Reduction) menggunakan kombinasi meditasi mindfulness, yoga dan sebagainya. MBSR kini diajarkan di setiap negara bagian di AS, universitas Oxford Inggris dan hampir seluruh dunia. Kemudian muncul lagi pengembangan baru, yaitu Mindfulness Base Cognitive Theory (MBCT) yang ditujukan untuk penyembuhan depresi.
Jika dipetakan diri manusia terdiri dari jasmaniah, nafsiah, dan ruhiyah atau body, mind, dan spirit. Kendati ketiga unsur itu saling berkait berkelindan. Sedangkan secara fungsi ketiga unsur itu bisa juga diumpamakan dengan contoh Ojol, alias Ojek Online yang terdiri dari kendaraan, sopir, dan penumpang. Kendaraan itu simbolisasi jasmaniyah, driver itu umpama nafsiyah, dan penumpang itu ibarat ruhiyah. Dari perumpamaan itu, sang penumpanglah yang mengarahkan sang driver untuk membawa kendaraan ke tujuan tertentu. Walau nampak sepintas, sang driver yang mengoperasikan kendaraan, tapi hakikatnya sang penumpanglah yang mengendalikan keduanya.
Hanya saja dalam keseharian seseorang seringkali menghayati dirinya melulu sebagai nafsiyah, atau pikiran dan emosi perasaan. Padahal ada sesuatu entitas yang bisa menyadari dirinya misalnya sedang berpikir, atau dirinya sedang merasakan emosi tertentu. Kesadaran yang bisa mengambil jarak dan menjadi penyaksi (syahida) dari tingkah polah pikiran dan emosi perasaan. Pikiran dan emosi perasaan hanyalah tool atau alat untuk didayagunakan dalam tujuan kehidupan. Inilah kesadaran ruhiyah itu, eksistensi di balik jasmaniah dan nafsiyah.
Jika tidak disadari demikian, maka pikiran dan emosi perasaan bisa mengambil alih kendali sepenuhnya. Perilaku pikiran bisa melompat ke sana ke mari, dan emosi perasaan yang mengikutinya bisa berubah-ubah antara cemas kepada masa lalu dan takut kepada masa depan. Konsekuensinya seseorang tidak bisa menikmati dan mensyukuri yang ada di sekitarnya, keadaan pada saat ini dan di sini. Hal itu bisa menimbulkan gangguan mental seperti overthinking, kecemasan berkepanjangan, stress berlebihan, bahkan mungkin berujung kepada penyakit mental yang lebih serius lagi. Kemudian karena saling berkait, masalah mental itu bisa juga menyebabkan penyakit fisik yang biasa disebut Psikosomatik.
Di sinilah pentingnya mindfulness yang menekankan hidup penuh kesadaran pada saat ini dan di sini.
Menarik hasil penelitian Harvard University 2014, bahwa kegiatan meditasi dan Yoga bisa menurunkan biaya kesehatan sampai 43 persen. Artinya ada penghematan dana dalam menjaga kesehatan sehingga sekaligus meningkatkan waktu produktif. Penelitian Harvard Medical School juga mendapati, bahwa spiritualitas membawa dampak positif bagi para pelakunya termasuk pada spiritualitas non agama formal.
Demikian juga penelitian dari Proyek Shamata di Universitas California, Davis Amerika menyimpulkan bahwa kondisi meditatif akan membawa kepada relaksasi ketenangan. Sehingga membantu menurunkan kadar hormon stres kortisol, dan meningkatkan hormon kebahgiaan seperti dophamin, endorfin, oxitosin dan serotonin, yang secara umum dapat meningkatkan kesehatan mental dan jasmani seseorang.
Jika ditarik benang hijaunya bahwa dampak positif spiritualitas universal bagi kesehatan mental dan juga jasmani manusia adalah karena kondisi meditatifnya.
Kondisi meditatif ini sebenarnya dalam istilah agama kita identik dengan kondisi khusyu. Khusyu biasa diterjemahkan oleh para ulama sebagai hadir hati.
“Sungguh beruntung orang yang beriman.
Orang yang khusyu dalam shalatnya.”
(QS. Al Mukminun 23: 1 – 2)
Jadi yang diinginkan oleh Al Quran pada shalat itu adalah anjuran untuk mengalami kondisi meditatif khusyu. Ketika seseorang menyadari sepenuhnya apa yang sedang dialaminya.“Wahai orang yang beriman. Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.”
(QS An Nisa 4: 43). Para Mufasir memaknai sukaro atau mabuk ini secara harfiah seperti teler minuman keras, atau bisa juga secara maknawi sebagai ketidaksadaran dalam bacaan shalat.
Bahkan dalam Al Quran ada teguran keras kepada orang salat tapi dengan lalai, tanpa kesadaran, sehingga tidak punya empati kepada orang lain.“Maka celakalah orang Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya.
Orang yang berbuat riya.Dan enggan memberi bantuan”.
(QS Al Maun 107: 4 – 7).Al Quran memberi indikasi bahwa dampak shalat itu dalam dua kategori. Pertama kategori personal, yaitu dampak ketenangan dan kesehatan mental. Kedua kategori sosial, yakni dampak etika moral dan empati sosial.
Dampak personal dari shalat adalah ketenangan dan kesehatan mental.“Dan dirikanlah shalat untuk dzikir menyadariKu”(QS Thaha 20: 14).“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir menyadari Allah. Ingatlah, hanya dengan dzikir menyadari Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d 13: 28)
Dampak sosial salat adalah tegaknya etika moral dan empati sosial.“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan ketahuilah, menyadari Allah itu lebih besar keutamaannya. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-‘Ankabut 29: 45)
Pada akhirnya ritual rutin untuk menjaga kondisi meditatif itu diharapkan menumbuhkan kesadaran ilahiah dalam setiap aktifitas keseharian. Sehingga idealnya akan terbentuk masyarakat Rabbaniah, masyarakat berkesadaran Ketuhanan.“Yaitu orang-orang yang dzikir menyadari Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Seraya berkata, Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
(QS. Ali ‘Imran 3: 191)
Alla kulli hal, sebenarnya kita sudah mempunyai platform atau sistem untuk melatih dan menjaga mindfulness. Serangkaian ritual ibadah mahdhah dan ghair mahdhah untuk meraih kekhusyuan. Suatu sistem untuk menjaga kesehatan mental masyarakat dan juga pada akhirnya akan mendorong tegaknya etika moral masyarakat. Teristimewa lagi platform ini lengkap dengan disiplin waktunya yang rutin. Sekurangnya salat 5 kali dalam sehari itu merupakan disiplin ritual yang jarang dipunyai umat lain.
Sebagai renungan kita mengutip Nahjul Balaghah, kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib yang terkenal akan kefahaman dan kefasihannya: “Ada orang yang beribadah kepada Allah karena ingin balasan pahala, itu ibadahnya pedagang. Ada orang yang beribadah kepada Allah karena takut, itu ibadahnya budak sahaya. Ada pula orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur, itulah ibadahnya orang-orang yang merdeka.”
Platform yang lengkap itu merupakan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat kita, umat Islam. Masalahnya apakah kita akan memaksimalkannya ataukah hanya menjadikannya rutinitas tanpa makna belaka.Wallahua’lam bishowab.***