Hedonisme Vs Pola Asuh
Oleh : Drs. D. Rusyono, M.Si.
Penulis : Anggota Juang Kencana, Puspaga Kabupaten Kuningan dan mengajar pada STIKes Kuningan
KETIKA ketenteraman masyarakat sudah terusik oleh segelintir oknum warga masyarakat, maka berbagai reaksi atau tanggapan akan muncul tentunya dalam berbagai bentuk komentar dari mulai yang bersifat menyayangkan, keprihatinan sampai umpatan atau hujatan.
Itulah salah satu efek donimo dari sebuah situasi yang tidak diharapkan terjadi dari akibat ulah/perilaku yang tidak terpuji. Berbeda halnya dengan menyikapi/reaksi masyarakat terhadap situasi musibah yang bersifat alami akan diterima dengan sikap tawadu dan instrospeksi diri, contoh bencana alam dan sebagainya.Itulah dua sisi paradoks yang harus disikapi dengan sudut pandang yang berbeda.
Khusus dalam ulah/perilaku oknum masyarakat yang bersifat negatif yang mengundang kekesalan dan kemarahan masyarakat umum, akhir-akhir ini cukup marak terjadi ditengah kehidupan masyarakat dengan berwarna kekerasan maupun penindasan atau penganiayaan, bahkan cenderung sudah menjadi fenomena.
Tentunya ada yang menimpa perempuan, anak-anak, remaja bahkan dewasa, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), trafiking, pelecehan, kekerasan terhadap anak termasuk di dalamnya exploitasi anak, kekerasan seksual terhadap anak, penganiayaan, guru mencabuli murid, gang motor, bahkan pembunuhan.
Hal ini cukup miris mendengarnya maupun melihatnya. Malahan saking sudah seringnya terjadi hal-hal seperti tersebut, maka ada kesan betapa mudahnya merendahkan/menindas orang, bahkan membunuh orang.
Dari sekian banyak kasus di atas, salah satu yang masih hangat terjadi dan masih terus viral baik secara maya maupun faktual, yaitu sebagai akibat dari kepongahan/kesombongan seorang oknum anak dari seorang pejabat disebuah lembaga pemerintah. Sebut saja MDS yang masih muda belia 20 th anak dari seorang
pejabat di lingkungan sebuah lembaga pemerintah, yang karena kepongahannya mengakibatkan jatuh korban luka parah, dengan korban sebut saja D seorang remaja masih berumur 17 tahun anak dari pengurus GP Ansor.
Sungguh kejadian yang tidak pantas terjadi, membuat miris seluruh rakyat Indonesia atas perbuatan yang tidak terpuji, malahan ada indikasi seorang perempuan turut serta di dalamnya, masya Allah sungguh mengerikan dan memprihatinkan.
Disaat kita tengah dihadapkan kepada berbagai ujian seperti baru saja kasus Sambo selesai di vonis pada pengadilan tingkat pertama, belum lagi bencana alam dimana-mana, tingginya harga-harga, termasuk BBM dan naiknya ONH, belum lagi KKN, bahkan isu penculikan anak dan sebagainya, harus pula ditambah dengan menyaksikan pemandangan atau peristiwa-perinstiwa yang memilukan, dimana nurani dan akal sehat dari para oknum pelaku kejahatan tersebut sudah tidak diindahkan lagi.
Lalu muncul pertanyaan dimana letak persoalannya, apakah bunda salah mengandung, apakah orang salah mengasuh, keliru mendidik sehingga agama dan moral sudah tidak diindahkan lagi, tidak menjadi prioritas lagi.
Semuanya akan terpulang kepada kita selaku masyarakat dan warga negara yang terhimpun dalam ikatan keluarga-keluarga menyikapinya, paling tidak bagaimana peran/fungsi para orang tua dalam mempersiapkan generasi yang unggul, bermoral dan berkualitas dengan dibekali fondasi agama yang kuat, interaksi keluarga yang harmonis ditambah ilmu yang bermanfaat, termasuk pola penteladan dari keluarga (orang tua) beserta elemen lain yang terkait, bukan dengan uang/harta meskipun itu juga perlu, tetapi tidak menjadi satu-satunya prioritas, maka insya Allah generasi kita akan terhindar dari halhal yang tidak diinginkan.
Komponen Penentu Sebagaimana topik diatas, maka berbagai komponen akan turut menentukan, namun sebelum itu ada baiknya kita lihat beberapa hal ruang lingkupnya antara lain
sebagai berikut.
Secara harpiah atau secara umum hedonisme adalah merupakan perilaku yang menunjukkan sebuah kelebihan dalam segala-galanya. (Rani Setiawati, tvOne, 25-2- 2023), selanjutnya faktor yang mempengaruhi secara internal antara lain status sosial
ekonomi yang tinggi, eksistensi diri yang super, dan pola asuh. Sedangkan secara eksternal meliputi banyak kawan/jejaring kuat, banyak kemudahan, materialistik serta kewenangan yang berlebihan bahkan dijadikan sebuah pedoman.
Sementara disisi lain secara khusus pola asuh tidak kalah pentingnya sebagai faktor penentu dalam keberadaan seorang anak.
