Opini

Sekolah yang Damai dan Menyenangkan

Oleh : Suleha
Kepala SMAN 1 Luragung Kuningan

Ketika pertanyaan diajukan kepada para siswa “Mata Pelajaran apa yang menjadi favorit kalian?”, jawabannya serempak “Mata pelajaran bebas”, yaitu mata pelajaran yang gurunya tidak hadir di kelas dan hanya memberikan tugas untuk dikerjakan siswa.
Boleh jadi hal itu bukan gambaran pendapat siswa secara keseluruhan, akan tetapi paling tidak sebagian besar siswa berpendapat hal yang sama. Hal ini menjadi gambaran bagi kita bahwa sekolah belum menjadi rumah kedua bagi para siswanya. Menurut Dr.Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. Karena sekolah kurang memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk berkreasi dan mengekspresikan perasaannya, intinya tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara.
Pantaslah kalau Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara menamakan sekolahnya sebagai Taman Siswa, artinya sekolah sebagai taman. Filosofinya seharusnya sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi peserta didik untuk belajar. Atau kisah Toto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, sebuah buku pedagogik inspiratif dari Jepang, yang bercerita tentang hubungan seorang guru dengan murid-muridnya di sekolah Tomoe Gakuen, yang menjadikan sekolah sebagai tempat bermain dan membebaskan murid-muridnya untuk belajar dan mengekspresikan dirinya.Dari kisah tersebut sepertinya kita bisa paham mengapa sekolah membutuhkan kegembiraan, kebebasan dan yang terpenting kehadiran figur seorang guru yang mengenali secara utuh murid-muridnya, bukan hanya mengenali murid-muridnya dari jawaban soal dan ujian. Guru seharusnya dapat membimbing dan menuntun murid-muridnya mengenali hidup serta potensi yang dimilikinya, untuk bekal mengarungi kehidupan yang sesungguhnya melalui kegiatan pembelajaran yang menggairahkan.
Sebagai jawaban atas hal tersebut, kiranya tepat “Konsep Tiga Dinding” Ki Hajar Dewantara, di mana seorang guru dituntut untuk lebih memahami suatu bidang ilmu sebelum mereka mengajarkan pada peserta didiknya. Guru tidak hanya menggantungkan diri pada buku bahan ajarnya, lebih dari itu dituntut kreativitasnya agar hasil belajar siswa bisa diterapkan di dunia nyata, dengan demikian pembelajaran akan terasa lebih bermakna dan menyenangkan. Sejatinya guru harus menjadi jembatan untuk menghantarkan peserta didik melalui teori yang diberikan dalam pembelajaran dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Kurikulum silih berganti, hampir setiap rezim pemerintahan, bahkan ada adagium untuk apa Menteri Pendidikannya berubah, kalau kurikulumnya tidak berubah. Sehingga sepertinya sudah menjadi hukum dan rumus baku bahwa ganti menteri ganti kurikulum. Ironisnya perubahan tersebut lebih kepada pergantian istilah dan nomenklatur, bukan lebih menitikberatkan kepada substansinya. Kepala sekolah berubah menjadi kepala satuan pendidikan, Pengawas sekolah berubah menjadi pendamping satuan pendidikan, sebutan siswa peserta didik kembali berubah menjadi murid.
Walau demikian, perubahan yang dilakukan oleh Kementerian Dikdasmen sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan pada umumnya dan peningkatan kualitas pembelajaran perlu kita apresiasi. Upaya itu antara lain bagaimana menyempurnakan konsep Kurikulum Merdeka dengan pendekatan deep learning yang digagas oleh Menteri Dikdasmen. Kurikulum Merdeka dan pendekatan deep learning adalah dua hal yang berbeda, namun saling melengkapi. Kurikulum Merdeka memberikan kerangka kerja yang fleksibel bagi satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, sementara deep learning memberikan pendekatan pembelajaran yang mendalam dan bermakna untuk mencapai tujuan tersebut.
Perubahan adalah suatu keniscayaan justru yang dipersoalkan, ketika kurikulum silih berganti tapi paradigma gurunya tidak berubah. Lalu apa yang harus dilakukan guru? Sadari bahwa kemungkinan ada kesalahan dalam pembelajaran yang kita lakukan. Selanjutnya bersama siswa mengevaluasi sekaligus mencari solusi apa yang harus dilakukan siswa dan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Hal ini harus dilakukan bersama antara guru dan siswa, karena pada hakekatnya kegiatan pembelajaran adalah kegiatan bersama antara siswa dan guru. Jika perlu guru bersama siswa membuat kontrak belajar untuk menyepakati metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas dan sistem penilaiannya, sehingga pembelajaran akan terasa enjoy dan tidak membebani siswa. Kegiatan refleksi pembelajaran menjadi sesuatu yang harus terbiasa dilakukan oleh guru bersama siswa, sehingga evaluasi dan perbaikan dalam kegiatan pembelajaran dapat berlangsung secara berkesinambungan.
Selain itu, untuk dapat mewujudkan hal tersebut, diperlukan lingkungan sekolah yang kondusif, aman, nyaman, rindang, indah dan damai. Hubungan yang harmonis antara seluruh warga sekolah mutlak diperlukan. Menurut hemat penulis, yang paling tahu dan merasakan kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas ada dua komponen yaitu kepala sekolah sebagai supervisor penilai kinerja guru dan siswa sebagai user atas jasa guru dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Oleh karena itu, kepala sekolah sebagai top manajerial diharapkan mampu mengoptimalkan semua sumber daya sekolah untuk menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman, damai dan kondusif sehingga siswa betah berlama-lama di sekolah. Semoga!***

Related Articles
Back to top button