Santri Jangan Merasa Paling Benar
Oleh: Sukanda Subrata
Penulis Lepas Cirebon
Pada tanggal 22 Oktober 2024 para santri seluruh Indonesia akan memperingati Hari Santri Nasional yang ke-9. Peringatan ini untuk menghormati peran santri dan pesantren dalan sejarah perjuangan bangsa Indonsia dalam mempertahankan kemerdekaan. Harus diketahui bersama bahwa latar belakang penetapan Hari Santri Nasional adalah resolusi jihad Nahdlatul Ulama 22 Oktober 1945. Dalam resolusi itu diserukan umat Islam untuk berjuang melawan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.Para santri dan kiai di pesantren menjadi garda terdepan dalam perjuangan tersebut, berkontribusi terbesar dalam mempertahankan Tanah Air.
Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka, mengapa pemerintah baru menetapkan Hari Santri Nasional ini pada tahun 2015? Mengapa tidak dari dulu? Setidaknya pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Apakah pemerintah ketika itu belum merasa penting untuk menghargai peran santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia? Rasanya mustahil bukan? Lihat tujuan diresmikanya Hari Santri Nasional, untuk mengingatkan masyarakat akan pentimgnya peran santri dalam sejarah bangsa, serta untuk meningkatkan kesadaran nilai- nilai keagamaan dan kebangsaan. Hari Santri Nasional juga menjadi momentum untuk memperkuat Ukhuwah Islamiyah dan memperkuat peran pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat.
Memang harus diakui bahwa santri mempunyai karakter yang bagus, misalnya disiplin, berbagi dan menghormati guru (ustadz, kiai).Sehingga dengan karakter ini santri bisa hidup dimasyarakat dengan penuh keyakinan.Santri memiliki potensi khusus yang sangat dibutuhkan masyarakat sekitarnya dalam rangka menjaga dan menegakkan Islam. Semangat juang yang dimiliki para santri pada masa itu masih sangat relevan untuk diteladani pada masa kini, dulu para santri berjuang melawan penjajah, maka kini santri harus mampu menaklukkan tantangan zaman.
Hanya, karakter baik santri yang sudah baik ini banyak dikotori oleh oknum santri maupun oknum pemimpin santri sendiri. Penulis tidak perlu menuliskan kasus-kasusnya, silakan pembaca klik sendiri apa yang penulis sampaikan itu benar atau tidak. Hal seperti ini jangan dipungkiri dan harus segera diperbaiki, ketika disinyalir ada suatu kejanggalan dalam keseharian di pondok atau di lembaga pendidikan Islam. Jangan ketika sudah terjadi sesuatu baru memberikan klarifikasi di media.
Santri memiliki keilmuan khusus agama Islam, tentu dengan berbagai spesifikasinya. Santri harus bisa mengembangkan apa yang dimilikinya dengan jihad karena Allah SWT, bukan karena materi atau ingin dipuji keilmuannya.Sayangnya menuju ke arah itu hingga kini masih susah karena santri masih diganduli egonya.Saya mondok 10 tahun lebih, saya lulusan ponpes terkenal, saya punya jemaah ribuan dan sejenisnya.Sikap seperti ini tidak baik, malah membuat masyarakat yang keilmuannya tidak sejenis akan balik anti pati. Memangnya ilmu itu bisa didapat cuma dipesantren saja? Meski tidak mondok, kita bisa belajar agama kepada ustadz di sekitar kita. Apa untungnya mengagung-agungkan ilmu yang kita peroleh, padahal ilmu itu titipan Allah SWT.
Persoalan kita sekarang adalah bukan saatnya lagi sebatas membanggakan diri sendiri, namun harus sudah sejauh mana kita telah berbuat baik kepada sesama.Apa yang sudah kita lakukan kepada banyak orang.Jangan melihat latar belakang keluarga dan dari lulusan dari pendidikan mana, yang penting adalah peran kita sekarang.
Santri sejak tanggal 22 Oktober 2024 harus mulai berbenah lagi, bahasa kerennya introspeksi.Tinggalkan perilaku buruk dan niatkan untuk berbuat yang lebih baik lagi agar karekteristik santri terjaga dan mendapat tempat di masyarakat. Kita tidak mau lagi mendengar perundungan di pondok pesantren, kita tidak mau lagi mendengar kasus asusila di pondok pesantren, kita tidak mau lagi mendengar tindakan kriminal dan diskriminasi di pondok pesantern.Ini bisa terwujud jika pengelola pesantren terbuka kepada masyarakat, jangan menutupi setitik aibpun .
Penulis mengucapkan selamat Hari Santri Nasional kepada para santri di mana saja berada.Padahal penulis bukan santri dan tidak pernah nyantri, sebatas berteman dengan santri.***