Opini

Bosan Belajar di Kelas, Ujian bagi Siswa atau Kelalaian Penguasa?

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Belajar di sekolah memberikan kenangan tersendiri bagi pelajar. Menyenangkan, bosan, seru, pusing. Hampir seperempat hidup kita habis di kelas. Fungsi utama sekolah jelas tempat menuntut ilmu. Seringkali rasa bosan muncul saat-saat proses belajar. Betul bahwa rasa bosan itu manusiawi dan umum. Tetapi, ada hal-hal pemicu rasa bosan yang melekat di kepala pelajar seiring mengetahui realita kehidupan. Seiring mendapatkan pelajaran, bukan sebelum ujian, melainkan sesudah ujian.
Umumnya guru ketika datang ke kelas membawa bahan ajar, zaman penulis disebut LKS. Murid duduk di bangku, membuka buku seraya mendengarkan guru ceramah sekitar 1 jam. Guru lalu bertanya, atau menyuruh murid untuk membacakan salah satu paragraf di buku. Kurang lebih step pertama dari kegiatan belajar mengajar–KBM, seperti itu. Minggu depan, di mata pelajaran yang sama, guru bertanya pada kita, “Ada yang ingat minggu kemarin kita bahas apa?” Tentu kita jawab tidak. Memang hanya Anda saja yang ceramah di kelas kami. Guru yang kelelahan mengurus administrasi, melanjutkan ceramah di materi berikutnya, ketimbang berinovasi. Biar terkesan jadi pengajar, guru lantas mmemberikan siswa/mahasiswa pekerjaan rumah. Agar minggu depan ada topik pembahasan, atau jangan-jangan, itu hanya alasan guru supaya dapat istirahat dari aktivitas ceramah. Fase terusan setelah mengerjakan soal, ganti bab atau materi baru. Kemudian repeat, begitu saja terus sampai ujian tengah semester (UTS). Setelah UTS periode pengajaran masih sama: ceramah: mengerjakan soal: pindah bab: dan kalian pasti tahu langkah berikutnya. Musuh produktivitas adalah repetisi, dan hal yang datang berkali-kali akan membuat kita bosan.
Fenomena ceramah juga mematikan curiosity pelajar. Penuntut ilmu menganggap hanya guru dan LKS-lah yang mampu memberikan pengetahuan kredibel dan otoritatif. Penulis jadi teringat menjawab soal LKS lewat Brainly. Rasa penasaran mati. Bagaimana kalau ditanya hal-hal yang tidak ketahui? Jawaban mayoritas pasti, “Belum diajarin ama guru” alasan lain, “Mungkin di tahun depan ada”. Hilang sudah rasa inisiatif siswa untuk mencari tahu. Penasaran akan sesuatu. Kalau memang tujuan bersekolah hanya sekedar “Tahu” kenapa tidak menyuruh pelajar membaca buku saja? Tanpa guru pun kita pasti tahu apa pun.
Selain metode yang itu-itu saja. Setelah dewasa kita sadar, apa yang kita pelajari di sekolah itu sia-sia, kebanyakan. Kalau pembaca berkuliah pasti akan paham dengan argumen ini. Soal kurikulum yang didaur ulang tahun ke tahun. Guru sebagai instrumen penggerak pendidikan tidak melakukan cross check pada pakar keilmuan. Apakah guru bertanya pada guru besar jika ingin mengajar matematika? Tentu saja tidak. Biasanya guru punya acuan bagaimana membuat kurikulum yang penulis rasa seperti dogma. Sesuai kaidah keilmuan, guru besar atau pakarlah yang mengetahui sebuah ilmu secara murni, dan korelasi ilmu tersebut pada kehidupan sehari-hari. Apa ternyata kurikulum hanya membuat kita “Tahu”, kalau begitu kenapa kita tidak membaca buku?
Penyebab kebosanan hakiki lain merupakan banyaknya ilmu yang harus ditekuni. Semua ilmu membahas dari appetaizer ke main course. Terkadang hal sepele ini yang membuat pembelajaran tidak efektif. Penulis yakin 100 persen, pembaca tidak akan mengingat hal remeh di pelajaran apa pun. Kita hanya mengingat hal yang penting bagi kita, saja. Bahkan penulis berusaha mengingat lagi, apa saja yang pernah didapatkan di sekolah selain cara menghitung uang. Metode yang bisa digunakan adalah: metode pareto: 20 persen penting, 80 persen tidak.
