Minimnya Perlindungan Hukum di Tengah Maraknya Kriminalisasi Guru
Oleh: Mutaqin
Pengamat Isu Sosial, Hukum dan Pendidikan
Seorang guru diperkarakan secara hukum oleh orang tua siswa yang tidak terima anaknya mendapat perlakuan selama proses pembelajaran dalam rangka mendisiplinkan anak tersebut dengan cara yang menurut mereka di luar batas. Kemudian menyeret guru-guru tersebut ke dalam meja persidangan yang kebanyakan dari mereka merupakan guru berstatus honor yang masih lemah secara penghasilan materil. Tidak berhenti di situ, terbaru seorang guru honorer dari Kabupaten Konawe Selatan yang mengajar di SDN 4 Baito terpaksa harus berurusan dengan hukum setelah dilaporkan oleh orang tua siswa atas tuduhan penganiayaan pada April 2024 dengan dasar bukti yang sangat lemah.
Yang menarik perhatian publik dari kasus ini dan membedakannya dengan kasus-kasus kriminaliasi guru yang mulai sering terdengar belakangan adalah bahwa adanya kesenjangan relasi kuasa yang sedemikian kentara antara Supriyani yang dilaporkan hanya sebagai guru honorer dan status anggota kepolisian dari pihak orang tua siswa yang melaporkan. Dari kasus ini semakin memperjelas bagaimana masih jauhnya profesi guru bukan hanya dari kesejahteraannya saja, namun juga rasa aman dalam menjalankan tugas mulianya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.
Bahwa amanat yang terkandung dalam konstitusi kita terkait dengan pendidikan guna menciptakan manusia-manusia Indonesia yang cerdas dan beradab masih mengawang-awang di angkasa karena tidak terpenuhinya berbagai prasyarat untuk mewujudkannya, dan dalam hal ini masih alfanya hukum yang melindungi para guru dalam menjalankan tugasnya. Tanpa adanya keseriusan negara dalam memberikan perlindungan secara hukum bagi guru, khususnya guru honorer bisa dipastikan kasus-kasus kriminalisasi terhadap guru akan meningkat seiring waktu. Kepastian hukum terkait dengan perlindungan guru sejatinya telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, selain itu juga MA mengeluarkan Putusan Nomor 1554 K/PID/2013 yang tidak lain isinya memuat ketentuan bahwa dalam rangka menjalankan profesi termasuk di dalamnya memberikan treatment berupa pendisiplinan terhadap murid maka guru tidak bisa dipidanakan.
Namun sampai hari ini harus diakui belum ada satu pun produk hukum yang setara Undang-undang yang secara khusus menyinggung soal perlindungan terhadap para guru yang berstatus honorer yang memberikan rasa aman bagi mereka selama mengajar di sekolah, akibatnya di tengah fakta terjadinya degradasi adab dan tatakrama para pelajar zaman sekarang kemudian diperparah dengan ketidakpahaman serta kurangnya kesadaran orang tua siswa untuk bersikap kooperatif berujung pada meningkatnya kasus pelaporan guru yang semestinya dapat diselesaikan dengan jalan dialog sebagaimana yang diatur dalam permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Tenaga Pendidik dan Kependidikan.
Pasal 4 permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 berbunyi “Perlindungan yang dilakukan oleh Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan dalam bentuk advokasi nonlitigasi”. Payung hukum berupa produk perundang-undangan pada level menteri ini hanya mampu mengakomodir perlindungan hukum bagi guru melalui penyelesaian perkara jalur non-ligitasi dan tidak memiliki manfaat sama sekali ketika guru harus diseret ke dalam perkara yang berada di ranah pengadilan (ligitasi). Walau pun terdapat ketentuan selevel Undang-undang berupa Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur perlindungan bagi guru sebagaimana tertuang pada pasal 12 ayat 1 namun tidak cukup efektif yang sering kali disebabkan adanya benturan dengan produk hukum lain yang setara seperti Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dan kondisinya lebih mengkhawatirkan jika guru yang bersangkutan masih berstatus honorer yang memang masih minim perlindungan dan dipandang rendah.
