Opini

Babak Baru Sertifikasi Halal

Oleh : H. Muhamad Jaenudin, S.Ag. MH.
Kepala KUA Kec.Pancalang, Pendamping Halal Angkatan 5 UIN SGD Bandung

SATU hal yang paling esensial dalam dunia produksi adalah masalah pemasaran. Artinya bagaimana caranya sebisa mungkin produsen dapat meraih konsumen sebanyak-banyaknya.

Dengan cara seperti ini nantinya omzet penjualan akan naik dan pada akhirnya laba yang dihasilkan pun semakin melejit. Dan salah satu cara untuk meraih para konsumen adalah dengan menjamin kepuasan mereka. Hal ini ditempuh dengan memberikan service yang memuaskan.

Maka sangatlah logis di negara kita yang mayoritas penduduknya beragana Islam ini jika para produsen akan senantiasa memeperhatikan kepentingan kaum muslimin sebagai konsumen mayoritasnya.

Sebab jika tidak, produsen akan kehilangan konsumen terbesarnya dan bukan tidak mungkin hal itu akan membawa penurunan omzet bahkan juga kebangkrutan perusahaan.

Untuk itu, secara psikologis sertifikasi halal dalam sebuah produk akan melahirkan ketentraman bathin para konsumen. Ini terjadi karena Agama memerintahkan hanya boleh memakan, makanan yang halalan toyyiban (makanan yang halal dan baik).

Sebab dengan sertifikasi halal konsumen akan merasa yakin bahwa makanan dan minuman yang mereka beli benar-benar halal misalnya tidak mengandung alkohol yang memabukkan, tidak mengandung zat narkoba, dan tidak mengandung bahan yang diharamkan lainnya.

Selain itu juga produk makanan harus terkategori toyyiban (baik) dalam artian bergizi dan aman dari zat-zat yang membahayakan kesehatan, semisal pengawet borak, formalin, pewarna tekstil dan sebagainya.

Sertifikasi halal yang diikuti dengan labelisasi halal pada sebuah produk juga akan terasa makin urgen ketika para konsumen yang memerlukan informasi kehalalan suatu produk sudah tidak mungkin lagi bertanya langsung kepada produsen, apakah barang yang ia beli itu benar-benar halal atau tidak.

Ini terjadi karena jaringan pemasaran sudah sedemikian panjang dan berjenjang-jenjang dari satu tangan ke tangan yang lain, sehingga untuk melacak sampai ke produsen pertama merupakan perjalanan jauh dan melelahkan.

Maka satu-satunya cara yang efektif dan efisien adalah dengan melihat langsung pada lebel yang tertera pada produk yang ia beli.

Maka sejak dekade tahun 90 an regulasi dan peraturan tentang sertifikasi dan labelisasi halal telah mengalami dinamika dan pasang surut.

Dinamika ini terutama menyangkut instansi mana yang memegang kewenangan mengeluarkan sertifikasi halal. Bahkan pada masa itu relatif belum terjadi kerjasama yang harmonis diantara instansi pemegang kewenangan sertifikasi halal.

Dualisme penanganan pelabelanpun pernah terjadi, yakni pelabelan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan melalui Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) serta pelabelan yang dikeluarkan oleh MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Makanan (LPPOM).

Puncak dari belum terciptanya harmonisasi ini seperti dulu pernah diberitakan oleh Majalah Forum bahwa Tahun 1994 Depkes menemukan sebuah pabrik biskuit di Surabaya yang tanpa melalui pemeriksaan Depkes telah berani mencantumkan label halal pada produknya.

Maka Depkes menyuruh pihak perusahaan menarik produknya dari pasaran. Namun perusahaan menolaknya karena mengaku telah mengantongi izin sertifikat halal dari MUI.

Semenjak itu pemerintah mencoba menggagas dialog dan kerjasama harmonis antar instansi yang berkepentingan untuk mengeluarkan sebuah sertifikat pelabelan halal.

