Ayumajakuning

Perbup Pasar Cigasong Indikasi Korupsi Berjamaah

kacenews.id-MAJALENGKA-Minimnya pemahaman masyarakat terkait prosedur pembuatan peraturan kepala daerah atau yang populer dengan Peraturan Bupati (Perbup) atau Peraturan Wali Kota, memantik perhatian dari pakar hukum di tanah air Ardi Susanto,SH, MH, untuk memberikan penjelasan terkait mekanisme teknisnya secara umum.

Apalagi jika dikaitkan dengan kasus Pasar Cigasong yang terjadi di Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat, yang saat ini ditangani Kejati Jabar.

Di antara yang tengah gaduh dan menjadi sorotan adalah pembuatan Peraturan Bupati Majalengka Nomor 103 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan Mitra Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Bangunguna Serah Atas Tanah di Jalan Rayacigasong-Jatiwangi Kelurahan Cigasong Kecamatan Cigasong Kabupaten Majalengka.

Perbup itu ditetapkan di Majalengka pada tanggal 18 November 2020, dengan tertanda Bupati Majalengka, Karna Sobahi, Sekretaris Daerah, Eman Suherman dan bertanda tangan Kepala Bagian Hukum Sekreatariat Daerah Kab. Majalengka, Dede Supena Nurbahar.

Khusus untuk perumusan dan penyusunan Perbup tentang Bangunan Serah Guna (BGS) Pasar Cigasong, digunakan tim pendamping dari Inspektorat Jenderal (Irsus 1v) Kementerian Dalam Negeri.

Keterlibatan tim pendamping ini adalah untuk memastikan bahwa setiap tahapan, mekanisme, dan Standar Operasional Prosedur (SOP) hingga substansi Perbup tidak ada kekeliruan dan kesalahan. Harapannya sebelum ditandatangani, Perbup tersebut sudah benar dan sesuai dengan peraturan dan perundang undangan yang berlaku.

Menurut Ardi, pihaknya tidak menyoroti masalah kasus Perbup di Pasar Cigasong di Majalengka. Namun secara umum Peraturan Bupati atau Peraturan Wali Kota diakui keberadaanya dalam hierarki, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, selagi tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

“Secara aturan umum dalam membuat regulasi Perbub itu harus tertib kewenangan, tertib subtansi, tertib proses pembentukan dan tertib administrasi,” tegas Ardi.

Mengenai tahapan Perbup sendiri garis besarnya, lanjut Ardi, harus diawali poin Pertama perencanaan. Kedua, penyusunan. Ketiga, pembahasan. Keempat, penetapan dan kelima, pengundang-undangan. Mengenai penjelasan perencanaan dalam pembuatan Perbup, sambung dia, bisa atas amanah dari Peraturan Daerah, kedua berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Perencanaan Perbup ini bisa diusulkan oleh perangkat daerah (OPD) terkait, kemudian rencana pembentukan Perbup dalam Propemperda,” jelas Ardi.

Terkait penyusunan Peraturan bupati itu melibatkan kepala daerah (bupati/Wali Kota) dengan melakukan koordinasi dengan Sekretaris Daerah (Sekda) terkait. Berikutnya, dibentuklah tim pembahasan yang melibatkan OPD/SKPD terkait, bagian hukum, peraturan daerah terkait dan legal drafter.

“Baru setelah itu drat perbup itu masuk ketua tim dan instansi terkait lainnya,” ucap Ardi.

Mengenai tahap awal penyusunan bermula dari naskah awal yang disusun oleh kepala OPD terkait, dengan melibatkan perangkat daerah atau instansi terkait lainnya, termasuk masyarakat. Berikutnya draft surat keputusan SK Tim untuk melakukan pembahasan atau penyusunan.

“Biasanya naskah rancangan Perbup itu dalam bentuk softhardcopy,” tuturnya.

Kemudian usai itu, lanjut Ardi, Perbup itu masuk ke Bagian Hukum Pemda setempat untuk dilakukan fasilitasi, penetapan, pembentukan tim pembahasan.

Biasanya ketua tim adalah pejabat lain yang ditunjuk, maka pimpinan perangkat daerah pemrakarsa tetap bertanggungjawab terhadap materi muatan.

“SK tim pembahasan itu melibatkan kepala perangkat daerah (OPD) yang memprakarsai, sekretarisnya kepala bagian hukum dan anggotanya sesuai dengan kebutuhan,” imbuhnya.

Tugas tim pembuat Perbup sendiri melaporkan perkembangan rancangan Perbup kepada Bupati dan Sekda. Lalu memberikan paraf koordinasi pada tiap halaman rancangan yang telah selesai dibahas. Berikutnya mengajukan rancangan Perbup yang telah diparaf dengan koordinasi kepada bupati melalui Sekda.

Selanjutnya, peran dari Sekretaris Daerah (Sekda) itu pertama dapat melakukan perubahaan dan atau penyempurnaan terhadap rancangan Perbup. Kedua, dapat memberikan paraf koordinasi setelah diparaf oleh tim pada tiap lembar halaman.

“Setelah itu Sekda menyampaikan rancangan kepada bupati,” tegas Ardi.

Tahap berikutnya yakni penandatanganan Perbup dilakukan dalam rangkap tiga asli.

“Nah, untuk pendokumentasiaan Perbup itu dilakukan oleh Sekda, Bagian Hukum dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD/Dinas/Badan) yang memprakarasai,”ucapnya.

Setelah Perbup ditandatangani, lanjut dia, maka dilakukan Penomoran. Registrasi produk hukum darah pada Sub bagian Dokumentasi dan Informasi Hukum di Bagian Hukum Setda Pemda/Pemrov.

“Nomornya harus bulat dan di undangangkan dalam berita daerah. Baru setelah itu dimuat dalam jaringan dokumentasi dan informasi hukum (JDIH) Nasional/Daerah,” tutur Ardi.

Perlu diketahui dalam proses pembuatan Perbup/Peraturan Wali Kota itu dilarang bertentangan dengan ketentuan hukum Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan hukum, dan kesusilaan.

Jika itu dilanggar maka sanksi administratif berupa teguran lisan, tertulis, penghentian sementara kegiatan, penghentian tetap kegiatan,pencabutan izin, denda administratif, dan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terkait pembatalan Perbup bupati wajib menyampaikan Perbup itu paling lama 7 hari setelah ditetapkan kepada Gubernur. Jika bupati atau wali kota yang tidak menyampaikan Perda atau Perbup, Walkot, itu akan dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari gubernur.

“Partisipasi masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan/tertulis dalam pembentukan Perda, Perbup, atau peraturan hukum lainya. Masukan masyarakat dapat berupa rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarnya atau diskusi,” pungkasnya.(Jep)

Related Articles

Back to top button