Opini

Bermuhasabah di Tahun Baru 1447

Asep Firmansyah
Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Walisongo Semarang

Alhamdulillahirobbilalamin, kita dipertemukan kembali oleh Allah di tahun baru. Allah
masih memberikan kita nikmat sehat dan panjang umur hingga dapat bertemu tahun 1446 H. Ini
adalah anugerah yang patut kita syukuri. Semoga rahmat, taufik, dan hidayah Allah selalu
menyertai kita semua sehingga tetap berada di jalan yang diridai-Nya. Dengan rahmat-Nya, kita
berharap dapat menjalani setiap hari dengan penuh keberkahan dan kebahagiaan. Dengan taufik-
Nya, kita berharap dapat selalu melakukan amal kebaikan dan menjauhi segala bentuk
kemaksiatan. Dengan hidayah-Nya, kita berharap senantiasa diberi petunjuk dan bimbingan
untuk tetap teguh dalam iman dan Islam.

Allah Swt. telah menetapkan jatah hidup setiap hamba-Nya di dunia ini. Kita tidak tahu
berapa lama lagi kita akan tinggal di alam dunia ini. Allah merahasiakan tempat, waktu, dan cara
kematian kita, sehingga kita tidak bisa memprediksi kapan dan bagaimana akhir hidup kita.
“Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Q.S. Luqman:
34). Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memanfaatkan waktu yang kita miliki
dengan sebaik-baiknya, mengisi hari-hari kita dengan amal salih, dan menjauhi perbuatan yang
tidak diridai oleh Allah Swt.; merenungkan segala kekurangan dan kesalahan yang telah kita
lakukan di tahun-tahun sebelumnya, serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Imam Ghazali
berkata, “Aku tidak mempunyai barang dagangan, kecuali umur. Jika ia habis, maka habislah
modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan”. Usia adalah
modal ibadah. Di dunia inilah saatnya beramal salih dan mempersiapkan bekal yang akan kita

bawa nanti saat pulang kepada Allah. Jika waktu kita sudah habis di alam dunia ini, maka kita
tidak memiliki kesempatan lagi untuk beribadah. Ibadah merupakan perkara yang Allah Swt. perintahkan kepada hamba-Nya. Melalui
ibadah, seorang hamba berarti telah mengaktualisasikan pernyataan dirinya sebagai seorang
hamba Allah yang tunduk dan patuh kepada ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Allah Swt.
berfirman, “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk meyembah kepadaku.” (Az
Zariyat: 56).

Menurut bahasa ibadah adalah pengabdian, penghambaan, ketundukan, dan
kepatuhan. Adapun ibadah menurut istilah syar'i adalah segala bentuk ketaatan, ketundukan, atau
penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi semua aktivitas manusia
baik berupa amalan hati, ucapan, maupun perbuatan yang disertai niat mengabdi dan menghamba
hanya kepada Allah sesuai dengan syariat-Nya (Ali: 15).

Dalam Al Quran, Allah berfirman
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa.
(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu
dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan
dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu
mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 21-
22).
Ibadah dibagi menjadi ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Hal ini seperti yang
disampaikan oleh Ahmad (2020: 20-21) bahwa para ulama menjelaskan bahwa secara garis
besar, ibadah dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu
mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang terdapat dalil pensyariatannya. Contoh ibadah
mahdhah adalah berwudu, salat, zakat, puasa, haji. Sementara itu, ibadah ghairu mahdhah adalah
ibadah yang tidak murni sebagai ibadah dan maksud dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan
duniawai.

Aktivitas tersebut bernilai ibadah karena niat pelakunya. Contoh ibadah ghairu
mahdhah seperti makan, tidur, bekerja untuk menafkahi keluarga, berbakti kepada orang tua,
membantu sesama, membangun fasilitas umum (pendidikan, rumah sakit, jalan, jembatan,
terminal), menjalin silaturahmi, menjenguk orang sakit, menuntut ilmu, dan lain-lain. Saputra,
dkk. (2021: 102) pun menyampaikan perbedaan ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
Mahdhah berarti murni atau tak bercampur.

Ciri-cirinya yaitu merupakan jenis ibadah yang
ditetapkan dari dalil syariat, dikerjakan dengan niat mendapatkan pahala di akhirat, hubungannya
langsung dengan Allah, dan tidak dapat dijangkau dengan akal. Sementara itu, ghairu mahdhah

berarti tidak murni atau bercampur dengan yang lain. Ibadah ghairu mahdhah memiliki ciri
aktivitas atau ucapan yang awalnya tidak berupa ibadah, tetapi dapat berubah bernilai ibadah
karena niat orang yang melakukannya, dikerjakan dengan maksud memenuhi kebutuhan yang
tidak bersifat ukhrawi, hubungannya tidak hanya dengan Allah, tetapi juga dengan sesama
manusia atau dengan alam sekitar, dan aktivitasnya dapat dijangkau secara logis.

Ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya memiliki hikmah yang banyak
bagi hamba tersebut. Allah Swt. sejatinya tidak membutuhkan ibadah dari hamba-Nya, tetapi
hamba tersebutlah yang akan mendapatkan manfaat dari ibadah yang dilakukannya itu. Dalam
sebuah hadis qudsi disebutkan, “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari awal
penciptaan sampai akhir penciptaan seluruhnya menjadi orang yang paling bertakwa, hal itu
sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari
awal penciptaan sampai akhir penciptaan seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal
itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku’ (HR. Muslim, no. 2577).

Dari hadis tersebut,
dapat dinyatakan bahwa jika semua manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir
penciptaan memiliki akhlak yang baik, ibadah yang luar biasa, atau pun memiliki level
ketakwaan yang paling tinggi, semua itu tidak akan menguntungkan Allah sama sekali. Begitu
pun sebaliknya, seandainya semua makhluk hidup yang ada di permukaan bumi ini tidak pernah
beribadah, selalu membuat kerusakan, membuat permusuhan dan kebencian, atau pun bahkan
memiliki level kedurhakaan paling tinggi, semua itu juga tidak akan merugikan Allah sedikit pun
(Dewantara, 2020).

Sebagai makhluk yang diciptakan untuk beribadah, kita harus menyadari betapa
pentingnya menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan dan ketundukan. Setiap amalan yang
kita lakukan, baik itu ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah, hendaknya dilandasi
dengan niat untuk mencari rida Allah. Dengan demikian, hidup kita akan penuh makna dan
keberkahan, serta kita akan siap menghadapi kematian kapan pun dan di mana pun itu datang.
Semoga Allah Swt.

Senantiasa membimbing kita untuk tetap berada di jalan yang lurus dan
meridai setiap langkah kita dalam menjalani kehidupan ini. Mudah-mudahan momentum awal
tahun baru ini menjadi muhasabah diri bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih
bermanfaat bagi orang lain, dan lebih taat kepada Allah. Aamiin ya Rabbal’alamin.

Back to top button