Opini

Politik Guru

Oleh: Munib Rowandi Amsal Hadi
Guru PAI Senior SMPN 8 Kota Cirebon

Gegap gempita suasana politik semakin ramai setelah ditetapkannya para calon kontestan Pilkada. Keramaian ini sebetulnya sudah dimulai beberapa bulan sebelumnya. Bahkan ada beberapa kejadian yang menunjukkan pra kampanye. Seperti kejadian penggunaan lembaga sekolah sebagai tempat kampanye di Kabupaten Kuningan, bahkan diduga telah terjadi kontrak politik demi memenangkan salah pasangan kandidat. (Kabar Cirebon, 21 September 2024)
Tentu hal itu telah bertentangan dengan undang-undang, yaitu Pasal 280 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur 10 larangan kampanye bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye, bagian h.yaitu larangan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk kegiatan kampanye. Munculnya larangan tersebut, merupakan pencegah terhadap potensi penggunaan tempat yang mestinya netral namun dapat digunakan menjadi tidak netral.
Menaggapi persoalan tersebut, Bawaslu setempat menyatakan ketidakmungkinan penyalahgunaan lembaga pendidikan dan tidak bertentangan dengan undang-undang karena dilakukan sebelum terbentuknya calon, serta ada kemungkinan munculnya aturan baru yang berpotensi memiliki perbedaan dengan aturan yang dulu.
Munculnya lembaga sekolah menjadi tempat kampanye merupakan fenomena yang sering dijumpai menjelang atau saat pemilihan. Namun perlu diketahui, dipergunakannnya lembaga pendidikan tidak serta merta menunjukkan keterlibatan guru pada kegiatan politik praktis. Ada beberapa sebab lembaga pendidikan terseret ke dunia politik. Sebab pertama, karena tekanan struktural. Kedua, kekhawatiran mutasi jabatan atau mandeknya karir. Ketiga, kultur feodal.
Tekanan struktural akan berpengaruh pada lembaga struktural. Jabatan tertinggi di sekolah adalah kepala dekolah dan merupakan jabatan fungsional. Maka sekolah tidak mungkin secara langsung terpengaruh pada tekanan yang bersifat struktural. Namun kepala sekolah harus loyal pada kepala dinas pendidikan. Maka, peluang lembaga sekolah masuk pada politik praktis adalah karena tekanan kepala dinas. Kepala sekolah sebagai guru tidak sama sekali dalam kapsitas seorang profesional yang bermain politik praktis.
Kepala dinas pendidikan justru menekan kepala sekolah atas nama loyalitas agar lembaga itu memfasilitasi kegiatan politik praktis. Maka, bisa jadi yang bermain politik praktis adalah kepala dinas pendidikan sebagai ASN yang memiliki jabatan struktural. Dialah yang dalam tekanan struktural atau malah sedang bergaining position kepada calon kepala daerah.
Walaupun begitu, potensi kepala sekolah bermain politik praktis juga memungkinkan. Kepala sekolah bukanlah termasuk jabatan struktural, tapi jabatan prestasi. Namun jabatan kepala sekolah sekarang ini bukan lagi jabatan prestasi, tapi sudah merupakan jabatan ‘politik’. Pergeseran ranah ini membuat kepala sekolah menjaga jabatannya bukan lagi dengan berprestasi tapi dengan ‘loyalitas’ kepada kepala dinas. Unsur inilah yang boleh jadi merupakan sebab kepala sekolah sebagai guru yang mendapatkan tugas tambahan terseret dalam dunia politik praktis.
Loyalitas kepala sekolah yang terseret politik praktis bisa saja dipicu karena kekhawatiran dimutasi ke sekolah lain yang lebih rendah levelnya, atau malah dijanjikan akan ditempatkan pada sekolah yang levelnya lebih tinggi. Kalau itu motivasinya, maka hal itu hanya kepentingan kepala sekolah, bukan kepentingan guru secara umum. Guru, dalam hal ini tidak terlibat.
Faktor yang lain, yang memiliki potensi besar membuat lembaga sekolah serta guru dan karyawannya ikut serta terlibat dan terjebak pada politik praktis adalah karena kultur feodal. Kultur feodal yang dimaksud adalah budaya feodal atau kepemimpinan dan pola politik menyerupai kaum feodal. Hal ini biasanya di daerah agraris.
