Opini

Refleksi Isro Mi’raj: Pentingnya Meningkatkan Kualitas Sholat Kita

Oleh : H. Muhamad Jaenudin, S.Ag.MH.
( Kepala KUA Kec. Pancalang)

ISRO mi’raj adalah peristiwa yang supranatural karena tidak gampang dijangkau dengan logoka dan pikiran.
Pakar Tafsir, M. Quraish Shihab mengatakan peristiwa ini membuktikan bahwa ilmu dan qudratnya Allah meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.
Pendek kata Isro Mi’raj adalah sebuah bukti adanya kekuatan dari yang Maha Ghaib (metafisika).
Metafisika berasal dari dua kata berbahasa Yunani; meta dan physika. Kata meta berarti sesudah sesuatu, atau di balik sesuatu, sedangkan physika berarti nyata, konkrit, dapat diukur, dan mampu ditangkap panca indera. Jadi metafisika adalah eksistensi di balik yang fisik atau di balik alam yang nyata. Metafisika adalah merupakan obyek dari ontologi.
Dalam metafisika ada dua aliran yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme. Aliran materialisme adalah faham yang berpendapat bahwa di balik semua realitas yang ada di alam ini ada penggerak utama yang bersifat materi. Puncak dari faham ini adalah atheisme.
Sedangkan idealisme adalah faham yang berpendapat bahwa di balik semua realitas yang ada di alam ini ada penggerak utama yang bersifat immateri (Allah kata Orang Islam)
Karena masing-masing dari kedua aliran di atas mempunyai kekurangan disamping kelebihannya, maka sikap yang terbaik adalah dualisme, menggabungkan anara materialisme dan idealisme.
Sebagai contoh ajaran sholat sebagai oleh-oleh terbesar Isro mi’raj sebagai tonggak diwajibkannya sholat dalam sehari semalam lima kali. Dalam sholat jika direnungkan memiliki dimensi materialisme dan idealisme sekaligus.
Kedua aspek itu saling melengkapi satu sama lainnya, dan saling menguatkan. Bagaikan dua sisi dari mata uang, ia hanya bisa dibedakan dan tidak bisa dipisahkan.
Dimensi material sholat sangat berhubungan dengan hukum fiqh yang mewajibkan terpenuhinya syarat dan rukun sholat. syarat sah sholat yang menghendaki adanya kebersihan badan, pakaian, dan tempat dari segala najis dan hadats. Dimensi material ini semestinya mengajarkan bahwa manusia penampilan fisiknya harus bagus.
Ia harus punya bangunan rumah dan tempat ibadah yang megah. Ia harus memiliki pakaian yang bersih, anggun dan menarik. Bahkan mungkin pakaian mewah. Manusia juga harus memiliki fasilitas sosial yang memadai. Dan untuk itu semua mereka harus mempunyai ilmu pengetahuan yang mumpuni.
Mereka harus berperadaban tinggi. Harus ada yang menjadi arsitektur bangunan megah, menjadi pengusaha pakaian dan kecantikan, bahkan harus ada yang menguasai kedokteran supaya badan mereka sehat dan kuat untuk beribadah kepada Sang Kholik.
Hakikat manusia dalam konsep tasawwuf Imam al-Ghazali adalah makhluk yang berdimensi jasmani dan ruhani. Jasmani adalah jasad tempat bersemayamnya ruhani. Sementara ruhani manusia menurut al-Ghazali terdiri dari ruh, hati, akal dan nafsu.
Konstelasi ruhani tersebut menggambarkan bahwa manusia berada di tengah-tengah antara naasut yaitu potensi kemanusiaan biasa, dan laahut yakni potensi ketuhanan. Potensi kemanusiaan contohnya adalah makan, minum, dan seksual, sedangkan potensi ketuhanan contohnya kebaikan, kebijaksanaan, kecintaan dan kesempurnaan.
Manusia jika terus menerus mengasah potensi ketuhanan yang ada pada dirinya maka ruhnya akan makin dekat kepada Tuhannya hingga sampai puncaknya berada pada posis “ma’rifatullah” yaitu merasakan hakikat hadirnya Allah melalui pengetahuan, perasaan, pengalaman dan amal ibadah.
