Opini

Pesantren Melahirkan SDI Unggul dan Berkarakter

Oleh: H. Imam Nur Suharno, SPd, SPdI, MPdI
Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah Kuningan

Setiap tanggal 22 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Peringatan HSN sejatinya mengingatkan kembali akan peran dan kontribusi pesantren dalam melahirkan Sumber Daya Insan (SDI) unggul dan berkarakter.
Kehidupan di pesantren sangat menjaga kesucian hati dan akhlak (karakter), berpegang teguh pada akidah, nilai, dan ajaran Islam rahmatan lil’alamin serta tradisi luhur bangsa Indonesia. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Tanah Air sangat tepat dijadikan tempat memperkuat pendidikan karakter. Pesantren membuktikan, tidak sedikit para tokoh negeri yang merupakan hasil didikan pesantren.
Di antara tokoh bangsa yang lahir dari perut pesantren adalah: KH Sahal Mahfudz. Beliau menempuh pendidikan selain mengaji kepada orangtuanya sendiri juga di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Tsanawiyah, kemudian melanjutkan studi di Pesantren Bendo, Kediri dan Pesantren Sarang, Rembang. Sejumlah kursus pun pernah diikutinya, antara lain: kursus Bahasa Inggris, Administrasi, Manajemen, dan lain-lain.
Kemudian, ada sosok KH Hasyim Muzadi. Menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, kemudian melanjutkan di IAIN Sunan Ampel, Malang, dan juga sempat nyantri di Pesantren Al-Anwar dan berguru langsung dari KH Abdullah Faqih dari Langitan, dan (Alm) KH Anwar dari Bululawang, Malang.
Ada juga Prof DR A Mukti Ali. Alumni dari Pesantren Termas, Kediri, Pesantren Lasem dan Pandangan, Jawa Timur. Pernah nyantri di Pesantren Tarekat, Pandangan, Tuban. Kemudian melanjutkan di Sekolah Tinggi Islam (STI), Yogyakarta yang kemudian berubah menjadi UII. Pernah belajar di Makkah dan Madinah, kemudian melanjutkan di program Phd di Universitas Karachi, dan kemudian ia meneruskan studi di Institut of Islamic Studies, Me Gill University, Montreal, Kanada.
Prof DR Ahmad Syafii Maarif. Beliau menempuh pendidikan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Kemudian melanjutkan di Universitas Cokroaminoto, Surakarta dan IKIP Yogyakarta. Studi di Universitas Illinois Utara, mendapat gelar MA dalam bidang Ilmu Sejarah dari Universitas Ohio, AS, dan gelar Phd dalam bidang Ilmu Sejarah dari Universitas Chicago.
DR HM Hidayat Nur Wahid MA. Setamat dari sekolah dasar negeri (SDN) di desanya, beliau melanjutkan study di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo, Jawa Timur. Kemudian melanjutkan di Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor; IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; dan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi (S1, S2, S3).
Lalu, Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Kahar Muzakir, Ahmad Dahlan, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Din Syamsuddin, M Maftuh Basyuni, Mahfud MD, Jimly Assiddiqie, dan masih banyak lagi tokoh bangsa yang lahir dari proses pendidikan pesantren yang tidak cukup untuk disebutkan di sini.
Hal ini membuktikan, pesantren memiliki kekuatan dan kemampuan dalam menghasilkan SDM yang berkualitas, berpengetahuan luas, berpikiran maju, berwawasan kebangsaan yang kuat, yang dibingkai dengan keimanan dan ketakwaan sebagai motivasi utamanya. Sederhananya, pesantren melahirkan SDM yang unggul dan berkarakter.
Paling tidak terdapat empat pilar utama dalam proses penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di pondok pesantren sehingga mampu menghasilkan SDM unggul dan berkarakter.
Pertama, pendidikan pembiasaan. Pembiasaan menjadi roh dalam pendidikan karakter. Dikatakan dalam papatah Arab bahwa, ”Man syabba ’ala syai’in, syaaba ’alaihi” (Barang siapa yang membiasakan sesuatu di waktu mudanya, maka ia akan terbiasa melakukannya di masa tuanya).
Dalam implementasinya, pesantren telah menggunakan metode pembiasaan ini dalam proses belajar mengajar. Guru (ustadz) membiasakan kepada peserta didik (santri) untuk melakukan aktivitas secara berulang. Misalnya, pembiasaan mengucapkan salam setiap bertemu teman dan guru serta hendak masuk kelas dan kantor, berdoa sebelum belajar mengajar dimulai, shalat Dhuha, tilawah Alquran dan shalat wajib secara berjamaah.
Kedua, kasih sayang. Dengan pendekatan kasih sayang peserta didik (santri) akan dengan mudah diarahkan dan dibentuk karakternya, sebagaimana ditegaskan QS Ali Imran [3] ayat 159. Melalui kasih sayang diharapkan dapat membentuk santri yang siap menerima, merespon, dan melaksanakan setiap panggilan kebaikan dengan penuh kesadaran, bukan keterpaksaan.
Dalam kehidupan di pesantren, ustadz tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga harus mampu memerankan diri sebagai teman, orang tua, pelatih, motivator, konselor, pemimpin, hingga sebagai kyai bagi santri dan warga pesantren.
Ketiga, keteladanan. Keteladanan sesuatu yang prinsipil dalam pendidikan. Tanpanya, proses pendidikan ibarat jasad tanpa roh. Naluri untuk meneladani merupakan naluri yang kuat dan berakar dalam diri manusia. Dan, naluri ini akan semakin menguat lewat melihat.
Sejalan dengan pendapat para ahli psikologi yang mengatakan, 75 persen proses belajar didapatkan melalui penglihatan dan pengamatan, sedangkan yang melalui pendengaran hanya 13 persen. Pendidikan itu by doing, bukan by lips: pendidikan adalah dengan teladan bukan dengan verbal.
Dalam kehidupan di pesantren, seorang ustaz dan seluruh pengelola pesantren mulai dari pimpinan hingga bagian kebersihan harus mampu menjadi teladan bagi santri. Sehingga, ustadz dan para pengelola pesantren benar-benar mampu menjadikan dirinya sebagai ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani.
Keempat, kekuatan doa. Perlu disadari bahwa gelar yang disandang oleh guru bukan jaminan keberhasilan dalam mendidik. Sangat mungkin gelar tersebut malah menjadi bumerang menuju kegagalan. Hal ini bisa terjadi ketika guru terlalu yakin dengan kemampuan yang dimilikinya.
Sebagai manusia, guru hanya dapat berusaha. Selebihnya, keputusan akhir terkait hasil usaha bergantung kepada-Nya. Sikap terlalu yakin dengan kemampuan diri hingga mengabaikan-Nya akan membuatnya kehilangan kekuatan jiwa. Karena itu, doa menjadi senjata bagi ustadz untuk keberhasilan dalam mendidik santri.
Dalam kehidupan di pesantren, ustadz dan para pengelola pesantren termasuk santri terbiasa berdoa mulai dari bangun hingga tidur kembali. Santri terbimbing secara masif untuk berdoa dalam setiap akan melakukan kegiatan. Nabi SAW melarang para orang tua (ustadz) mendoakan keburukan bagi anak didik (santri). Karena hal itu dapat mengakibatkan kehancuran bagi anak didik dan masa depannya.
Dengan demikian, sudah semestinya jika pengelola negeri ini memberikan perhatian lebih terhadap pesantren supaya lebih produktif melahirkan SDM yang unggul dan berkarakter untuk membangun negeri ini. Semoga.***

Related Articles
Back to top button