Pola Asuh sendiri adalah proses pemeranan orang tua dalam memperlakukan anak, mendidik, membimbing dan mendisipilinkan serta melindungi anak dalam proses kedewasaan sampai dengan membentuk perilaku anak sesuai dengan norma/nilai yang baik dalam kehidupan masyarakat (Fitriyani, 2015).
Dalam pola asuh perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya komunikasi dua arah, bekerjasama dengan sekolah/guru, hindari pacaran (tidak ada stigma pacaran dapat menjadi penyemangat), lalu perkenalkan anak dengan nilai-nilai keagamaan, kemudian termasuk harus bijak dalam bermedsos, serta beri perilaku penteladanan dari orang tua secara holistik, karena orang tua akan menjadi pusat peniruan anak, tetapi tidak perlu juga secara otoriter (dengan tekanan maupun ancaman).
Mengapa jadi Hedonis
Kembali kepada esensi semula bahwa hedonisme diwarnai dengan sikap arogansi/sombong seperti pembenaran atas diri sendiri, karena segalanya dikelilingi dengan hal-hal yang mudah diwujudkan tanpa harus memerlukan upaya/ikhtiar secara
cipta, karya dan karsa, tetapi benar-benar serba mudah, serba instan karena diukur/didukung dengan uang/harta dan eksistensi diri termasuk kekuasaan, sehingga apabila ada tantangan, maka kesewenang-wenanganpun muncul digunakan.
Contoh konkrit kasus penganiayaan anak salah seorang pejabat Ditjen Pajak berinisial “MDS” (20 th) yang menganiya seorang anak tokoh GP Ansor yang bernama “D” (17 th).
Namun demikian apapun yang terjadi terkandung hikmah, bahwa secara efek domino dari kejadian tersebut, banyak terkuak kejanggalan yang terjadi di lingkungan keluarganya terutama pada orang tuanya, yang bapaknya notabene sebagai abdi negara sekaligus pejabat pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keungan RI.
Hal ini sangat kontradiktif dengan keberadaan yang bersangkutan yang mestinya memberi contoh yang baik dalam kewajiban diri dan profesinya, tetapi malah menghindarinya dengan dibentengi profesi/jabatannya, sementara rakyat dengan susah payah untuk memenuhi kewajiban membayar pajak, sungguh pemandangan yang tidak mengenakan, sehingga duniapun serasa terbalik.
Kemudian pada sisi lain peran dikeluarganyapun selaku pendidik yang pertama dan utama terabaikan, sehingga anak mencari figur/sosok pengganti di luar rumah, mending kalau dapat menemukan yang baik, tetapi kalau tidak malah terjerumus
kepada hal yang tidak baik yang akan jadi masalah, sementara anak wajib memperoleh haknya dengan baik sebagai bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua/keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan
utama.
Secara lengkap anak berhak mendapatkan identitas, pendidikan, bermain, perlindungan, rekreasi, makanan dan minuman (mamin), jaminan kesehatan, status kebangsaan, partisipasi dalam pembangunan, serta kesamaan (Femmy Eka, 2021).
Ketahanan keluarga sebagai kata kunci
Ketahanan keluarga adalah kondisi yang memilki keuletan dan ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri/keluarga dalam meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir dan batin (UU
No.52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga).
Selanjutnya untuk hidup harmonis terdapat banyak aspek yang terkait didalamnya diantaranya 8 Fungsi Keluarga dan Empat (4) Pilar Ketahanan Keluarga. Untuk fungsi keluarga meliputi agama, pendidikan, kesehatan, ekonomi, kasih sayang, sosialbudaya, perlindungan dan lingkungan. Sedangkan dalam Empat (4) Pilar Ketahanan Keluarga meliputi ; keluarga tempat berkumpul (reunting), berinteraksi (interacting), berbagi (carriying) dan berdaya (empowering).
Dalam tataran implementasi Pembangunan Keluarga dilakukan melalui Bina-bina Keluarga yakni Bina Keluarga Balita (BKB), Remaja (BKR), dan Lansia (BKL) yang kesemuanya diarahkan kepada pola asuh dan pemberdayaan tumbuh kembang manusia (life cycle approach), sehingga diharapkan setiap tahap perkembangan
manusia dapat menjadi sumber daya yang berkualitas, tangguh dan bermartabat dalam kebersamaan, termasuk lansia yang sehat dan tangguh tidak menjadi beban keluarga.
Itulah hakikat dari sebuah pendidikan dan pemberdayaan.
Dari kesemuanya itu tidak lain mengajarkan kepada kita tentang nilai kearifan, keragaman dan kesantunan untuk saling menghargai, menghormati dalam kehidupan yang aman, tenteram dan damai.
Menyikapi hal di atas maupun kejadian lain yang berbentuk penyimpangan perilaku, tentunya tidak berlebihan apabila kembali kepada keberadaan diri pelaku beserta keluarganya dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya seperti pendidikan (karakter), sosial psikologis, perhatian, dan lingkungan.
Ahkirnya sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa lakukanlah dengan ucapan yang baik”, (HR Bukhari). Mutiara hikmah dari hadits tersebut mengandung pesan moral yang sangat dalam adalah ternyata dengan menjaga ucapan/lisan saja seseorang dapat memperoleh predikat kemuliaan, apalagi kalau diikuti dengan perilaku yang baik pula, maka lengkaplah sudah dan jaminannya insyaa Allah selamat dunia-akhirat.
Aamiin !!!.***