Prof Rokhmin Dahuri: Strategi Wujudkan Indonesia Emas 2045 Melalui AgroMaritim
PAKAR Kelautan dan Perikanan Indonesia yang juga Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri menilai, guna mewujudkan Indonesia Emas 2045, diperlukan terobosan yang ‘out of the
box’.
Menurutnya, apa yang disampaikan Presiden Prabowo, bahwa untuk merealisasikan Indonesia Emas 2045, diperlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata 8 persen per tahun.
“Apa yang disampaikan Presiden itu memang benar. Dan, pertumbuhan ekonomi setinggi itu, tidak mungkin tercapai, bila kebijakan dan program pembangunannya as a business of usual,” tutur Rokhmin Dahuri dalam artikel ilmiahnya yang dikutip Kabar Cirebon, Senin, 9 Desember 2024.
Tokoh asal Cirebon itu berpendapat, Presiden Prabowo harus berani membuat kebijakan terobosan meliputi bidang ekonomi dan industri, sumber daya manusia, lingkungan hidup, tata kelola pemerintahan, dan sistem politik yang menjamin kehidupan berbangsa yang demokratis, meritokratif, dan berkeadilan.
Sehingga, perekonomian NKRI akan lebih produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. “Di bidang ekonomi dan industri, kita harus melakukan transformasi struktural ekonomi. Dari ekonomi yang berbasis SDA dan buruh murah ke ekonomi berbasis inovasi. Dengan menggunakan inovasi teknologi termasuk berbagai jenis teknologi Industry 4.0 seperti AI, IoT, Bioteknologi, dan Nanoteknologi. Kita revitalisasi sektor manufaktur andalan yang sudah berkembang sejak awal 1980-an,” ujarnya.
Untuk mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah, khususnya Jawa vs luar Jawa, solusinya adalah memperkuat dan kembangkan ekonomi dan industri di luar Jawa dan wilayah pedesaan. Revitalisasi ekonomi dan pengembangan ekonomi baru sebaiknya prioritaskan untuk AgroMaritim.
Menurut Rokhmin, ada lima alasan utama kenapa harus prioritaskan AgroMaritim. Pertama, sebagai negara Bahari – kepulauan dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi AgroMaritim luar biasa besar. AgroMaritim meliputi empat sektor yakni pertanian meliputi tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, dan peternakan.
Kehutanan meliputi hutan produksi alam, hutan tanaman industri, dan beragam produk non-kayu. Perikanan meliputi perikanan tangkap, dan perikanan budidaya. Maritim meliputi blue economy termasuk industri bioteknologi kelautan, ESDM di pesisir dan laut, pariwisata bahari, perhubungan laut, coastal forestry, industri dan jasa maritim.
Berdasarkan hasil riset PKSPL-IPB University, 2022, potensi blue economy RI sekitar 2 trilyun dolar AS per tahun atau 1,8 kali PDB saat ini, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk sekitar 45 juta orang, yang hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 30 persen.
Kemudian, di sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan dan perikanan menyumbangkan sekitar 20 persen PDB, dan menyerap sekitar 36 persen angkatan kerja. “Di negara-negara maju, seperti Selandia Baru, Finlandia, dan Kanada, sektor kehutanan menjadi salah satu soko guru perekonomiannya,” katanya.
Kedua, AgroMaritim merupakan sumber produksi pangan, sandang, papan, farmasi, biofuel, dan biomaterials, dan bahan kebutuhan manusia lainnya. Menurut Food and Agriculture Organization FAO (2000) atau lembaga di PBB yang fokus pada pangan dan pertanian, suatu bangsa dengan penduduk lebih dari 100 juta orang, yang kebutuhan pangannya bergantung pada impor, sangat sulit menjadi maju dan makmur.
Ketiga, seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan manusia terhadap berbagai jenis komoditas, produk, dan jasa AgroMaritim bakal terus meningkat.
Keempat, sektor-sektor AgroMaritim menyerap banyak tenaga kerja, menghasilkan nilai tambah yang besar dan multiplier effects yang luas. Sehingga, dapat mengatasi permasalahan pengangguran dan kemiskinan.
