CirebonRaya

Pengacara Terpidana Kasus Pembunuhan Vina Buka Suara, Diduga Jadi Korban Salah Tangkap

Hotman Paris: Usut Dugaan Keterlibatan Anak Mantan Bupati Cirebon

kacenews.id-CIREBON-Pengacara nyentrik Hotman Paris secara mengejutkan mengungkap identitas terduga pelaku utama kasus pembunuhan sepasang kekasih Vina dan Eko di Cirebon. Hotman Paris menduga salah satu terduga pelaku pembunuhan Vina yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) adalah anak dari mantan seorang pejabat berpengaruh.
“Semakin terkuak kasus Vina Cirebon, apakah benar salah satu DPO anak mantan seorang bupati?” ungkap Hotman dalam potongan postingan videonya yang viral di akun Instagram, Sabtu malam 19 Mei 2024.

Hotman pun mendesak para penyidik untuk segera memanggil mantan bupati tersebut untuk mendalami dugaan keterlibatan anaknya. “Ayo penyidik segera turun ke lapangan, panggil mantan bupatinya, jutaan rakyat Indonesia menunggu, ” desak pengacara yang baru saja ikut dalam pembela Prabowo-Gibran di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Tak hanya itu, Hotman juga meminta agar Polda Jabar segera bergerak untuk menelusuri informasi tersebut. Hotman mendesak polisi agar langsung menyita perangkat komunikasi telepon seluler para anggota keluarga terduga pelaku DPO.

“Ayo Polda Jabar bergerak cepat, jemput sekarang malam ini juga langsung sita semua HP istrinya, bapak ibunya, opung nenek kakeknya. Saya bicara atas nama kuasa hukum keluarga Vina. Untuk diketahui, kasus pembunuhan remaja Vina dan Eki yang terjadi tahun 2016 kembali viral usai film berjudul Vina: Sebelum 7 Hari tayang di bioskop.
Sementara itu, Pengacara para terpidana dalam kasus Vina di Cirebon kini mulai buka suara. Sejak film ‘Vina: Sebelum 7 Hari’ mulai ramai dibicarakan, kini kasus Vina yang melatari kisah nyata dalam film tersebut mulai menyedot perhatian publik.

Terbaru, para pengacara untuk delapan terpidana yang kini sedang menjalani hukuman seumur hidup dan satu orang lagi menjalani hukuman 8 tahun penjara, mulai buka suara.

Dari 8 terpidana kasus tersebut, 5 orang di antaranya ditangani kasusnya oleh Jogi Nainggolan. 5 orang ini adalah terpidana atas nama Eko Ramdani, Hadi Saputra, Jaya, Eka Sandi, dan Suprianto. Kelimanya dijatuhi vonis penjara seumur hidup, lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni hukuman mati.

Sementara, pengacara lainnya yaitu Titin Aprilianti menangani dua terpidana, yaitu Saka Tatal dan Sudirman. Dan satu pengacara lagi yaitu Wiwit Widyaningsih menangani satu terpidana, yakni Rivaldi

Menurut Jogi, Lima kliennya dengan tiga daftar DPO yang dirilis oleh Polda Jabar, yakni Dani, Andi dan Pegi alias Perong sama sekali tidak saling mengenal.

“Klien kami tidak mengenal para DPO tersebut. Klien saya yang lima, dengan dua terpidana lainnya, minus terpidana yang bernama Rivaldi, itu saling bertetangga di Situgangga, yang memang kebetulan cukup berdekatan dengan TKP tempat peristiwa pembunuhan Vina dan Eki di depan SMPN 11 Kota Cirebon,” ujar Jogi, saat konferensi pers terkait kasus tersebut, Sabtu (18/5/2024).

Ia menjelaskan, para kliennya diduga merupakan korban salah tangkap. “Korban Eki memang putera dari Bapak Rudiana, tapi di sisi lain ada anak lain yang menjadi korban dari proses hukum, klien kami itu berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka merupakan korban salah tangkap,” tegasnya.

Ia juga mengatakan, Rudiana yang merupakan anggota kepolisian di Polres Cirebon Kota, tidak berhak melakukan penangkapan para terpidana. Saat itu, beredar informasi jika penangkapan para terpidana kasus Vina ini dilakukan oleh Rudiana. Sementara, pada 2016 Rudiana merupakan polisi di Satuan Narkoba Polres Cirebon Kota.

“Rudiana tidak berhak menangkap, dia polisi narkoba. Setidaknya jika dia tahu informasi soal terpidana saat itu, ya kasih informasi ke Reskrim dong. Proses penyidikan itu harus berkeadilan,” ujarnya.

Menurut Jogi, banyak hal yang perlu dijelaskan saat di ruangan persidangan dulu.
“Saya berharap masyarakat memberikan dukungan kepada kami. Keadilan kadang selalu datang terlambat. Mengingat penderitaan yang dialami oleh klien kami untuk kesalahan yang tidak pernah mereka perbuat, tolong Pak Kapolda Jawa Barat atau Kapolri untuk memberikan atensi terhadap kasus ini,” tuturnya.

Ia menambahkan, atensi tersebut diharapkan dapat dituangkan dalam bentuk peninjauan kembali (PK) kasus tersebut. “Misalkan ada pernyataan dari Pak Kapolda Jabar dan Kapolri untuk bedah kasus ini secara terbuka dengan melibatkan kami,” ungkapnya.

Sementara itu, pengacara lainnya, Titin Aprilianti menyayangkan dua saksi bernama Dede dan Aep yang tidak pernah dihadirkan untuk memberikan kesaksian. Padahal, kesaksian dari dua orang tersebut sangat penting.

