Pengamat Sebut Gaya Debat Gibran Munculkan Watak Aslinya
kacenews.id- CIREBON- Pada debat cawapres Minggu (21/1/2024) malam, masyarakat Indonesia menyaksikan kelakuan Gibran Rakabuming Raka, yang melabrak etika dan kesopanan. Media sosial penuh sesak dengan kecaman pada kelakuan anak muda yang sama sekali tidak memiliki etika.
“Sebuah gambaran bahwa etika, akhlak berada di atas ilmu memang tetap menjadi pegangan masyarakat. Tak hanya di negeri ini. Secara universal pun kearifan indah itu berlaku,” demikian penilaian Direktur Kajian Gerbang Informasi Cirebon, Miqdad Husein dalam rilisnya kepada KC, Selasa (23/2/2024).
Menurutnya, sebenarnya kelakuan Gibran tidak perlu dianggap hal luar biasa, jika mencermati rekam jejak anak sulung Presiden Jokowi itu. Jika ditelusuri lebih jauh, kelakuan ‘tengil’ itu bisa merupakan watak aslinya. Ini sudah menjadi karakter, terlihat dari gesturnya.
Masyarakat Indonesia tentu masih ingat ketika Gibran, sebagai Wali Kota Solo, secara demonstratif mencopot masker dari wajah Pampamres, di hadapan awak media. Ia neralasan si Pampamres bernama Heri Misbah memukul supir truk dan dua kernetnya.
“Caranya mencopot lho, yang sangat kasar serta sama sekali jauh dari kesantunan. Menarik masker dari belakang dengan gaya arogan seperti tukang jambret. Padahal, bisa saja Gibran meminta baik-baik kepada Heri Misbah. Apalagi yang bersangkutan sudah bersedia meminta maaf di hadapan awak media,” ungkap Miqdad.
Berbagai kelakuan itu lanjut dia, jauh dari etika tampaknya memang menjadi bagian lingkungan Gibran sebagai cawapres. Lihat saja, Prabowo Subianto sang capres, yang sangat akrab dengan berbagai kalimat kasar. ‘Ndasmu’, ‘goblok’, ‘bacot’ dan berbagai kalimat kasar lainnya, demikian mudah meluncur bahkan di tengah masyarakat yang sangat mungkin banyak anak-anak.
Pada bagian lain Miqdad menejelaskan, yang gaka serius tentu saja pemanfaatan produk pelanggaran etika Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Gibran Rakabuming. Perilaku itu jelas melabrak kelaziman kehidupan kemasyarakatan dalam dunia kepemimpinan. “Bayangkan, hukum yang sudah bermasalah dijadikan landasan memuaskan syahwat berkuasa. Jelas, ini pelanggaran etika sangat luar biasa,” tegas dia.
Sekadar perbandingan, di Jepang jika seorang pejabat terindikasi melanggar etika, langsung mengundurkan diri. Gibran dan Tim Pasangan nomor 2, justru memanfaatkan produk pelanggaran etika sebagai jembatan memuaskan syahwat berkuasa. Kontras sekali.
“Masih ada lagi deretan lingkaran Gibran yang sama sekali mengabaikan etika. Mohon maaf, apa pantas seorang yang dibesarkan PDIP, dari sejak terpilih sebagai wali kota dua kali, gubernur sekali dan jabatan presiden dua kali berkampanye untuk partai lain? Adakah contoh dalam kehidupan politik lainnya. Apalagi dilakukan seorang pucuk pimpinan negeri ini,” sindir Miqdad.(Fik)