Manusia yang sampai pada posisi ini akan menjadi makhluk termulia bahkan mengalahkan kemuliaan malaikat sekalipun. Itulah sebabnya malaikat dan bangsa jin diperintah Allah untuk sujud kepada nabi Adam. Semua malaikat sujud kecuali Iblis.
Keadaan ini juga tergambar pada peristiwa Isro Mi’raj nya Sang Rasul SAW.Saat bermi’raj naik ke langit pertama sampai langit keenam Malaikat Jibril mampu menemani Rasulullah SAW tetapi di langit ketujuh atau sidratul muntaha, Malaikat jibril tak mampu menembusnya. Sebagai manusia yang sudah sampai pada level ma’rifatullah Muhammad SAW menjadi makhluk termulia bahkan mengalahkan kemuliaan malaikat sekalipun.
Akan tetapi keadaan di atas akan menjadi berbanding terbalik jika manusia hanya memperturutkan potensi kemanusiaannya (naasut) tanpa terus berusaha meningkatkat kualitas ruhaninya.
Apalagi kalau manusia hanya memperturutkan hawa nafsunya. Manusia tipe seperti ini justru akan menurunkan martabat kemanusiaannya bahkan derajatnya bisa lebih hina dari pada binatang sekalipun.
Dalam bahasa yang lugas sering diucapkan orang bahwa sejahat-jahatnya binatang bajing (tupai) tidak akan lebih jahat dari seorang “bajingan”. Kalau seekor bajing hanya memakan kelapa, tapi seorang bajingan tidak hanya kelapa yang dimakan, tetapi bisa sampai pohonnya bahkan akar dan tanah-tanahnya bisa dimakannya.
Setelah dimensi materil terpenuhi, maka sholat yang dilakukan harus ditingkatkan kepada kekhusuan hati. Urusan hati adalah berdimensi bathin. Ini menggambarkan bahwa sebagai manusia yang paripurna mempunyai unsur pisik material di satu sisi dan mental spiritual pada sisi lain.
Spiritualitas harusnya mampu mengajarkan kita tentang totalitas kepasrahan tanpa batas. Terlebih ketika kita sedang dalam keadaan sholat. Sebagaimana diajarkan Nabi SAW bahwa sholat adalah mi’raj nya kaum mukminin, maka mukmin sejati ketika sedang sholat ia sedang menghadap Sang Kholik.
Sebagaimana dulu Nabi SAW dipanggil menghadap langsung Allah SWT, seorang yang sedang sholat harus khusyu. Harus bisa menanggalkan semua atribut duniawi untuk melebur jadi satu dalam syahdu dihadapan ilahi. Mem “fana” kan diri dihadapan Dzat yang Maha Baqa dan absolut.
Sholat yang berlevel “idealisme” itulah merupakan shalat yang sudah bisa melewati batas-batas materialisme.
Sholat yang pelakunya sudah mampu keluar dari batas-batas nyata duniawi lalu mampu melebur menuju persatuan dengan Ilah di alam idea.
Sholat pada tingkatan ini mungkin sudah tidak merasakan lagi jika dirinya dicubit, disakiti, bahkan dilukai. Dan inilah yang terjadi di kalangan sahabat salafussholeh terdahulu yang tertancap panah di tubuhnya pada saat perang.
Mereka mengajukan permintaan untuk dicabutkan panah yang ada dalam tubuhnya saat sedang melakukan sholat. Dan luar biasa, dalam kekhusyuan di alam musyahadah, dirinya tidak merasakan sakit. Tiba-tiba ia tahu bahwa panah yang menancap itu sudah terlepas.
Namun pada kenyataannya, secara jujur kita harus mengakui bahwa sholat yang kita lakukan masih belum mencapai derajat di atas. Shalat kita masih di level “materialisme”.
Sholat yang fisiknya saja melakukan ruku, sujud dan bangun i’tidal. Sementara hati kita melang-lang buana di tempat pekerjaan, di rumah, atau di pasar.
Sholat yang di rakaat pertama masih ingat akan tagihan listrik bulanan yang belum dibayar. Sholat yang saat ruku malah mengingat tunggakan cicilan motor. Maka puncak dari hal itu, kita sering lupa dan diserang keraguan apakah ini rokaat ke dua atau rokaat ketiga ?.
Dengan demikian maka amatlah penting untuk terus berusaha meningkatkan kualitas sholat kita WaAllahu a’lam bissawwab.***

Related Articles

Back to top button