Opini

Pilkada: Momentum Membangun Negeri atau Hanya Tebar Janji?

Oleh: Khaerudin
Penulis Buku Langkah Kaki

Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada merupakan salah satu momentum yang selalu dijadikan sebagai pilar dari demokrasi yang baik untuk membangun perubahan bagi suatu daerah tersebut. Penduduk daerah tersebut pun tak lupa untuk andil dalam pelaksanaan vote atau memberikan hak suaranya dengan cara mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) nantinya.
Harapan dari diadakannya pesat demokrasi Pilkada tidak lain adalah untuk membangun sebuah daerah yang telah memiliki otonomi daerah dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan kata lain Pilkada diharapkan menjadi sebuah momentum awal terjadinya perubahan dan perbaikan negeri melalui daerah. Namun betulkah Pilkada adalah salah satu momentum untuk hal tersebut? Ataukah hanya sekedar rutinitas dan masa untuk menebarkan janji-janji politik semata?
Pilkada menjadi sebuah momentum besar yang tidak boleh disia-siakan baik oleh calon yang menjabat atau pun calon pemilih yang akan memberikan pilihan suaranya. Momentum ini biasanya disebut sebagai momentum awal perubahan. Dengan adanya Pilkada, maka masyarakat dapat menentukan daerah tersebut akan seperti apa. Tentu semua itu dilihat dari masing-masing calon pejabat dengan segala program yang telah mereka tawarkan selama masa kampanye dilakukan.
Hal penting yang harus diketahui oleh calon pemilih adalah calon pemimpin yang menawarkan visi dan misi atau program kerja yang membawa inovasi, visi baru, kebijakan yang penuh inovasi dan yang paling penting membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat daerah tersebut.
Bagi calon pejabat yang terpilih dalam kontestasi Pilkada nanti tentu diharapkan menjadi seorang atau perangkat yang selalu membawa solusi bagi masyarakatnya (problem solver). Tentunya dapat mengangkat isu-isu sosial yang begitu krusial, persoalan pendidikan, Kesehatan dan kesejahteraan. Janji yang sempat disampaikan Ketika masa kampanye, di sinilah mereka akan diuji apakah dm memilih dirinya saja.
Pemimpin adalah salah satu contoh masyarakat dan daerah tersebut, jika dari ranah pemimpin utama daerah tersebut tidak mampu menjaga amanah, integritas yang seharusnya dilaksanakan dengan baik olehnya, maka sudah dipastikan daerah tersebut akan menuju ke arah mana. Karena tolak ukur suatu daerah adalah dilihat dari seorang pemimpinnya. Jika pemimpinnya amanah maka daerah tersebut pun akan penuh dengan perubahan positif.
Meski begitu, terkadang kenyataan yang kita temui sebenarnya adalah selepas perhelatan Pilkada dilaksanakan banyak sekali hal-hal yang semula diharapkan menjadi perubahan malah tampak begitu monoton tanpa ada perubahan signifikan. Monoton ini bisa dari segi infrastruktur atau pun fasilitas sosial lainnya.
Faktor yang mendasari hal itu karena banyaknya praktik-praktik politik yang kurang bersih dan hanya fokus kepada kepentingan diri sendiri dan kelompoknya saja. Banyaknya praktik korupsi yang dilakukan para pejabat yang menduduki kursi pemerintahan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keadaan suatu daerah yang hanya menjadi begitu-gitu saja, tidak ada perubahan. Hal ini didasari karena pejabat yang sebelumnya mencalonkan diri dalam kontestasi politik seringkali melakukan praktik politik uang kepada masyarakat guna memenangkan kontestasinya.
Rendahnya pendidikan politik yang dilakukan oleh masyarakat yang identik dengan jiwa apatis yang kurang peduli dengan dunia perpolitikan praktis memang sering terjadi di lingkungan kita. Ditambah lagi media sosial dan para awak media lainnya selalu memberikan informasi, baik itu berisi fakta atau hanya framing saja tentang kampanye politik yang hanya mengejar pencintraannya saja, dilakukan hanya untuk menarik simpatisan saja tanpa bertujuan tulus untuk mengabdi kepada masyarakat. Ini juga yang membuat masyarakat tidak bisa menilai substansi politik yang disampaikan oleh para calon kepala daerah tersebut.
Penting untuk diingat bagi kita bahwa politik bukan hanya tentang memilih kepala daerah, kepala negara atau kepala desa dan lain sebagainya. Tapi politik itu tentang kita belajar menjaga integritas, kejujuran, amanah dan tugas yang akan dan sudah diberikan. Bukan hanya berlaku untuk para pemimpin melainkan untuk rakyat yang memilih calon pemimpin juga harus memahaminya.
Sudah sepantasnya kita memahami bahwa politik uang itu tidak mendidik, itu sama saja sebagai langkah awal bahwa kita mempersilakan calon pejabat melakukan tindakan selanjutnya. Coba bayangkan berapa banyak uang politik yang sudah digelontorkan dalam kontestasi tersebut, ditambah lagi dengan melakukan politik uang guna mendapatkan suara banyak dan memenangkannya. Bisa diasumsikan bahwa suatu saat ketika ia terpilih nanti akan berpikir bagaimana caranya uang kampanya yang dikeluarkan bisa kembali lagi menjadi sebuah keuntungan atau minimal balik modal lagi.
Oleh karena itulah sebagai sebuah refleksi dan tanggung jawab kita terhadap dunia politik, calon pemilih harus memiliki pikiran yang kritis dan cerdas dalam mencoba memilih calon pemimpin yang akan bertugas di daerah tersebut. Sudah sepatutnya kita menilai visi misi yang logis dari seorang pemimpin yang akan memimpin kita. Kita jangan lagi terbuai buta terhadap janji manis politik yang disampaikan jika realitas rekam jejaknya kurang bisa memberikan kesan yang baik, dengan begitu kita bisa menjadi masyarakat demokrasi yang begitu aktif dalam menyokong kemajuan daerah kita nantinya.
Bukan hanya refleksi dan wejangan yang disampaikan kepada masyarakat kita, namun juga kepada petugas dan panitia penanggung jawab pemilihan tersebut. Sudah selayaknya bahwa penyelenggara Pilkada harus menjunjung tinggi kinerja dan integritas sehingga harapan masyarakat yang memilih dan ikut andil dalam pesta demokrasi tersebut dapat berjalan dengan lancar, jujur, adil dan transparan.***

Back to top button