Ayumajakuning

Harga Tidak Stabil, Bandar Gabah dan Pemilik Penggilingan Padi Menghentikan Usahanya

 

MAJALENGKA-Bandar gabah serta pemilik penggilingan padi semakin dibingungkan dengan harga gabah dan beras yang tidak menentu. Sehingga sebagian pemilik penggilingan padi bangkrut dengan beban utang yang tinggi. Sebagian bandar untuk menghindari utang dan kebangkrutan, memilih menghentikan sementara usahanya  dan berhenti memaosk beras kepada pelanggannya di Jakarta ataupun Bandung.

Seperti dialami Yahya Sunarya, yang kini memilih berada di rumah melakukan aktivitas lain dan mencoba beralih menjadi peternak kelinci, walaupun keuntungan jauh tidak sebesar berjualan gabah atau beras ke Jakarta.

“Saya sudah sebulan beternak, karena kondisi harga gabah tidak menentu. Kalau giling harga jual beras tidak sebanding dengan harga pembelian gabah,” katanya.

Menurutnya, saat ini beras miliknya di Pasar Induk Cipinang hanya diterima seharga Rp 12.200 per kg. Sedangkan harga pembelian gabah telah mencapai Rp 830.000-Rp 850.000 per kwintal.

“Jika harga jual Rp 12.200 maka harga pembelian gabah harusnya hanya sebesar Rp 630.000 per kwintal. Kondisi ini tidak bisa dipaksakan, kalau dipaksakan kerugiannya sangat besar. Makanya daripada harus merugi lebih baik memutus sementara pelanggan. Karena tidak mau menyesuaikan harga dari kita,” tuturnya.

Ia mengaku sempat rugi hingga Rp 14 juta pada pengiriman dua pekan kemarin. Karena  pembeli tidak bersedia menerima harga sesuai permintaan Yahya, dengan alasan harga beras di Jakarta mulai turun. Turunnya harga beras di Jakarta kabarnya dipengaruhi oleh beredarnya beras bantuan dari pemerintah  yang didistribusikan untuk masyarakat penerima jaminan kesejahteraan dosial (JKS).

Selain itu adanya operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog belakangan ini.

“Kirim 10 ton ruginya lumayan tinggi mencapai Rp 7 juta. Karena kondisi harga tidak menentu, lebih baik berhenti dulu lah,” katanya.

Sementara itu, dua pemilik penggilingan gabah di Kecamatan Kertajati yang biasa menyuplai ke Bandung kini berhenti total dan meninggalkan utang lumayan besar. Itu terjadi setelah mereka mengirim beras kepada pelanggannya, namun diterima dengan harga yang tidak sesuai dengan harga pembelian gabah.

“Saya sudah dua bulan lebih berhenti giling. Karena mengalami kerugian. Ketika itu stok gabah banyak, sementara penjualan lesu,”katanya.

Pemilik penggilingan lainnya Tirto mengungkapkan, dirinya tidak  menjual beras kualitas premium karena harga jual yang tinggi.  Sedangkan yang sekarang laku beras medium yang harganya lebih rendah, sehingga harga lebih terjangkau masyarakat.

“Kalau jual beras premium ya tinggi tidak sebanding dengan harga pembelian. Sekarang hanya menjual beras medium, karena pasar lebih memilih jenis ini,” katanya.(Tati)

 

 

 

Related Articles

Back to top button