Pernikahan Dini Dalam Islam: Antara Syariat dan Tantangan Zaman
Penulis: Auliya Zahra
Mahasiswi UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Salah satu topik yang sering dibahas dari berbagai sudut pandang, termasuk agama, budaya, dan sosial, adalah pernikahan dini. Pernikahan dini pada prinsipnya diizinkan dalam agama Islam asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti kematangan fisik dan mental, dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab rumah tangga.
Menikah muda pada zaman dahulu biasanya terjadi karena adat atau kebiasaan yang dipegang oleh masyarakat yang tinggal di sana, dan setiap makhluk diciptakan untuk saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain. Ungkapan ini menunjukkan bahwa ini akan dicapai melalui perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Baik laki-laki maupun perempuan harus mempersiapkan diri dengan baik sebelum menikah. Menikah muda adalah pelakunya yang masih remaja. Namun, usia muda adalah waktu di mana seseorang mengejar cita-citanya. Sebagian dari mereka sangat tertarik untuk terlibat dalam aktivitas sosial dengan orang-orang di sekitar mereka.
Pernikahan dini juga memiliki efek positif yang signifikan terhadap kesehatan jasmani dan rohani seseorang. Secara fisik, menikah seringkali mendorong gaya hidup yang lebih teratur, seperti makan makanan yang sehat dan berolahraga secara teratur, yang dapat meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. Kebersamaan dalam pernikahan juga dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental. Hubungan perkawinan yang mendalam dan penuh kasih juga dapat menciptakan suasana tenang dan kebahagiaan, yang berdampak pada kesejahteraan rohani dan meningkatkan kepercayaan diri dan kepuasan hidup seseorang, sebagaimana telah digambarkan oleh Allah Swt dalam QS. Ar-Rum/30:21 “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah dia yang menciptakan pasangan- pasangan untuk kamu dari jenis kamu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir”. Dalam ayat tersebut, Allah SWT menunjukkan kekuatan-Nya untuk mengatur hubungan suami-istri dengan cinta dan kasih sayang sehingga mereka dapat saling mencintai, menyayangi, dan bahagia satu sama lain.
Pernikahan dianggap sebagai salah satu ibadah yang paling mulia dalam agama Islam. Dalam sejarah Islam, banyak pernikahan dini yang terjadi. Salah satunya adalah pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA, yang sering dikaitkan dengan orang-orang. Sangat umum di zaman rasul untuk menikah pada usia muda. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa kualitas pribadi perempuan di era nabi cukup berbeda dengan perempuan di era modern. Kehidupan nabi biasanya lebih sulit untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Perempuan Arab pada masa itu sangat kuat secara fisik dan mental karena iklim padang pasir. Selain itu, elemen sosial dan budaya Arab yang lebih patriaki dan tidak mengakui peran wanita sebagaimana layaknya membuat kondisi psikologis perempuan Arab pada saat itu lebih sulit. Sejak usia muda, perempuan terbiasa dengan hal-hal domestik karena tekanan patriaki.
Namun, para ulama sepakat bahwa meskipun hukum memungkinkan, menikah harus mempertimbangkan banyak hal, seperti seberapa siap pasangan secara fisik, mental, dan finansial. Prinsip-prinsip Islam, “maslahah” (kebaikan) dan “la dharar” (tidak merugikan), digunakan sebagai pedoman dalam membuat keputusan penting, seperti pernikahan dini.
Beberapa faktor umum yang mendorong perkawinan usia muda atau di bawah umur memengaruhi sebagian masyarakat yang melakukannya. Menurut para ahli, salah satu faktor paling umum yang mendorong perkawinan usia muda adalah keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan dan ingin meringankan beban orang tuanya. Faktor kedua adalah situasi yang mendorong perkawinan usia muda. Ketiga, orang tua khawatir anak perempuannya akan malu karena berpacaran dengan laki-laki yang sangat setia sehingga mereka harus segera menikah. Keempat, tayangan media yang berbau seks menyebar sehingga remaja. Seks di era modern kian permisif. Kelima, ketakutan orang tua tentang bagaimana masyarakat akan melihat anaknya dikawinkan karena masih perawan. Keenam, gagasan bahwa pria dan wanita saling mencintai tanpa mempertimbangkan usia mereka, tantangan masa depan, atau kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah. Ketujuh, jika anak tidak mendapat bimbingan dan perhatian dari orang tuanya, anak-anak akan mencari cara untuk merasa bahagia dengan bergaul dengan orang-orang yang tidak diawasi karena tindakannya.
Banyak anak yang menikah muda harus meninggalkan bangku sekolah, yang berarti mereka tidak memiliki banyak kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Hal ini dapat berdampak pada kemampuan mereka untuk mengatasi masalah keuangan di masa depan. Pernikahan dini juga dapat berdampak negatif pada kesehatan seseorang, terutama bagi perempuan yang belum siap secara fisik untuk hamil dan melahirkan. Kurangnya akses ke layanan kesehatan yang mampu pada akhirnya menjamin risiko kesehatan ini.
Oleh karena itu, dakwah memainkan peran penting dalam mendidik masyarakat di tengah berbagai kesulitan ini. Dakwah yang bijak harus mampu menjelaskan bahwa meskipun pernikahan dini diperbolehkan dalam Islam, itu bukanlah kewajiban, terutama jika ada risiko yang lebih besar. Dakwah dapat menanamkan kesadaran akan pentingnya kesiapan lahir dan batin serta tanggung jawab untuk membangun rumah tangga. Selain itu, dakwah dapat memberi tahu orang bahwa Islam sangat menghargai pendidikan. Untuk menjadi pasangan yang baik dan orang tua yang bertanggung jawab di masa depan, generasi muda harus dibekali dengan pengetahuan, baik agama maupun keterampilan hidup, sebelum menikah.
Menyikapi pernikahan dini di era modern membutuhkan pendekatan yang seimbang antara ajaran syariat dan realitas sosial. Umat Islam perlu memahami bahwa Islam adalah agama yang fleksibel, mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasarnya. Pernikahan dini bukan hanya soal usia, tetapi soal kesiapan. Dengan pendekatan dakwah yang edukatif, penuh kasih, dan kontekstual, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih bijaksana dalam mengambil keputusan terkait pernikahan, sehingga tujuan mulia pernikahan dalam Islam dapat tercapai tanpa mengabaikan tantangan zaman.***