Opini

Pentingnya Memberi Ruang Aman kepada Korban Pelecehan

Oleh: Aufa Syauqia Arimubaes
Guru di AHE Rumah Belajar Aufaby

Akhir-akhir ini kasus pelecehan oknum guru dan siswi menjadi pembicaraan viral di media sosial. Bahkan banyak akun media sosial yang menyebarkan rekaman video syur tersebut sehingga menjadi tontonan banyak orang, padahal orang lain tidak berhak menonton video syur guru dan siswi yang sudah beredar di media sosial, karena video tersebut memperlihatkan anak di bawah umur, sehingga tidak pantas disebarluaskan dan ditonton.

Dalam video syur tersebut adanya adegan tidak senonoh yang seharusnya tidak dilakukan oleh guru dan siswa, pada kolom komentar akun media sosial yang mengunggah video tersebut banyak sekali oknum yang menyahlakan pihak korban, padahal korban adalah siswi di bawah umur yang menerima tindakan pelecehan oleh gurunya. Kasus pelecehan tersebut di akibatkan karena relasi kuasa antara guru dan murid yang tidak seimbang dan lemahnya pengawasan.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap pelindungan anak. Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan.
Grooming adalah tindakan manipulasi oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur melalui cara-cara sederhana di awal. Biasanya orang yang melakukan tindakan tersebut memiliki rasa kuasa dalam dirinya, merasa memiliki power untuk melakukan hal-hal tidak senonoh pada orang lain yang bisa di kelabui. Anak di bawah umur tidak memiliki keberanian untuk speak up ataupun melawan pelaku karena mereka merasa ketakutan dan sudah dimanipulasi oleh pelaku, Pelaku memanipulasi korban agar tidak berani berbicara tentang tindakan tidak senonoh yang sudah pelaku lakukan, sehingga masih banyak kasus asusila yang belum terekspos media. Celakanya orang orang yang merasa memiliki kuasa dan melakukan hal tersebut adalah orang orang yang tidak di sangka-sangka karena perannya dalam status sosial, seperti guru, pengasuh pondok pesantren, paman, ayah tiri dan lain-lain.

Pelaku yang memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan tersebut biasanya dimulai dengan cara-cara sederhana seperti bersikap ramah, peduli, perhatian, dan ketulusan sehingga korban merasa nyaman dan aman berada didekat pelaku. Pelaku juga memanipulasi korban agar menjadikannya sebagai orang yang di percaya dan dapat melindungi. Hal tersebut menjadi sebab mengapa korban kebanyakan dari anak-anak yang tidak menerima rasa nyaman dan dilindungi dari orangtua, contohnya seperti anak-anak yang tidak memiliki peran ayah atau yang biasa di sebut dengan Fatherless.
Setelah pendekatan dengan korban, maka pelaku mulai berani melakukan tindakan tidak senonoh seperti pelecehan seksual secara verbal maupun non verbal tetapi pelaku akan mencuci otak korban agar korban merasa bingung dan Denial dengan tindakan yang sudah pelaku lakukan, pelaku juga memberikan ancaman agar korban tidak memiliki keberanian untuk berbicara.

Faktor utama dampak yang akan terjadi kepada korban merupakan penularan penyakit menular seksual. Faktor kedua berdampak pada psikologis korban, sehingga korban akan mengalami trauma yang mendalam, juga stres yang dapat menganggu fungsi dan perkembangan otaknya.

Akibatnya banyak kasus pelecehan seksual pada anak di bawah umur yang masih berkelanjutan, Dari banyaknya kasus peristiwa pelecehan terhadap anak-anak seharusnya membuat kita lebih sadar dengan tindakan-tindakan yang salah, oleh karena itu kita sebagai manusia tidak seharusnya semakin memberi tekanan kepada korban apalagi mencela dan mengolok-olok, seharusnya korban di beri ruang aman untuk berbicara terkait apa yang dilakukan dirinya dan pelaku, untuk menyelamatkan korban agar korban tidak semakin tertekan dengan rasa takut, cemas, trauma dan depresi. Bentuk dukungan kepada korban juga dengan tidak memojokkan dan mengolok-olok korban secara langsung maupun melalui media sosial.***

Back to top button