Opini

Gelar Sarjana: Menjamin Hidup Layak?

Oleh: Muhamad Hijar Ardiansah
Pegiat Komunitas NUN (Niat Untuk Nulis) REBORN

Gelar sarjana, bagi banyak orang, merupakan puncak pencapaian akademik yang membanggakan. Setelah bertahun-tahun bergelut dengan buku-buku tebal dan ujian-ujian menantang, akhirnya seseorang dapat menyandang gelar sarjana yang menjadi simbol status sosial dan intelektual tertentu. Namun, apakah gelar sarjana benar-benar menjamin kehidupan yang layak?
Secara tradisional, gelar sarjana dipandang sebagai tiket emas untuk memasuki dunia kerja. Perusahaan-perusahaan besar cenderung lebih memilih calon karyawan yang memiliki latar belakang pendidikan formal, terutama mereka yang memiliki gelar sarjana. Anggapan masyarakat umum adalah bahwa lulusan sarjana memiliki pengetahuan, keterampilan, dan etos kerja yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki gelar.
Bagi sebagian besar fresh graduate, gelar sarjana juga merupakan tiket emas untuk mereka memasuki dunia kerja. Mereka berharap dengan modal ilmu pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan akan mudah menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan memberikan penghasilan yang cukup. Sayangnya, realita sering kali tidak seindah harapan.
Saat ini banyak sarjana yang kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Persaingan yang ketat di pasar kerja, ditambah dengan tuntutan perusahaan akan pengalaman kerja membuat para lulusan baru harus bersabar. Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya memilih pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang studinya demi mendapatkan penghasilan.
Pertanyaan mendasar yang perlu kita tanyakan adalah “sebenarnya kita mengejar gelar sarjana untuk apa sih?”. Mayoritas orang akan menjawab bahwa gelar sarjana diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan penghasilan yang layak. Namun, apakah tujuan hidup seseorang hanya sebatas pada materi saja?
Tentu saja iya, karena kebutuhan materi adalah hal yang wajar. Setiap orang pasti membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, minum, tempat tinggal, dan kesehatan. Namun, sebagian besar orang berkata bahwa uang bukan segalanya tapi segalanya membutuhkan uang.
Salah satu contoh nyata tentang ketidakadilan yang dialami oleh para sarjana jurusan pendidikan, yang lulus nanti mayoritas menjadi guru, guru honorer. Guru honorer adalah mereka yang mengajar di sekolah namun tidak memiliki status sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Meskipun memiliki kualifikasi akademik yang sama dengan guru PNS, tetapi guru honorer sering kali mendapatkan gaji yang jauh lebih rendah.
Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Guru adalah profesi yang sangat mulia. Mereka berperan penting dalam membentuk karakter dan masa depan generasi muda. Namun, ironisnya, banyak guru honorer di Indonesia yang harus hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun tetap saja sulit untuk mencapai pada kehidupan yang layak.
Bagi banyak guru honorer, mereka dihadapkan pada dilema yang sulit, memilih antara pahala atau gaji yang layak, sudah tentu jawabannya gaji yang layak. Menurut Guntur (2019) gaji guru, termasuk guru honorer, seharusnya bisa mengacu pada UMR di tiap-tiap daerah, maka minimal mereka mempunyai gaji minimal 2 juta per bulan.
Kemudian contoh lain yang menarik perhatian adalah kasus mba Leyden, lulusan UGM yang memilih menjadi cleaning service di Australia. Keputusannya yang mungkin dianggap mengejutkan oleh sebagian orang ini justru menunjukkan bahwa nilai sebuah pekerjaan tidak selalu ditentukan oleh gelar atau posisi. Ada faktor-faktor lain yang lebih relevan, seperti gaji, kepuasan kerja, dan peluang pengembangan diri.
