Opini

Di Antara Pileg dan Pilkada

Oleh: Sutan Aji Nugraha
Pengamat Politik Cirebon
Dalam konteks biopolitics apabila memakai terminologi menurut Lynton Caldwell, 1964, koalisi setiap partai politik pendukung pemerintah akan sampai pada dua bentuk akhir yang sama sekali berbeda: dekomposisi atau fermentasi. Pertama, disebut dekomposisi atau pembusukan akibat organ-organ penting koalisi tidak berfungsi sama sekali dan lebih cenderung kepada egoisme politik. Disfungsi ini akan bermuara pada lepasnya organ building koalisi (parpol) yang saling menghancurkan sebab koalisi yang digalang bersifat rent seeking.

Kedua, koalisi itu sendri akan mengalami fermentasi politik yang berarti bahwa institusionalisasi koalisi akan semakin terstruktur, frekuensi konsensus internal lebih tinggi, dan output-nya adalah kristalisasi kepentingan bersama.
Namun, fermentasi politik tidak akan terjadi hanya untuk sekadar menyelenggarakan negara atau pemerintahan secara bersama. Hal ini memunculkan tiga prasyarat penting yang harus dipenuhi dalam ber-koalisi: partai berkarakter (policy-seeking behavior), negosiasi ideologi partai, dan elektabilitas maupun track-record konstentan (presiden, gubernur, walikota/bupati).

Baik fakta di sektor lapangan, organisasi dan ideologi telah menunjukkan bahwa koalisi akan berakhir pada dekomposisi. Yang dapat dianalogikan seperti sebuah ketela pohon yang salah penanganan, koalisi sekretariat gabungan pemerintahan yang akan dengan sendirinya menjadi menghitam lalu membusuk. Dia tidak dapat berfermentasi menjadi tapai—dengan bentuk dan aroma baru yang lebih lembut, segar serta rasa yang lebih tajam—akibat salah kelola.

Related Articles

Dekomposisi koalisi dapat kita analisis, memiliki tiga alasan penting. Pertama, perilaku elite partai (pusat, provinsi, kota/kabupaten) yang berkoalisi masih menitik beratkan menuju arah rent seeking, sama sekali bukan berkiblat kepada policy-seeking behavior. Artinya, jabatan dalam struktur pemerintahan dan kursi parlemen merupakan sumber daya partai politik, bukan bagian dari upaya intervensi partai dalam kebijakan negara demi mewujudkan tiga prasyarat tersebut.

Mengutip Ben Anderson dalam karyanya, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1945 (Cornell University Press, 1972), Manuel Kaisiepo (Kompas April 1999) pernah menulis, Sjahrir dan para pengikutnya sesungguhnya berada di luar arus utama revolusi. Mereka adalah kelompok intelektual yang teralienasi dari arus bawah, sekalipun pada saat-saat tertentu mampu menggunakan pengaruhnya. Sebagai sebuah interpretasi atas Sjahrir, pandangan ini merupakan revisi atas pandangan sebelumnya dari karya klasik George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).

Memang begitu banyak interpretasi tentang tokoh revolusioner Sutan Sjahrir ini. Dia telah banyak memberikan pandangan ide, gagasan yang dituangkan pada masa partainya, Partai Sosialis Indonesia (PSI). Seperti ditulis ulang Manuel Kaisiepo, makna pemikirannya di PSI misalnya, bukan terletak pada perannya sebagai sebuah organisasi politik semata, melainkan pada fakta sejarah bahwa Sjahrir dan kelompoknya merepresentasikan suatu aliran moral dan politik yang bersumber dari kehidupan bangsa Indonesia.
Sebab menurut Sjahrir, “Perjuangan rakyat kita pada hakikatnya bersifat revolusioner. Hal ini disebabkan tujuan dan alat-alat perjuangannya juga revolusioner serta membutuhkan perubahan prinsipil dari segala sifat kemasyarakatan. Bagaimanapun juga setiap gerakan revolusioner bermaksud memerdekakan masyarakat dari segala tradisi (kebiasaan) lama”.

Belum selesai ingar bingar pemilu 14 Februari 2024, Indonesia sudah bersiap “pesta demokrasi” lain pada tahun yang sama, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada). Gelaran ini akan dilaksanakan 27 November 2024 atau 38 hari pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 20 Oktober. Secara keseluruhan, pilkada akan dilaksanakan untuk memilih 37 gubernur, 93 wali kota dan 415 bupati. Koalisi pilpres yang penulis maknai sebagai koalisi strategis pada pilpres sudah mencair untuk para parpol diluar turut serta masuk ke pemerintahan baru. Artinya bahwa koalisi pemerintahan baru mendapat energi/dukungan untuk berkoalisi pada pilkada serentak semakin bertambah ataukah seperti penulis jelaskan diawal.
Pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat pengusungan pasangan calon pada pilkada serentak 2024 ini akan mengubah banyak hal, ya rekonfigurasi koalisi.

Putusan MK juga diyakini akan mendorong para kontestan yang patah arang memenuhi ambang batas untuk kembali punya peluang mencari partai-partai yang bisa mendorong pencalonan sesuai dengan persentase yang telah ditentukan oleh putusan MK tersebut. Selain itu, MK juga menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Undang-undang harus mempertimbangkan beberapa hal, antara lain tidak terlalu sering melakukan perubahan, perubahan dilakukan dalam rangka menyempurnakan sistem Pemilu, perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai, tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam pasal 22E ayat 3 UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Alhasil, konstestan dalam menghadapi pileg dan pilkada sangatlah berbeda. Mengapa? Di dalam menjatuhkan pilihan pada pileg sudah menjadi rahasia umum bahwa para pemilih akan cenderung melakukan secara “asal-asalan”. Bahkan, bukan tidak mungkin terbuka kemungkinan memilih atas dorongan imbalan pemberian uang atau barang. Desain pemilihan calon anggota legislatif sangat rumit dan itu berbeda halnya dengan pilkada, yaitu masyarakat diberi kesempatan memilih pemimpin yang mana memiliki peran besar dalam menentukan kebijakan, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat di daerahnya sehingga ada keinginan merubah situasi kondisi. Ya tentunya menawarkan agenda yang termanifestokan menjadi program-program konkrit di masyarakat. Sudah banyak bukti di pilkada dengan calon yang memiliki anggaran tanpa batas maupun koalisi parlemen mendominasi akan tetapi tak terpilih. Saya masih menaruh harapan besar bahwa pilkada waktu bagi masyarakat mengalami perubahan nasibnya tanpa diiming-imingi apapun.***

Back to top button