Opini

Aroma Rekayasa Hukum dalam Penetapan Tersangka Pegi Setiawan

Oleh: Mutaqin, S.H
Pengamat Isu Hukum, Pendidikan, dan Sosial

“Mengabulkan praperadilan pemohon seluruhnya. Menetapkan serta ketetapan tersangka batal demi hukum, menyatakan tidak sah segala keputusan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon terhadap penetapan tersangka,” demikian bunyi putusan yang dibacakan oleh Hakim Eman Sulaeman.
Pekik takbir yang riuh dari hadirin memenuhi ruang sidang dalam agenda putusan praperadilan menyusul pembacaan putusan oleh hakim tunggal Eman Sulaiman yang mengabulkan semua isi permohonan dari pihak Pegi Setiawan selaku pemohon. Hal ini didasarkan pada penetapan Pegi Setiawan yang tidak memenuhi prosedur yang ada. Kurangnya kuat dan meyakinkannnya alat bukti dari Polda Jawa Barat untuk menunjukkan bahwa Pegi Setiawan merupakan pelaku atas pembunuhan berencana dan pemerkosaan adalah satu dari kesalahan polisi dalam penetapan status tersangka. Dengan demikian status Pegi sebagai tersangka secara resmi telah dicabut dan nama baiknya harus dikembalikan demi hukum setelah memenangkan praperadilan ini.
Peradilan yang sempat ditunda pada agenda perdananya karena ketidakhadiran pihak Polda Jawa Barat yang seharusnya digelar pada 24 Juni ini ditunda hingga 1 Juli 2024, tak pelak menimbulkan rasa curiga dari publik bahwa penetapan sebagai tersangka atas Pegi Setiawan dinilai terlalu terburu-buru serta tidak berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Akhirnya setelah adanya putusan praperadilan atas perkara ini, sikap sinisme dan pesimistis terhadap kinerja kepolisian dalam negeri semakin menguat karena Pegi Setiawan sebagai korban atas upaya penegakan hukum yang membabi buta bukanlah satu-satunya. Bukan tidak mungkin di luar sana ada banyak korban yang tidak terekspos dari tindakan kesewenang-wenangan aparat kepolisian yang harus menderita dan terenggut hak-hak asasinya sebagai manusia dengan mendekam dibalik jeruji besi.
Apa yang dialami oleh Pegi Setiawan adalah bukti nyata yang tidak terbantahkan betapa institusi kepolisian masih sedemikian kaku dan cenderung penuh dengan arogansi serta seolah-olah belum melepaskan sepenuhnya citra mereka di masa silam ketika masih melebur dengan angkatan bersenjata. Sehingga rasa aman dan tentram yang seharusnya bisa mereka hadirkan dalam perannya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat kemudian menjadi wajar disangsikan oleh publik dewasa ini. Ada kekhawatiran yang mendalam atas masa depan upaya penegakan hukum di Indonesia oleh aparat kepolisian yang banyak mengaburkan tujuan hukum untuk menghadirkan salah duanya adalah keadilan dan kepastian. Melihat bagaimana Pegi Setiawan dari penangkapan hingga penetapannya sebagai DPO sekaligus tersangka sama sekali tidak ada keadilan dan kepasian hukum yang tercermin.
Melihat bagaimana kasus ini bergulir sejak pertama kali dilakukan penanganan secara hukum pada 2016 oleh Polres Cirebon Kota memang patut dicurigai adanya rekayasa kasus dengan terkuaknya kejanggalan-kejanggalan ke publik belakangan ini. Ada tanda tanya besar di benak masyakat perihal bagaimana mungkin kasus pidana berat seperti pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal berupa hukuman mati ditambah pemerkosaan dalam penyelidikan dan penyidikannya tidak menggunakan pendekatan Scientific Crime Investigation. Namun justru lebih memilih menggunakan alat bukti berupa keterangan saksi yang itu pun tidak melihatnya secara langsung bagaimana persisnya kejadian yang menghilangkan nyawa Eki dan Vina 8 tahun silam.