Diketahui, Dede dan Aep merupakan dua orang yang bekerja di sebuah tempat pencucian mobil yang lokasinya berada di dekat tempat pembunuhan Vina dan Eki di dekat SMPN 11 Kota Cirebon. Kedua orang ini, menurut Titin, memberi keterangan kepada polisi yang saat itu mencari keberadaan para pelaku.

“Dede dan Aep ditanyain polisi pada tanggal 30 Agustus 2016 atau 3 hari setelah peristiwa pembunuhan, pukul 14.00 WIB. Saat itu polisi datang ke sekitar kawasan TKP dekat SMPN 11, ketemu dengan Dede dan Aep di lokasi cucian mobil. Polisi saat itu memberikan nomor telepon ke Dede dan Aep dengan tujuan segera hubungi jika tahu ada informasi seputar peristiwa di malam tanggal 27 Agustus 2016 tersebut,” ujarnya.

Kemudian, menurut Titin, Dede dan Aep menghubungi polisi tersebut di hari yang sama pukul 17.00 WIB, mereka menceritakan bahwa betul ada peristiwa kejar-kejaran di malam tanggal 27 Agustus tersebut antara korban Vina dan Eki dengan para pelaku. Titin menambahkan, Dede dan Aep klaim mengetahui peristiwa kejar-kejaran ini di sebuah warung di gang yang jalannya tidak terlalu besar di dekat SMPN 11 Kota Cirebon.

“Dengan berbekal keterangan tersebut, polisi lantas melakukan penangkapan terhadap tujuh orang pada hari itu di depan SMPN 11 Kota Cirebon,” ujar Titin.

Anehnya, menurut Titin, justru Dede dan Aep tidak pernah dimintai kesaksian di persidangan perihal peristiwa tersebut. Dari penelusuran, tambah Titin, antara Dede, Aep dan tuju orang yang dicokok oleh polisi di depan SMPN 11 ternyata pernah berselisih paham soal perempuan, sebelum peristiwa penangkapan tersebut.

“Entah apakah ada unsur dendam Aep dan Dede kepada 7 orang ini, mengingat sebelumnya antara mereka pernah ada masalah,” ujarnya.

Titin menambahkan, kepada polisi, para terpidana tidak pernah mengakui mengenal dengan tiga DPO. Namun belakangan, kepada penyidik di Polres Cirebon Kota, pelaku mengakui penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya Eki dan Vina serta mengaku mengenal 3 DPO. Anehnya, saat kasus ini dilimpahkan ke Polda Jabar, para pelaku saat itu ramai-ramai mencabut keterangan saat penyidikan di Polres Cirebon Kota. Hal ini yang membuat akhirnya Polda Jabar memburu 3 pelaku DPO, karena keterangan sebelumnya yang mengakui perbuatan serta mengenal para DPO dicabut.

“Kalau sebelumnya di Polres Cirebon Kota mereka mengaku, tapi saat dilimpahkan ke Polda Jabar mereka tidak mengakui atau mencabut keterangan sebelumnya ya artinya mereka memang tidak melakukan penganiayaan tersebut, ya artikan sendiri kenapa di Polres Cirebon Kota mereka mengakui?” ujar Titin.

Selain itu, menurut Titin, ada kejanggalan soal hasil visum dari dokter dengan tuntutan di persidangan dari korban Eki. Di mana antara visum dan tuntutan tidak sinkron.

“Visum dokter menyebutkan ada sejumlah luka lecet dan memar di tubuh Eki, sama sekali tidak ada hasil visum yang menyebutkan soal tusukan senjata tajam di tubuh Eki yang menyebabkan korban meninggal dunia. Tapi, di tuntutan saat persidangan menyebutkan bahwa ada tusukan senjata tajam di tubuh Eki. Ini janggal sekali, kok bisa antara visum dokter dan tuntutan itu berbeda?” tanya Titin.

Pengacara satu terpidana atas nama Rivaldi, Wiwit Widyaningsih mengatakan, terdapat sejumlah kejanggalan saat Rivaldi tiba-tiba dituduh masuk ke dalam komplotan pembunuh Vina dan Eki. Rivaldi, menurutnya, justru sudah ada di sel Mapolres Cirebon Kota sebelumnya, sebelum tujuh terpidana lainnya masuk ke sel.

“Jadi, Rivaldi itu sudah ditahan pada tanggal 30 Agustus 2016 atas kasus terkait UU Darurat karena kedapatan membawa senjata tajam, ditangkap di area dekat Grage Mall. Kemudian, sehari setelahnya atau 31 Agustus 2016, masuk 7 orang terpidana lainnya ke sel, dimasukkan ke dalam sel yang sama. Kemudian, besok-besoknya oleh polisi tiba-tiba Rivaldi dimasukkan ke dalam rombongan 7 terpidana itu. Ini aneh sekali,” tuturnya.

Kemudian, bukti bahwa Rivaldi tidak terlibat salah satunya dibuktikan dengan alamat rumahnya yang berbeda dengan tujuh terpidana lainnya. Jika 7 terpidana beralamat di wilayah Situgangga, maka Rivaldi beralamat di Perumahan BCA Pamengkang, Kabupaten Cirebon.

“Rivaldi itu saat BAP tidak pernah menandatangani, karena memang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu. Tapi dia satu sel dengan tujuh terpidana lainnya, seolah-olah bersama-sama. Bahkan Rivaldi itu tidak mengenal tujuh orang terpidana tersebut. Di persidangan, Rivaldi sempat menghadirkan saksi yang meringankan bahwa pada saat kejadian yakni 27 Agustus 2016 bahwa melihat Rivaldi di rumah temannya, tapi kesaksian itu tidak pernah dianggap,” ungkapnya.(Cimot)

Related Articles

Back to top button