Kultur feodal yang menghasilkan pemimpin feodal akan memungkinkan pemimpin mempergunakan segala cara, baik struktural maupun kultural akan dimanfaatkan untuk mendukung kepemimpinannnya. Pemimpin sebagai patron atau panutan adalah ciri dari kepemimpinan feodal. Semua orang harus menuruti perintahnya. Dia sebagai satu-satunya orang yang berhak ditiru dan dijadikan panutan. Menuntut untuk dipuja, dihormati dan dianggap sebagai pembangkang bagi yang tidak seide dengan dirinya.
Lembaga sekolah, termasuk kepala sekolah, guru dan karyawannya, ketika menghadapi pemimpin feodal, tidak bisa tidak, harus mengikuti perintahnya. Walaupun dalam hati mereka tidak suka, namun resiko yang dihadapi akan sangat besar. Pembangkang atau tidak ikut pada perintahnya akan dianggap menjadi pembangkang. Perlakuan peimpin feodal cenderung dilakukan oleh petahana.
Dari beberapa kondisi di atas, jelaslah guru sebagai ASN atau sebagai orang yang berada di lembaga pendidikan tidak mampu berbuat banyak ketika lembaga tersebut dijadikan lahan politik praktis. Semua dil uar kemampuan guru untuk menolaknya.
Guru sebagai warga Negara secara individu memang memiliki hak politik. Maka wajar saja bila guru menuntut haknya untuk berpolitik praktis. Namun tugas guru di sekolah adalah mengajarkan politik kebangsaan. Politik kebangsaan yang berfihak kepada kepentingan rakyat dengan memberikan rambu-rambu demokratis. Maka politik guru bukanlah memilih siapa, namun mengajarkan nilai-nilai mulyia tentang bagaimana berpolitik, juga mengajarkan apa tujuan berpolitik.
Guru memang kadang menjadi rujukan bagi para pelajar untuk menentukan pilihan, terutama para pemilih pemula. Dunia pendidikan yang mengajarkan idealitas, dalam tatanan politik kadang siswa perlu mendiskusikan pilihannya dengan guru yang dianggapnya mampu memberikan arahan dan berpihak kepada kepentingan kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan, boleh jadi siswa sampai bertanya siapa (nama) yang harusnya dipilih.
Mendapat pertanyaan seperti itu, biasanya guru akan memberikan kriteria tertentu yang juga merujuk pada apa yang sudah diajarkan kepada siswa. Guru menyadari, dengan menyebut nama dalam jawaban untuk dipilih siswa adalah menghapus segala upaya idealnya mengajarkan politik pada siswa. Artinya pasti tidak dilakukan. Karena bila dilakukan hal itu dianggapnya konyol.
Guru akan tetap konsisten dengan prinsip pembelajaran bahwa politik yang diajarkan di kelas adalah dalam rangka siswa mampu memahami materi politik juga bagaimana cara berpolitik yang benar. Dan pendidikan yang paling dasar dalam pembelajaran politik siswa adalah memberikan kebebasan dan tanggungjawab yang besar pada siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.
Praktek politik awal tersebut harus murni dan tidak boleh melalui intervensi. Biarkan siswa akan melakukan pembelajaran politik secara utuh. Mereka harus mengetahui resiko dan keuntungan dalam pemilihan. Dia harus mampu merasakan bagaimana menjadi warga Negara yang berhak memilih. Kebiasaan diintervensi akan membuat siswa tidak mampu berpolitik secara mandiri. Dan yang paling dihawatirkan adalah ia bermain politik bukan atas dasar pertimbangan sendiri, tapi atas dasar pertimbangan orang lain. Bila ini terjadi, tentu sangat tidak ideal dan berbahaya.
Guru selalu berfikir bahwa setiap siswa berpotensi menjadi apapun. Dalam hal politik, guru mengajarkan kepada siswa agar menjadi warga Negara yang menjalankan hak politiknya dengan baik dan benar. Baik sebagai pemilih ataupun menjadi orang yang dipilih, kelak jika ia menjadi calon politisi. Karena inti dari ajaran berpolitik adalah bagaimana mengatur Negara dengan baik dan benar sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan menerapkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
***

Related Articles

Back to top button