Dengan gaji yang jauh dari kata manusiaswi ditambah ketidakjelasan karir masa depannya, guru honorer bagaimanapun juga memainkan peran penting dalam proses pendidikan nasional yang sayangnya termasuk kelompok yang sangat rentan menerima ketidakadilan hukum dan kriminalisasi. Supriyani hanyalah satu dari sekian kasus kriminalisasi guru, yang tidak berdaya di hadapan kemapanan dan kecongkakan hukum Indonesia.
Masih ada daftar panjang guru-guru yang harus terseret dan dihinakan atas nama penegakan hukum, dua di antaranya yang paling menyayat hati yang dikutip dari berbagai sumber yakni kasus guru di Jombang bernama Khusnul Khotimah pada Januari 2024 yang harus berakhir dengan penetapan sebagai tersangka setelah dilaporkan orang tua siswa yang juga aparat polisi atas tuduhan kelalaian yang menyebabkan anaknya mengalami cedera mata. Kemudian ada kasus guru dari Sidoarjo bernama Muhammad Samhudi pada 2016 yang dipolisikan orang tua siswa hanya karena mencubit anaknya sebagai bentuk pendisiplinan yang harus berakhir dengan penjeblosan sang guru menyusul putusan PN Sidoarjo yang memberikan vonis tiga bulan masa percobaan enam bulan dan denda Rp 250 ribu.
Hal yang juga patut disorot dari serangkaian fenomena guru yang diperkarakan secara hukum adalah bahwa kurangnya rasa keadilan dan juga kepekaan para penegak hukum dari mulai kepolisian di tingkat awal hingga ke tingkat kejaksaan. Di tingkat awal, seharusnya pihak polisi tidak begitu saja dengan mudahnya menerima laporan yang dilakukan oleh orang tua siswa jika menyangkut nama guru yang sedang menjalankan tugasnya dalam mendidik. Tidak cukup sampai di situ, dengan adanya guru-guru yang ditetapkan sebagai tersangka bahkan ada yang hingga mendekam di penjara setelah kepolisian menerima laporan kemudian diproses artinya ada peran jaksa yang memandang perlu untuk diselesaikan secara ligitasi yang sejatinya akan lebih bijak jika diselesaikan secara nonligitasi dengan mekanisme restorative justice.
Yang lebih mirisnya lagi setelah proses hukum di tingkat kepolisian dan kejaksaan sebagai institusi penegak hukum meloloskan kasus dengan terduga adalah seorang guru pada tahap di persidangan, tidak jarang majelis hakim menjatuhkan vonis bersalah bagi para guru tersebut dengan hukuman penjara seperti pada kasus Muhammada Samhudi dari Sidoarjo dan hal sama juga dialami oleh guru di Jombang bernama Khusnul Khotimah yang keduanya harus menelan pil pahit dalam profesinya sebagai pendidik. 3 lembaga penegak hukum yang berbeda dan berjenjang dalam menangani suatu kasus seharusnya tidak ada cerita guru begitu mudahnya dijebloskan ke penjara karena orang tua siswa tidak terima jika anaknya mendapatkan perlakuan pendisiplinan saat belajar di sekolah.
Menyikapi permasalahan ini, kiranya dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak baik dari pihak sekolah, orang tua siswa, organisasi profesi serta pemerintah untuk menekan meningkatnya kasus-kasus kriminalisasi para guru. Dibutuhkan adanya payung hukum baik dalam rangka untuk memasstikan para penegaknya yang berintegritas dan juga produk hukum yang lebih memberikan perlindungan hukum secara tegas sekaligus jelas yang lebih menjamin bagi para guru termasuk guru honorer dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik tanpa dibayang-bayangi kekhawatirkan akan didiskriminalisasi atas tuduhan kekerasan terhadap anak.***