Kelima, sebagian besar aktivitas ekonomi AgroMaritim berlangsung di wilayah pedesaan, pesisir, laut, dan luar Jawa. Sehingga, dapat mengatasi permasalahan disparitas pembangunan antar wilayah.
“Sayangnya, selama ini kinerja AgroMaritim pada umumnya kurang optimal. AgroMaritim seakan
identik dengan petani dan nelayan miskin, gagal panen, kelangkaan pupuk dan benih, impor pangan,
stunting, illegal logging, illegal fishing, ekspor pasir laut, dan stigma negatif lainnya,” ujarnya.
Penyebab utamanya, karena Indonesia belum mempunyai peta jalan pembangunan AgroMaritim yang holistik, benar, dan diimplementasikan secara berkesinambungan.
Menurutnya, untuk pembangunan berkelanjutan itu, diperlukan tiga kebijakan terobosan. Yakni, revitalisasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi.
Revitalisasi dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan
keberlanjutan seluruh unit usaha di sektor-sektor AgroMaritim yang ada saat ini.
Contohnya, melalui revitalisasi, produktivitas padi sawah dapat ditingkatkan dari 5,2 ton GKG/ha/tahun menjadi 7 ton GKG/ha/tahun. Sampai sekarang, lebih dari 80 persen total barang ekspor – impor, dan sekitar 50 persen
total barang yang beredar antar pulau NKRI diangkut oleh armada kapal asing, dengan biaya
(penghamburan devisa) sekitar Rp 200 trilyun per tahun.
Ekstensifikasi, yakni mengembangkan berbagai aktivitas pembangunan, investasi, dan bisnis
AgroMaritim di kawasan baru sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan daya dukung lingkungannya di seluruh wilayah NKRI.
Contohnya, pada 2021 Ekuador dengan panjang garis pantai hanya 2.237 km memiliki tambak udang seluas 250.000 ha, dan menjadi produsen udang Vaname budidaya terbesar di dunia sebesar 1,1 juta ton.
Sementara, Indonesia dengan 108.000 km garis pantai, baru memiliki 300.000 ha tambak udang, dengan produksi 600.000 ton atau peringkat-5 di dunia.
Tahun lalu, dari total nilai ekspor perikanan RI 8 milyar dolar AS, 37 persen berasal dari udang budidaya. Bila dalam lima tahun ke depan kita kembangkan 500.000 ha tambak udang Vaname baru (16 persen total potensi lahan tambak), dengan produktivitas rata-rata 25 ton/ha/tahun, maka kita hasilkan 1,25 juta ton/tahun.
Ditambah dengan produksi budidaya udang nasional saat ini sebesar 750.000 ton, berarti setiap tahunnya kita bisa memproduksi 2 juta ton udang, terbesar di dunia.
Selama ini, lebih dari 80 persen produksi udang nasional itu diekspor. Dengan harga udang ekspor rata-rata 8 dolar/kg, maka potensi nilai devisanya sekitar 12,8 milyar dolar AS.
Diversifikasi adalah pengembangan berbagai jenis investasi dan bisnis baru di bidang AgroMaritim. Contohnya, usaha budidaya di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan dengan spesies
baru yang unggul dan resilien terhadap Perubahan Iklim.
Contoh kedua adalah industri bioteknologi kelautan, yang potensi nilai ekonominya diperkirakan empat kali lipat nilai ekonomi industri digital (Minstry of Maritime Affairs and Fisheries, Republic of Korea).
Dalam pelaksanaannya, ketiga kebijakan terobosan itu mesti menerapkan lima prinsip ekonomi
modern – berkelanjutan. Pertama, economy of scale, kedua, Integrated Supply Chain Management System, ketiga, teknologi mutakhir (inovasi) pada setiap mata rantai sistem bisnisnya, keempat hilirisasi SDA (komoditas mentah) AgroMaritim; dan dan kelima prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Implementasi tiga kebijakan terobosan AgroMaritim di atas yang didukung oleh kebijakan politik-ekonomi kondusif, tidak hanya akan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 8 persen per tahun, kedaulatan pangan dan energi. Tetapi, juga dapat mentransformasi AgroMaritim dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, dan mewujudkan Indonesia Emas pada 2045,” tambahnya.(Alif/Kabar Cirebon)