Anak Muda Majalengka Lebih Memilih Kerja Buruh Pabrik dan Honorer daripada Jadi Petani
kacenews.id-MAJALENGKA-Hampir semua anak muda di Kabuaten Majalengka enggan bertani walaupun orang tuanya memiliki lahan sawah berhentare-hentare, mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik atau menjadi tenaga honorer di Pemda Majalengka dengan upah di bawah UMK.
Hanya sebagian kecil saja yang bersedia menjadi petani karena tantangan hidup dan tertantang mengembangkan usaha orang tuanya.
Lidya asal Jatitujuh, Kecamatan Jatitujuh misalnya yang orang tuanya memiliki sawah berhentare – hentare dan bisa hidup berkecukupan dari bertani padi serta sebagian lahannya ditanami pisang yang setiap minggu bisa dipanen.
Dia kini bekerja di sebuah lembaga pemeritah, dengan gaji setara UMK, ketika berangkat ke kantor dia menggunakan sepeda motor atau terkadang mobil milik orang tuanya yang dibeli dari hasil bertani.
Hal yang sama juga terjadi pada Agis yang kini bekerja disebuah pabrik padahal sawah orang tua dan neneknya sangat luas, dan kekayaanya melebihi tetangganya yang lain.
Baik Agis maupun Lidya dan Lala mengaku enggan ke sawah atau kebun karena merasakan orang tuanya saja sangat cape harus mengolah lahan sawah tidak mengenal waktu, belum lagi panas dan kotor penuh lumpur.
“Bekerja di kantor lebih senang tidak perlu panas – panasan,” katanya.
Orang tua merekapun ternya lebih menyarankan untuk tidak hidup dari bertani, alasanya bertani belum tentu menguntungkan karena terkadang harga murah, dan serangan hama yang mengganas belum lagi kekeringan menerpa tanaman, akibatnya gagal panen.
“Kalau ada mending dagang, atau jadi pegawai. Kami menyekolahkan agar pinter, tidak bekerja seperti kami, yang harus ke sawah. Jika bekerja, sawah tetap bisa disewakan,” ungkap Wawan orang tua Agis.
Modal bertani sekarang semakin besar, upah pekerja laki – laki sudah mencapai Rp 100.000 per setengah hari, perempuan Rp 75.000 setengah hari belum ditambah rokok dan makanan ringan. Harga perstisida, insektisida, pupuk juga mahal.
Koordinator PPL Kecamatan Jatitujuh Wahyudin mengatakan, baginya sulit mengembangkan petani milenial akibat lahan garapan yang semakin sempit, sewa lahan sudah sangat mahal. untuk 100 bata sewa per tahun 4 kw gabah, jika diuangkan dengan harga gabah sekarang Rp 740.000 per kw maka sewa 100 bata mencapai Rp 2.960.000 per tahun, untuk sawah seluas 1 hektare dengan pengairan teknis mencapa Rp 20.760.000 per tahun.
“Namun walaupun mahal, petani milenial susah didapat. “ ungkap Wahyudin.
Entah dengan adanya informasi dari pemerintah yang akan memberikan insentif Rp 10.000.000 per petani, sekarang banyak yang mulai bertanya. Karena pada dasarnya mereka harus dberi kepastian.
Berbeda dengan anak muda di Kecamatan Argapura yang menekuni pertanian palawija. Menurut keterangan Koordinator PPL Dede Suad kini di wilayahnya sudah ada sejumlah petani milenial yang bersedia menkuni pertanian palawija.
Ini terjadi karena harga sebagian komoditas tetap stabil. Bagi petani milenial dibutuhkan pelatihan untuk memotvasinya serta adanya peluang kemitraan agar produksi pertaniannya bisa tetap terjual dengan harga yang stabil dan menguntungkan.
“Selain itu butuh obat – obatan dengan harga murah, pukuk mudah dan murah, herbisida, insektisida, festisida juga kalau bisa disubsidi agar tidak terlalu memberatkan petani,” ungkap Dede.(Ta)