Danantara dan Aset Negara

PADA awal tahun 2025, Indonesia kembali menyaksikan inisiatif besar yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto, yaitu pembentukan lembaga Danantara.
Lembaga ini memiliki tugas untuk mengelola berbagai aset negara, yang diperkirakan bernilai lebih dari Rp 15.000 triliun.
Dengan skala sebesar ini, Danantara diharapkan dapat memaksimalkan potensi aset-aset tersebut untuk mendukung pembangunan nasional dan kemajuan ekonomi.
Namun, seperti inisiatif besar lainnya, pembentukan Danantara memunculkan berbagai pro dan kontra yang perlu dipertimbangkan dengan seksama.
Di sisi positif, pembentukan Danantara dapat menjadi terobosan besar dalam memaksimalkan potensi kekayaan negara.
Indonesia memiliki beragam aset alam dan infrastruktur yang sangat berharga, mulai dari sumber daya alam, lahan, hingga perusahaan-perusahaan BUMN yang dikelola oleh negara.
Dengan pengelolaan yang lebih profesional dan efisien, ada potensi besar untuk mengoptimalkan nilai ekonomi dari aset-aset tersebut.
Selain itu, jika Danantara dapat beroperasi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang kuat, ini bisa menjadi langkah yang sangat positif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Penerimaan negara bisa meningkat, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor-sektor lain yang vital.
Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri serta memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia.
Danantara juga bisa menjadi ajang untuk memperbaiki sistem pengelolaan aset yang selama ini terkesan kurang terkoordinasi dan terbengkalai.
Aset negara yang lebih terkelola dengan baik bisa membuka peluang baru dalam dunia investasi dan mendatangkan kemajuan ekonomi yang lebih merata di seluruh Indonesia.
Namun, di sisi negatif, pembentukan Danantara juga membawa tantangan besar yang harus diperhatikan.
Pertama-tama, ada potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Mengingat lembaga ini mengelola aset yang begitu besar, tanpa sistem pengawasan yang ketat, hal ini bisa menjadi ladang bagi praktik korupsi atau kolusi.
Penyalahgunaan sumber daya negara bisa merugikan masyarakat dan memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.
Kedua, pengelolaan aset yang melibatkan lembaga baru juga bisa mengarah pada tumpang tindih kebijakan dengan lembaga pengelola lain, seperti Kementerian Keuangan atau kementerian yang terkait dengan BUMN.
Hal ini bisa menciptakan birokrasi yang lebih kompleks dan memperlambat pengambilan keputusan yang cepat dan efisien.
Selain itu, ada juga kekhawatiran terkait transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset yang sangat besar.
Publik perlu diyakinkan bahwa Danantara akan beroperasi dengan prinsip-prinsip yang jelas dan tidak ada ruang untuk manipulasi atau penggunaan aset negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Terakhir, dalam jangka panjang, pengelolaan aset negara oleh sebuah lembaga baru bisa mengarah pada privatisasi sumber daya alam yang berpotensi merugikan masyarakat, terutama jika dilakukan dengan cara yang tidak adil.
Sebagai contoh, pengelolaan tambang atau lahan yang sangat besar bisa berpotensi diserahkan kepada pihak swasta tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal.
Secara keseluruhan, keberadaan Danantara adalah langkah yang berani dan bisa sangat bermanfaat jika dikelola dengan baik. Untuk itu, sangat penting bagi pemerintah dan lembaga ini untuk memastikan adanya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat dalam operasionalnya.
Jika tidak, potensi penyalahgunaan kekuasaan dan ketimpangan yang lebih besar bisa mengancam kepercayaan publik dan mengurangi efektivitasnya dalam membawa manfaat bagi rakyat Indonesia. Semoga, Danantara bisa menjadi instrumen yang mengarah pada pengelolaan aset negara yang lebih bijaksana dan berpihak kepada rakyat.***