Partisipasi Pemilih Pilkada di Kota Cirebon Anjlok, Masyarakat Cenderung Pragmatis
kacenews.id-CIREBON-Pengamat politik, Sutan Aji Nugraha, mengemukakan rendahnya tingkat partisipasi pemilih serta tingginya angka surat suara tidak sah dalam Pilkada Serentak 2024 di Kota Cirebon, semakin menguatkan adanya kecenderungan pemilih yang bersikap lebih pragmatis.
Karakteristik pemilih di Kota Cirebon sejatinya merupakan pemilih yang cair dan dinamis. Hal ini bisa dilihat dari partai pemenang di Kota Cirebon yang silih berganti pada setiap beberapa kali pelaksanaan pemilu.
Menurutnya, pilkada merupakan representasi dari pertarungan semua variabel. Bukan saja “menjual” program dan visi misi, Pilkada juga tidak lepas dari faktor partai, ketokohan, jaringan, hingga uang.
Terkait kecenderungan sikap pragmatis oleh masyarakat ini, Aji menilai bahwa hal ini terjadi karena sikap pragmatis juga yang ditampilkan oleh para elit politik. Terlebih selama ini, dengan karakteristik pemilih yang dinamis dan tidak loyal di Kota Cirebon, keterikatan antara partai politik dengan masyarakat sangatlah rendah.
Pasalnya, menurut dia partai politik kerap kali menempatkan pemilih sebagai obyek politik saja. Sangat jarang sekali partai politik melibatkan masyarakat selaku konstituen dalam menentukan keputusan-keputusan penting, termasuk dalam mengusung calon di pilkada.
“Sehingga sebagian besar masyarakat maupun kelompok sudah paham betul apa orientasinya setiap pemilu, baik pilkada maupun pileg,” ucap Sutan Aji Nugraha.
Maka bukan sesuatu yang aneh ketika masyarakat secara terang-terangan menyampaikan, bahwa ia hanya mau menyalurkan hak suaranya, jika ada imbalan tertentu. Sementara jika tidak ada imbalan, ia merasa tak lagi berkepentingan untuk ikut serta dalam memilih.
“Selama ini masyarakat merasa hanya dijadikan obyek saja oleh partai politik, makanya mereka juga ingin ikut menjadi ‘pemain’. Jadi masyarakat juga semakin pragmatis. Kalau mau dipilih, ya harus ada imbalan,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Aji, sebagian masyarakat juga menunjukkan ketidakpuasan atas situasi tersebut dengan datang ke TPS, tetapi hanya untuk menggugurkan kewajibannya. Pasalnya di dalam TPS, mereka mencoblos lebih dari satu paslon sebagai bentuk kekecewaan terhadap situasi politik di Kota Cirebon.
Hal itulah yang kemudian tercermin melalui rendahnya tingkat partisipasi pemilih serta tingginya surat suara tidak sah. Lebih lanjut ia menyebut bahwa idealnya, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Kota Cirebon berada di atas 75 persen dari total DPT.
Sehingga dengan tingkat partisipasi pemilih yang rendah, berpotensi melemahkan legitimasi dari calon wali kota-wakil wali kota yang terpilih.
“Saya rasa, yang paling penting adalah bagaimana hasil Pilkada ini terlegitimasi. Dengan persentase pemilih di atas 75 persen, itu menunjukan mayoritas masyarakat menyalurkan aspirasinya. Selain tentunya, masyarakat juga diposisikan sebagai subyek politik,” tuturnya.
Seperti diketahui, tingkat partisipasi pemilih di Kota Cirebon mengalami penurunan dibandingkan pada Pilkada 2018 , yakni hanya 66,03 persen dari Pilkada 2018 sebesar 83 persen. Padahal target partisipasi pemilih pada pilkada tahun ini adalah 85 persen.
Selain rendahnya partisipasi pemilih, jumlah surat suara tidak sah pada pencoblosan 27 November 2024 juga cukup banyak, mencapai lebih dari 14.000 surat suara.(Cimot)