Menilik Cigasong Jantung Peradaban Majalengka di Abad 19
kacenews.id-MAJALENGKA-Suasana di malam Minggu itu terasa dingin dengan disertai hembusan angin yang kencang, membawa aroma nostalgia yang begitu menusuk jiwa. Di bawah sinar rembulan yang memancar indah, puluhan orang berkumpul di Cafe Kopi Sawah, Jl KH Abdul Halim Kecamatan Cigasong Kabupaten Majalengka.
Mereka duduk lesehan, mengenakan pakaian adat Sunda, sembari mendengarkan kisah sejarah yang penuh makna. Suasana pun terasa begitu hangat dan akrab, seolah mengajak setiap orang merajut kembali benang-benang masa lalu yang penuh kebanggaan.
Lantunan musik khas Sunda pun ikut mengiringi, menambah nuansa semakin hanyut dalam kenangan masa lalu. Di tengah keramaian itu, hadir Anggota DPR RI terpilih dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ir. H. Ateng Sutisna.
Ia memberikan sentuhan khusus pada malam itu. Bukan bukan hanya seorang pejabat, melainkan juga keturunan langsung dari Tumenggung Natakarya, sosok yang kisahnya menjadi inti dari pertemuan ini.
Acara dipandu oleh Raden Asep Asdha Singhawinata sebagai pemateri dan dimoderatori oleh Raden Dani Sonjaya Prawiranegara. Hadir pula pada kesempatan itu tokoh masyarakat, para keturunan Tumenggung Natakarya, yang tergabung dalam Paguyuban Kawargian Tumenggung Natakarya.
Mereka merupakan warga berasal dari Kelurahan Simpeureum dan Kelurahan Cigasong sehingga menjadikan suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.
Kedatangannya bukan hanya untuk mendengarkan, namun juga merajut kembali sejarah masa lalu dan kebanggaan yang mulai memudar ditelan zaman oleh generasi pelanjutnya.
Pada kesempatan itu Ir H Ateng memberikan sambutan dengan menceritakan kiprah Tumenggung Natakarya, yang dikenal sebagai Adipati di wilayah Kabupaten/ Distrik Sindangkasih pada abad ke-19 atau pada tahun 1800 M.
“Sepengetahuan saya Tumenggung Natakarya itu sosok pemimpin yang mengayomi rakyatnya, berwibawa dan adil. Beliau saat ini dimakamkan di Kawungpoek Kelurahan Simpeureum Kecamatan Cigasong,” katanya.
Menurut Ateng, penting bagi masyarakat untuk mengenal sejarah dan kiprah para leluhur guna memperkuat persaudaraan dan mempertankan identitas budaya sunda yang mulai hilang di telan zaman.
“Di samping acara malam ini “ngaguar” sejarah, yang tak kalah pentingnya juga untuk mempererat tali silaturrahmi dan persaudaraan di antara kita semua,”kata Ateng yang dikenal pengusaha sukses yang kini tinggal di Bogor.
Sementara itu, Asep Asdha Singhawinata, narasumber atau Pranata Budaya dan Sejarah dari Kerajaan Talaga Manggung, menguraikan lebih dalam tentang sosok Tumenggung Natakarya.
Ia menjelaskan bahwa Tumenggung Natakarya hidup pada tahun 1800-an dan merupakan seorang adipati yang mengayomi masyarakatnya, sehingga wilayahnya pun menjadi kawasan maju.
Data informasi itu diperoleh dari sebuah buku naskah Carukanda Talaga terjemahan yang telah dibuat sejak tahun 1400-1800 M.
“Salah satu bukti peninggalannya yang masih melegenda hingga kini adalah kolam renang Sang Raja di Kelurahan Cigasong “katanya.
Lebih jauh Kang Asep biasa disapa, menjelaskan asal-usul nama Cigasong. Menurutnya, nama “Cigasong” berasal dari kata “Cai” yang bukan berarti air, tetapi cerminan, dan “gasong/ gasrong” yang berarti tempat air menempa besi.
Sehingga Cigasong kala itu merupakan tempat yang telah maju dan menjadi pusat peradaban baru, dengan ditandai adanya produksi penempaan besi berupa senjata golok, kolewang, tumbak dan alat perkakas pertanian arit, parang, cangkul dsb.
Zaman itu belum ada namanya Kabupaten Majalengka seperti sekarang ini. Namun di sisi lain, penamaan Cigasong ada juga pendapat lain, bahwa “Ci” berasal dari “jiga” yang berarti seperti dan “kosong” yang berarti tidak ada, sehingga wilayah ini dianggap sebagai tempat yang kosong namun ternyata ada peradaban maju.
“Kalau sosok Tumenggung Natakarya sendiri keturunan Kerajaan Talaga Manggung dan lahir di Desa Paniis, Maja. Beliau memerintah di Kabupaten Sindangkasih, yang dulu belum bernama Majalengka,” ungkap Kang Asep.
Ia menambahkan, bahwa kehidupan rakyat di Kabupaten Sindangkasih itu sangat maju dan rakyatnya maju dan sejahtera. Kekuasaan Tumenggung Natakarya membentang luas hingga ke wilayah Nangkabeurit yang kini dikenal sebagai Kabupaten Subang. Namun, seiring kedatangan kolonial Belanda melakukan penjajahan, kehidupan pemerintahan dan rakyat Sindangkasih mulai diusik.
Persatuan dan kesatuan masyarakat dipecah belah.
Kendati demikian Tumenggung Natakarya melawan terhadap penjajahan belanda dan hingga kini namanya tetap hidup dalam jiwa masyarakat Cigasong dan keturunanya.
“Nah itu sekilas sosok Tumenggung Natakarya, kalau misal ada perbedaan pandangan tentang versi sejarah, jangan saling menyalahkan. Jadikan perbedaan itu sebagai tambahan literasi dan bahan pembelajaran,”paparnya.
Sementara itu moderator Raden Dani Sonjaya Prawiranegara menyampaikan perlunya setiap keturunan dari keluarga besar Tumenggung Natakarya mengetahui silsilah yang jelas dan tersusun rapih. Sehingga mereka tahu persis kemana jalur nasabnya. Atau silsilah hubungannya dengan tokoh bersejarah Tumenggung Natakarya yang diakui sebagai leluhurnya.
Ketua Panitia Bedah Sejarah Igum Gumbirawan mengatakan, acara malam ini tidak hanya mengenalkan kembali sosok Tumenggung Natakarya, tapi juga menjadi ajang silaturahmi dan penguat ikatan saudara di antara warga Cigasong dan Simpeureum. Karena dalam suasana penuh kekeluargaan, kita akan merajut kembali kenangan sejarah yang pernah terputus.
“Intinya kita ingin Warisan Tumenggung Natakarya tetap hidup dalam jiwa dan semangat masyarakat Cigasong. Bagi generasi sekarang ini dapat menjadi fondasi kuat untuk mengenal jati diri dan mengambil contoh dari kepemimpinannya,”tutupnya.(Jep)