Mencari Pemimpin Ideal Dalam Penguatan Pendidikan Karakter
Oleh: Royannach Ahal
Pengasuh Ponpes Majlis Ta’lim Al Hikmah Kajen Margoyoso Pati
Belum lama ini, dunia pendidikan dihebohkan oleh banyak informasi miring terkait banyak kasus. Dari mulai persoalan bullying, kekerasan verbal, kekerasan seksual hingga boomingnya diksi “bundir” (bunuh diri) di kalangan generasi remaja kita, yang sedang mengenyam pendidikan sekolah menengah dan atas.
Beberapa diskusi digelar, jurnal ilmiah bertaburan di mana-mana, merespon keresahan atas hancurnya pilar-pilar pendidikan, yakni learning to know (belajar untuk mencari pengetahuan), learning to do (belajar untuk melakukan atau mengerjakan), learning to be(belajar untuk menjadi) dan learning to live together (belajar untuk bersama).
Variabel yang biasanya disorot para scholar antara lain: media sosial, gadget, kebijkan pendidikan nasional, kurikulum “merdeka belajar”, metode belajar hingga waktu belajar siswa atau peserta didik. Tidak bermaksud untuk mengatakan tidak penting, tema-tema tersebut, menurut penulis, nilai signifikansi dalam menyelesaikan atau setidaknya menekan angka kenakalan remaja di sekitar kita khususnya, dan Indonesia pada skala besarnya, belum cukup untuk dikatakan relevan apabila kita menggunakan perspektif pendidikan karakter.
Menurut hemat penulis, persoalan yang jauh lebih penting untuk disikapi adalah bagaimana para pendidik: orang tua, pimpinan lembaga, guru, dan semua warga mempedulikan akhlak anaknya atau siswanya. Khususnya yang menjadi concern kajian penulis yaitu pimpinan lembaga pendidikan formal, informal dan non formal. Karena itulah tempat di mana anak-anak kita mendapatkan pengalaman dalam bertindak salah dan benar serta mendapatkan konsekuensi atas tindakannya, reward (apresiasi) dan punishment (sanksi).
Dari hasil kajian yang penulis lakukan selama mengelola pesantren, penempatan apresiasi ataupun sanksi yang tidak tepat, baik dari sisi kriterianya maupun konteks yang dijadikan objek penilaian, tidak juga akan memberikan dampak yang positif bagi anak remaja kita di mana mereka sangat banyak mendapatkan informasi mengenai narasi baik buruk di medsos melalui gadgetnya. Dari situ perlu adanya aturan yang baku yang dapat dimengerti oleh anak-anak remaja kita mengenai bahaya atau manfaatnya.
Menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak remaja sekarang banyak diakui oleh kalangan “emak-emak” sangat sulit. Misalnya, dari hasil obrolan penulis dengan mereka atau scrolling di medsos, didapatkan sejumlah informasi terkait kesulitan menerapkan aturan di rumah atau sekolah. Sebagai anak ketujuh dari “Mimi Tur”, penulis mendapatkan banyak ilmu pendidikan karakter yang didapatkan sejak kecil hingga dewasa. Beliau sangat tegas dalam menjaga aturan, baik untuk anak-anaknya maupun para santrinya sendiri. Tidak sedikit para alumni Mu’allimat Babakan Ciwaringin juga merasakan manfaatnya ketika mengalami dilema keluarga. Mereka teringat dengan “Mimi Tur” mengenai ketegasan, keuletan, kerja keras, disiplin yang tinggi, tanggung jawab dan termasuk kelembutan hatinya dalam mendidik maupun berinteraksi sosial di luar pesantren.
Sebagai seorang leader, “Mimi Tur” banyak melakukan langkah-langkah cepat, kalau bukan manuver, dalam mengatasi setiap persoalan santri, pengurus, alumni ataupun masyarakat di luar lingkungan pesantren. Misalnya, “Mimi Tur” tidak memandang risih siapapun tamu yang datang membawa persoalan keluarga atau rumah tangganya. Beliau selalu memberikan solusi praktis dan motivasi berlandaskan hikayah atau cerita sederhana yang disarikan dari kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan perasan inti sari ayat-ayat Alquran yang banyak menginspirasi tindakan dan perilaku “Mimi Tur”. Hal yang sama beliau terapkan kepada “santri beling” (nakal). Sehingga banyak santri yang dari rumahnya dibuang oleh orang tuanya, oleh “Mimi Tur” langsung diangkat sebagai anak ideologisnya yang diperlakukan sebagaimana anak biologisnya sendiri, semua santri bahkan alumni sangat paham sikap beliau yang demikian.Kekuatan itulah, yang menurut hemat penulis, menjadi penopang karakter Pondok Pesantren Mu’allimat Babakan Ciwaringin hingga sekarang. Tidak menjadi heran, apabila saat ini telah memiliki banyak jaringan yang solid dari para alumni dan masyarakat luas, seperti jaringan nasional “Jam’iyyah Hadiyu”, organisasi para alumni (Forsalim -alumniputra- dan UMMI -alumni putri) yang saling bahu membahu membantu proses perkembangan psikologi anak remajanya dengan memondokkan di Babakan Ciwaringin serta siap membantu mensukseskan setiap acara berskala besar yang diadakan di almamaternya, dikarenakan ikatan yang demikian kuat antara Mimi Tur bukan hanya saat menjadi santri bahkan telah menjadi alumni sekalipun.
Terlepas dari pertautan teori gender radikal, liberal atau ekofeminis, sosok “Mimi Tur” merupakan sosok pemimpin perempuan yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Beliau mengabdikan dirinya untuk semua, termasuk masyarakat sekitar Cirebon. Berjangkar pada pendidikan karakter, “Mimi Tur” memandang semua manusia sama, tidak boleh direndahkan, tetapi harus dimuliakan. Siapapun dia dan darimanapun asalnya. Dilihat dari sepak terjangnya, “Mimi Tur”, oleh banyak orang, santri, anak, pengurus pesantren, para alumni dikatakan sebagai sosok pemimpin perempuan yang ideal, sesuai pemikiran Nurcholis Madjid mengenai sosok pemimpin yang ideal itu haruslah memiliki integritas pribadi, integritas kultural, integritas sosial dan memiliki kecakapan kepemimpinan (leadership capabiliy), spiritualitas, kerja keras, tanggung jawab, disiplin, kreatifitas, jujur, dan lain-lain melekat pada diri “Mimi Tur”, yang oleh beliau diterapkan langsung ke dalam sistem pendidikan pesantren dan lembaga formal Mu’allimat Babakan Ciwaringin Cirebon. Memang belum banyak yang mengkajinya. Tetapi dari hasil wawancara dan dokumentasi yang penulis himpun dari para alumni yang merasakan langsung pendidikan karakter yang diperagakan “Mimi Tur” sangat membekas di hati sanubari santri putri Mu’allimat Babakan Ciwaringin Cirebon.
Apabila dikaitkan dengan program pendidikan karakter nasional yang memuat 18 karakter bangsa Indonesia, model kepemimpinan dari “Mimi Tur” kiranya dapat menjadi eksemplar akademik, yang setelah dikaji oleh penulis sesuai dengan gaya kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard, untuk menekan angka kenakalan anak remaja akibat buruknya lingkungan yang memerlukan intervensi dari para pemimpin berjiwa “mendidik”, bukan “menghardik” dan merangkul bukan memukul, Semoga bermanfaat, Amiin.***