Sudah membosankan, kurikulum tidak tepat, banyak pelajaran yang tidak penting. Berapa kebobrokan lagi yang harus kita ketahui? Masih banyak. Salah satu tanggung jawab sekolah adalah mempersiapkan siswa untuk kehidupan setelah sekolah. Yang paling fundamental itu cara berpikir, memupuk keingintahuan, bertanya, dan diskusi. Penulis ingin bertanya pada teman pembaca. Pernahkah ada pelajaran logika? Pernahkah guru memberikan kita perintah untuk meragukan LKS? Pernahkah penanya dihargai? Dan yang terakhir, pernahkah pembantah dinilai sebagai karakteristik kritis? Sama sekali tidak.
Logika mentok-mentok hanya cara membangun kerangka kalimat, induktif dan deduktif, hanya bahasa Indonesia pula. Tidak terlalu cukup untuk membangun pola pikir. Skeptis terhadap LKS, apakah begitu berbahaya untuk jadi peragu. Bukannya lebih berbahaya jadi fanatik bodoh tanpa bertabayyun, tanpa research. Mungkin di antara pembaca, pernah bertanya di kelas. Seusai pelajaran, penulis yakin kalian di-bully.“Siapa sih yang nanya? Jadi lama kan guru keluar? Dasar sok pinter! Caper!”. Bertanya saja jadi aib. Apalagi berdiskusi, berdebat. Yang di mana berdebat itu aktivitas sehari-hari di masyarakat. Wajar saja warga negara terbiasa melakukan kekerasan, karena komunikasi tidak masuk list dalam pikiran mereka. Solusi radikal problem ini antara lain memasukkan filsafat perlahan ke kurikulum.
Terakhir, apa yang diajarkan di sekolah banyak yang tidak relevan untuk pekerjaan, untuk kehidupan. Sekolah selalu mengutamakan hafalan, mengutamakan hitung-hitungan. Kasian sang monyet yang wajib berenang, prihatin pada ikan yang disuruh terbang. Kenapa sekolah tidak menyesuaikan kurikulum pada kebutuhan industri. Kenapa sekolah tidak mengajarkan kita mendapatkan pekerjaan yang baik. Tujuan sekolah, salah satunya itu mendapat ijazah, guna bisa bekerja dan mendapatkan uang. Bertahan hidup. Kenapa siswa sama sekali tidak pernah diberitahu bahwa nanti mereka harus bekerja, dan harus mampu menguasai keterampilan tertentu. Sekali lagi, sekolah cuma formalitas, bukan game changer yang sebenarnya. Realita belajar di kelas juga kontinyu di perkuliahan, tidak banyak perbedaan.
Diperlukan banyak hal untuk memperbaiki hal ini. Gaya mengajar yang berbeda. Memperbarui kurikulum sesuai pendapat pakar. Mengajarkan hal fundamental, namun disertai hubungan antara satu ilmu dengan ilmu lain. Memasukkan filsafat. Menjadikan membaca sebagai indikator kelulusan. Dan melakukan kesesuaian minat bakat siswa untuk dunia pekerjaan.
Solusi yang di atas tidak mudah untuk dilakukan. Banyak proses yang harus dilalui, termasuk hukum dan politik. Apakah negara mau memberi biaya lebih untuk buku yang relevan. Memberikan gaji guru secara kemanusiaan. Melahirkan masyarakat yang cerdas, konsekuensinya negara akan terus terkena kritik dan terekpos kedunguannya. Jika negara sudah mau berjalan di jalur mulia ini, saya yakin pendidikan Indonesia akan membaik. Ketika banyak orang cerdas, masalah-masalah terselesaikan mudah.
Kebosanan ini bukan hal sepele, bukan juga hal besar. Tetapi, apakah kita mampu peka dan sadar, mengetahui apa sebenarnya masalah bangsa dan membenahinya dengan serius. Seserius mengangkat anak jadi ketua partai, se-ambisius menjadikan anak calon wakil presiden. Masih adakah kepercayaan kita pada negara—membersihkan akar masalah utama. Apakah kita sudah lelah dan memilih kabur, karena pendidikan tidak jadi prioritas utama, melainkan prioritas pendukung?***

Back to top button