Opini

Dihina Sesama, Dimuliakan Allah

Oleh: Sukanda Subrata
Penulis Lepas Cirebon

Dalam kehidupan sehari – hari, orang miskin dihina orang kaya sudah biasa. Orang yang bodoh dihina orang pintar sudah biasa. Orang jelek dihina orang cakep juga sudah biasa, jadi tak usah heran, memang seperti itu adanya. Mungkin kita pernah mengalami hal yang sama. Betapa sakit hati dan malunya kita dan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali sabar dengan kondisi yang ada. Kita pun tidak akan bisa melupakannya begitu saja, selamanya pengalaman buruk itu akan menghantui perasaan kita. Lebih parahnya trauma. Manusiawi saja jika muncul dalam hati pikiran negatif. Suatu waktu kita bisa melakukan hal yang sama (membalas).
Sebagai muslim yang taqwa kepada Allah SWT, tidak diperbolehkan membalas kejahatan /perlakuan yang tidak menyenangkan yang orang lain lakukan kepada kita. Biarkan saja semuanya kita serahkan kepada Allah SWT yang maha kuasa. Justru sebaliknya, kita harus mendoakan mereka agar diberi kesadaran oleh Allah SWT agar tidak lagi mengulanginya. Kita yakin bahwa di balik sebuah peristiwa atau insiden itu terdapat hikmah yang harus kita petik. Bisa jadi kita agar lebih dekat lagi kepada Allah SWT, bisa jadi agar kita lebih fokus lagi di dalam mengerjakan sesuatu sehingga kita berubah dari sebelumnya, kita tidak lagi miskin, tidak lagi bodoh dan seterusnya.
Tetapi teori untuk sabar menerima setiap hinaan, cacian dan cibiran itu bisa mentah manakala setan sudah mempengaruhi hati kita. Manusia punya harga diri yang tidak boleh dihinakan begitu saja oleh sesamanya. Seseorang bisa mengambil jalan pintas yang menurutnya benar. Hutang garam bayar garam, hutang nyawa bayar nyawa, hutang hina bayar hina. Jika sudah kondisi seperti ini sesuatu bisa terjadi, yang lemah mendadak jadi kuat, yang pengecut menjadi pemberani, maka terjadilah krimalitas.
Akhir-akhir ini viral di media sosial, Sunhaji seorang tukang es teh yang sedang berjuang menafkahi anak istrinya tak disangka tiba – tiba dihinakan oleh seorang ulama kondang (Miftah Maulana Habiburahman).Ulama yang seharusnya memberi contoh dan teladan bagi umat malah melakukan perbuatan yang tidak patut.Terlepas apakah itu sifatnya spontanitas, humor atau serius tetap saja perilaku sang ulama itu sudah melukai hati si tukang es teh tersebut. Sunhaji pasti hatinya menangis sedih, begitu juga dengan anak istrinya. Meski mendapat perlakuan memalukan, Sunhaji tetap tegar menerima kenyataan pahit itu seolah tidak terjadi apa apa.
Kita ingatkan lagi tak ada seorang pun di dunia ini bercita – cita menjadi orang miskin atau orang bodoh. Namun karena hidup ini harus taat kepada ketentuan Allah SWT yang maha kuasa, kita sebagai makhluk bisa apa? Kecuali bersabar dan terus berusaha (istiqomah).
Sebagai muslim apalagi ulama, Miftah Maulana Habiburrahman harus menyadari bahwa Allah SWT sangat membenci sifat sombong dan angkuh, serta mereka yang merasa lebih tinggi dari orang lain. Dalilnya terdapat dalam Qur,an Surah Al-A’raf ayat 13 ” Turunlah kamu dari surga! Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina”. Bukankah Allah SWT menurunkan Iblis dari surga karena kesombongan dan keangkuhannya yang merasa lebih baik daripada Nabi Adam AS.
Selanjutnya yang dibenci Allah SWT adalah manusia yang berbuat zalim, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, atau terhadap Allah SWT, juga akan dihina. Lihat Qur,an Surah Az-Zumar ayat 32 “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau mendustakan kebenaran ketika kebenaran itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu tempat bagi orang-orang yang kafir?”
Sedangkan Sunhaji seorang penjual es teh itu seorang yang setiap menafkahi keluarga memang dimuliakan oleh Allah SWT. Bahkan menafkahi keluarga adalah amal yang sangat mulia dan dianggap sebagai ibadah yang dapat mendatangkan pahala besar. Dalam H.R. Bukhari dan Muslim “Apa yang kamu nafkahkan dari hartamu untuk keluargamu, itu semua dianggap sedekah, bahkan yang kamu nafkahkan untuk istrimu dan anak-anakmu.” Menafkahi keluarga dengan cara yang baik adalah suatu bentuk ibadah yang sangat dihargai oleh Allah SWT. H.R. Muslim menyebutkan “Setiap amal yang dilakukan oleh seorang Muslim yang bertujuan untuk mencari keridhaan Allah, akan diberikan pahala, bahkan termasuk makanan yang ia beri kepada istrinya.” Terakhir dalam Q.S At-Talaq ayat 6 Allah berfirman “Hendaklah kamu memberi mereka (istri-istri kamu) tempat tinggal di mana kamu tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hidup mereka.”
Sunhaji menafkahi anak istrinya dengan cara berjualan es teh, itulah yang dia mampu. Mestinya kita salut kepadanya. Dia bisa hidup mandiri tanpa menyusahkan orang lain atau menjadi beban negara. Mengapa seorang Miftah Maulana Habibirahman malah mengolok-olok, tertawa lepas di atas duka orang lain. Dihinakan sesama belum tentu dihinakan Allah. Justru Allah mengangkat derajat seseorang yang terhinakan dengan cara tak pernah terduga. Sunhaji dihinakan, namun siapa sangka tiba-tiba dia akan diberangkatkan umroh oleh sesorang yang baik hati.
Sebagai pelajaran bagi kita (muslim) agar senantiasa berhati -hati dalam bicara. Kita selamanya harus menjaga perasaan orang lain agar tidak terluka. Luka badan bisa disembuhkan, namun jika hati sudah terluka bagaimana menyembuhkannya sebelum yang bersangkutan meminta maaf.***

Related Articles

Back to top button