Gelar sarjana tidak lagi menjadi jaminan mutlak untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak, karena persaingan yang semakin ketat. Serta biasanya bagi mereka yang merengkuh gelar sarjana akan picky alias pilih-pilih pekerjaan yang setidaknya tidak memalukan dan merasa gengsi karena sudah mendapatkan gelar sarjana.
Akan tetapi mba Leyden adalah contoh nyata bahwa gelar hanya sekadar tulisan di ijazah dan menempel pada diri seseorang secara abstrak, sehingga tidak ada rasa malu ketika harus bekerja sebagai cleaning service di Australia, selain lebih profesional Jobdesk-nya, tentu gaji yang didapatkan sangat menggiurkan. Pengakuannya di akun Tiktok dengan Podcaster dr Richard, mba Leyden mendapatkan gaji kurang lebih 60 juta per bulan. Jika berbicara hidup layak di Indonesia dengan gaji yang demikian, tentu lebih dari cukup.
Salah satu penyebab utama mengapa gelar sarjana tidak selalu menjamin kehidupan yang layak adalah ketidakpastian pasar kerja. Banyak fresh graduate yang kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studinya. Sementara itu, gaji yang ditawarkan pun sering kali tidak sebanding dengan biaya pendidikan yang telah mereka keluarkan.
Perbandingan antara gaji seorang guru di Indonesia dengan seorang cleaning service di Australia juga semakin menguatkan argumentasi ini. Pekerjaan yang dianggap bergengsi di Indonesia belum tentu memberikan penghasilan yang sebanding dengan pekerjaan yang sama di negara lain. Hal ini menunjukkan adanya disparitas yang cukup signifikan dalam hal penghargaan terhadap profesi tertentu. Lalu, apa yang harus dilakukan? Berikut ini beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kurikulum pendidikan tinggi perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja yang dinamis. Selain itu, perlu juga diberikan pelatihan yang memadai kepada mahasiswa agar mereka tidak hanya memiliki pengetahuan akademik saja, tetapi juga keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja.
Kedua, pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih baik dalam bidang ketenagakerjaan. Gaji minimum perlu dinaikkan secara berkala sesuai dengan tingkat inflasi. Selain itu, perlu juga dibuat regulasi yang lebih ketat untuk melindungi hak-hak pekerja, termasuk guru honorer di Indonesia.
Ketiga, kita sebagai individu perlu memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya mengembangkan diri. Kita juga tidak boleh hanya mengandalkan gelar sebagai modal utama dalam mencari pekerjaan. Keterampilan seperti komunikasi, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi akan menjadi aset yang sangat berharga di masa depan.
Gelar sarjana memang merupakan pencapaian yang membanggakan, namun ia tidak boleh dijadikan satu-satunya tolok ukur kesuksesan. Kehidupan yang layak tidak hanya ditentukan oleh materi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti kesehatan, hubungan sosial, dan kepuasan batin. Dengan kata lain, gelar sarjana hanya sebatas salah satu alat untuk mencapai tujuan hidup, bukan tujuan hidup itu sendiri.
Gelar sarjana bukan lagi jaminan mutlak untuk kehidupan yang layak. Meskipun gelar sarjana masih menjadi persyaratan utama dalam berbagai lowongan pekerjaan, namun kenyataannya menunjukkan bahwa banyak lulusan sarjana yang kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Persaingan yang ketat di pasar kerja, ketidakpastian ekonomi, dan ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri menjadi beberapa faktor penyebab.
Keterampilan, pengalaman, dan jaringan relasi menjadi semakin penting dalam menentukan kesuksesan seseorang di dunia kerja. Selain itu, kepuasan kerja dan keseimbangan hidup juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan.
Untuk itu, perlu adanya upaya bersama untuk meningkatkan kualitas pendidikan, memperbaiki kebijakan ketenagakerjaan, dan mengembangkan diri secara terus-menerus. Ingat gelar sarjana hanya sebatas salah satu alat untuk mencapai tujuan hidup, bukan tujuan hidup itu sendiri.***

Related Articles

Back to top button