Opini

Demistifikasi Harapan Baru Demokrasi

Oleh: Ahmad Fauzan Baihaqi
Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Demokrasi yang selama ini menjelma dalam Negara kita hingga menghabiskan banyak sumber anggaran Negara sebenarnya hanya habis dalam proses elektoral, bukan substansial pelaksanaan kehidupan. Kita mengalami beberapa kali perubahan zaman istilah demokrasi sejak demokrasi liberal, terpimpin hingga demokrasi Pancasila. Hari ini kita dipertontonkan pada momentum pelantikan anggota DPR yang baru saja dilantik September 2024 silam, sebanyak 580 nama dengan 138 anggota (23,8%) memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan pejabat publik yang sedang menjabat di lingkungan eksekutif.

Saat esensi peran legislasi dan pengawasan untuk check and balance namun semakin mistis (tabu) untuk menjadi penyeimbang. Apakah Pilkada serentak di beberapa daerah masih mewarisi nilai-nilai feodalisme masa lampau? Karena hal ini tidak keliru, demokrasi terasa mistis atau gaib dengan beberapa kandidat gubernur, bupati, dan wali kota memiliki hubungan kekerabatan keluarga dengan episentrum kekuasaan.

Menjelang pergantian kekuasaan sudah seharusnya kesadaran pemilik kebijakan memulai pembaruan suara demokrasi dan harapan itu tentu kepada Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mengutip sudut pandang guru besar UGM Kuntowijoyo bahwa pentingnya mengembangkan budaya politik yang baru dan lebih maju adalah tujuan bangsa ini memilih politik demokrasi. Namun, budaya politik yang berkembang sekarang ini masih merupakan wujud perpanjangan dari budaya politik feodal yang berakar pada budaya kerajaan yang sentralistik, patrimonialistik, dan mistis. Banyak kalangan intelektual yang melakukan penolakan terhadap warisan budaya mistifikasi politik di Indonesia. Karena dianggap jelas ini menjauhkan sikap dari karakter meritrokrasi.

Kita perlu melakukan kembali sebuah obyektifikasi politik dengan mengubah epistemologi mistik ke epistomologi logis. Sedangkan impian untuk wujud cita demokrasi politik yang positif hanya bisa timbul dan hidup pada wilayah polis yang berkeadaban. Namun, sudah barang tentu kerangka demokrasi politik yang positif beserta institusinya berasal dari, oleh , dan untuk masyarakat modern. Menjadi buah simalakama jika kita masih mewarisi logika mistis primitive yang mengindikasikan suatu kehidupan masyarkat terbelakang sederhana bersahaja bahkan nomaden (pra modern) menggambarkan ketidakpastian politik.

Meminjam istilah Al Fred Stepan, bahwa masyarakat (society) bisa terbagi menjadi dua kekuatan yaitu civil society dan political society dan sebuah negara mempunyai beberapa elemen yaitu: elite politik, birokrat dan militer, untuk mengawal perubahan dari transisi menuju konsolidasi demokrasi. Karena fase ini perlu dicermati secara hati-hati, tidak mustahil demokrasi yang mulai mekar selama ini akan layu sebelum berkembang, dan kembali pada otoritarianisme dengan menyebutnya sebagai ‘otoritarian elektoral’ dan tidak menutup kemungkinan malah akan melahirkan demokrasi beku (frozen democracies). Maka, seluruh elemen masyarakat -buruh, pelajar, mahasiswa, dosen, NGO, partai politik, Ormas dan lain-lain- harus mempunyai komitmen normatif sebagai cita-cita bersama untuk membangun demokrasi yang terkonsolidasi (consolidated democracy). Namun selain itu, elemen di atas menjadi kering jika dianalisa tanpa memperhitungkan pembahasan dasar atas kondisi agama sebagai sebuah sistem kultural yang telah memberikan makna pada eksistensi manusia dan yang telah memberikan pemahaman dan dukungan emosional terhadap penderitaan manusia, tentunya hal itu juga berhubungan atas lajunya proses demokrasi pasca jatuhnya rezim Orde Baru.

Belajar dari Kekuasaan Orde Baru saat Negara bersikap tertutup atas kritisisme, maka kekuasaan negara pada masa Orde Baru menjadi sangat menghegemoni rakyat dan tidak ada kekuatan penyeimbang (balancing power). Singkatnya relasi negara dengan masyarakat bersifat dominasi-subordinasi. Ketidaksejajaran inilah yang mengakibatkan konflik horizontal terus bertebaran diberbagai belahan Nusantara ini, yang pada akhirnya mencapai titik klimaksnya pada saat lengsernya rezim otoritarian tepatnya 21 Mei 1998. Potret buram historisitas bangsa Indonesia selama ± 32 tahun ini menjadi pelajaran penting bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi di Indonesia.

Pasca reformasi atau sering disebut sebagai era transisi, relasi negara-masyarakat didasarkan pada sistem kesejajaran. Yang menjadi ciri yaitu terdapat ketegangan (tension) antara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, hubungan keduanya tidak bisa dipetakan secara generalistis dan simplistis. Berbeda dengan sistem politik otoritarian, relasi negara-masyarakat jelas diidentifikasi sebagai hubungan yang timpang karena besarnya dominasi dan hegemoni negara terhadap masyarakat. Sehingga rakyat tidak punya ruang kebebasan untuk aktualisasi dan mengapresiasikan gagasan-gagasan yang didasarkan pada nilai-nilai fundamental demokrasi.

Dalam kesejajaran ini resistensi masyarakat terhadap Negara memang relatif tinggi, namun dalam kasus-kasus tertentu negara juga tidak segan untuk merespon resistensi itu secara represif. Meskipun negara tampak tetap mampu melakukan tindakan represif terhadap masyarakat, secara umum dapat dikatakan bahwa posisi Negara pada era transisi tetap melemah. Pelemahan ini disebabkan karena dua hal yaitu terjadinya fregmentasi di tubuh Negara dan terbangunnya radikalisme massa terhadap Negara.

Jika era transisi ini egara mengalami fregmentasi, begitu pula halnya dengan masyarakat, sehingga peran mereka sebagai dialektika kendali terhadap negara terpolarisasi. Maka konflik sosial pun rentan terjadi. Dinamika relasi negara-masyarakat yang komplekk merupakan cermin dari sudut pandang Giddens tentang dialectic of control yang muncul pada penguatan relatif dan pelemahan relatif pada negara dan masyarakat dan menempatkan posisi relasi negara-masyarakat yang relatif sejajar. Dalam posisi itu tidak terjadi negara yang sangat kuat atau masyarakat yang sangat kuat atau negara yang sangat lemah atau masyarakat yang sangat lemah. Inilah yang menjadi faktor peredam terjadinya kemungkinan pendominasian atau penghegemonian salah satu pihak terhadap pihak lain menuju suatu keadilan sosial yang didambakan.***

Related Articles

Back to top button