Rangkaian panjang kasus Vina Cirebon yang kembali mencuat ke permukaan memiliki banyak celah dan kejanggalan yang mengarah pada asumsi adanya obstruction of justice oleh oknum aparat penegak hukum. Di mana upaya melawan hukum ini sangat mungkin berupa upaya menyapu bersih buntut dari kesalahan penanganan kasus pada 2016 silam yang berhasil menyeret 8 nama masuk ke dalam bilik penjara yang belakangan kuat dugaan mengalami serangkaian perlakuan tidak manusiawi.
Masih sangat jelas dalam ingatan publik bagaimana konferensi pers oleh Polda Jawa Barat yang terlalu tendensius dalam memposisikan Pegi Setiawan dengan mengesampingkan asas praduga tidak bersalah sebelum adanya putusan dari pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Pegi Setiawan berdiri mematung di hadapan liputan media dengan kepala lebih banyak tertunduk dan tidak diberikan ruang sama sekali untuk berbicara membuatnya terlihat tidak berdaya, terlebih lagi ketika pihak Polda Jawa Barat menghapus 2 DPO lainnya yang disebutkan sebagai tokoh fiktif dan hanya menyisakan satu DPO yakni Pegi Setiawan seorang diri. Belum lagi rangkain-rangkain lainnya yang tidak kalah janggal dari penetapannya sebagai DPO tidak sesuai dengan ciri-ciri yang dirilis, prosedur penggeledahan yang serampangan dan alat bukti yang digunakan, hingga langkah-langkah seperti penggunaan berbagai instrumen psikotes untuk mengarahkan agar yang bersangkutan benar-benar menjadi tersangka terlihat terlalu memaksakan.
Rekayasa hukum oleh polisi nyatanya bukan hal baru dalam realitas penegakan hukum di Indonesia karena memang fenomena yang merupakan borok dalam hukum di Indonesia ini sudah ada sejak lama. Berdasarkan data dari Kontras setidaknya tercatat pada 2019-2022 ada 27 kasus rekayasa hukum oleh Polri baik di level Polsek, Polres maupun Polda dan tersebar di 15 Provinsi dengan rincaian 7 kasus dilakukan oleh polisi di tingkat polsek, 4 kasus dilakukan oleh polisi di tingkat Polres dan di tingkat Polda ditemukan 6 kasus dengan masyarakat sipil yang menjadi korbannya. Angka ini merupakan kasus-kasus yang ditemukan, tentunya angka yang sebenarnya lebih besar, dan 27 kasus ini hanya di 15 Provinsi belum lagi 23 Provinsi lainya di dalam negeri.
Peristiwa rekayasa hukum yang terjadi tentunya mengesampingkan prosedur dalam mengungkap suatu kasus hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penangkapan sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hal ini menjadi PR besar pada aspek pengawasan terhadap institusi kepolisin ini baik secara internal maupun eksternal yang selama ini tidak berjalan sebagaimana mestinya sebagaimana yang disampaikan oleh Kontras.
Dalam kasus penetapan tersangka Pegi Setiawan, tanpa perhatian dari segenap masyarakat dan netizen di berbagai platform media sosial yang konsisten mengawal kasus ini dari awal besar kemungkinan nasib dari Pegi Setiawan yang berprofesi sebagai kuli bangunan ini tidak akan jauh berbeda dari korban-korban kasus rekayasa hukum lainnya. Dari kasus ini kita kembali lagi diperlihatkan bagaimana slogan no viral no justice memang benar adanya. Nyatanya bahkan di tengah-tengah gelombang tekanan dari publik yang deras mengalir ke pihak Polda Jabar tidak terlalu efektif untuk mencegah dari langkah-langkahnya selama ini hingga akhirnya keluar putusan dari sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung pada Senin, 8 Juli 2024 kemarin.***

Related Articles

Back to top button