Seperti tahun 1996 telah dilakukan penandatanganan “Piagam Kerja Sama” oleh Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Ketua MUI saat itu, isi kesepakatan kerjasama itu adalah membangun harmonisasi diantara instansi yang sama-sama mumiliki kewenangan dalam mengeluarkan labelisasi halal.

Maka sebagai babak baru dari perkembangan Sertifikasi halal, Tahun 2014 keluarlah UU No. 33 tentang Jaminan Produk Halal. Sebagai sebuah program baru, maka butuh waktu untuk mempersiapkan inprastruktur pendukungnya.

Hingga akhirnya Tahun 2019, barulah keluar Peraturan Menteri Agama No 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal. UU No. 33 Tahun 2014 ini kemudian direvisi oleh UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Di antara isi regulasi baru sertifikasi halal itu mengatur tentang kewenangan yang diambil alih oleh Pemerintah dengan leading sektornya Kementerian Agama.

Hal ini dilakukan demi menciptakan koordinasi yang harmonis diantara pemangku kebijakan sertifikasi.
Koordinasi ini penting untuk menciptakan kerjasama staekholder sehingga gejala dualisme di masa lalu bisa dihilangkan.

Sesuai amanat UU No.33 Tahun 2014 Pasal 4 bahwa “Semua produk yg beredar, dijual dan diperdagangkan di masyarakat wajib memiliki Sertifikat halal”, secara bertahap target Pemerintah pada Oktober 2024 nanti, semua pelaku usaha wajib bersertifikat halal. Maka ini merupakan era baru karena sebelumnya sertifikasi halal hanya bersifat Volunter/ sukarela.

Persoalannya untuk pelaku usaha menengah ke atas mungkin tidak masalah jika saatnya nanti diberlakukan wajib sertifikat halal, akan tetapi kemungkinan memberatkan bagi pelaku usaha kecil/mikro. Inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk meluncurkan program Setrtifikat halal gratis (Sehati).

Pelaku usaha kecil/mikro yang bisa ikut program Sehati adalah semua pelaku usaha kecil/mikro di bidang makanan dan minuman (kecuali yang berbahan dasar daging sapi atau ayam) yg omzet pertahunnya di bawah RP. 500.000.000,-.
Itulah sebabnya Dalam UU Cipta Kerja dinyatakan bahwa Sertifikasi Halal ada dua macam yakni sertifikasi halal regular yang berbayar dan sertifikat halal dengan self declare (pernyataan halal) yang saat ini dikenal dengan Program Sehati (Sertifikat halal gratis) yang diperuntukan bagi pelaku usaha kecil/mikro.

Sistem self declare dalam program Sehati bagi para pelaku usaha kecil adalah dilakukan dengan “mendeklarasikan” sendiri dan menceritalan sendiri cara pengolahan produk olahan yang mereka buat. Itulah sebabnya dalam lembar form pendaftaran program Sehati, seorang pelaku usaha diharuskan mengisi proses pengolahan produk yang dibuatnya.

Dengan Sistem self declare ini maka pelaku usaha kecil tidak harus menyewa jasa laboratorium untuk meneliti apakah produknya memang halal untuk dikonsumsi. Ini dilakukan karena memang produk olahan pelaku usaha kecil berbahan dasar sederhana yang tidak diragukan lagi ke-halal-an nya.

Yang perlu diperhatikan betul saat ini oleh para pedagang kecil adalah toleransi Pemerintah sampai Oktober 2024 nanti. Sebab lewat dari batas itu yang tidak bersertifat halal akan mendapatkan sanksi. Bahkan nanti, mengurus sertifikat halal kemungkinan besar akan berbayar.

Untuk itu mumpung ada program Sertifikasi halal gratis, ini adalah kesempatan emas untuk dimanfaatkan. Jangan sampai nanti ada pedagang kecil yang tiba-tiba terpaksa terkena sanksi gara gara tidak mempunyai sertifikat halal, sementara ketika akan memproses sertifikat halal, mereka harus membayar dengan nominal yang mungkin memberatkan mereka.

Akhirnya harus ditekankan bahwa program sertifikasi halal ini perlu mendapatkan dukungan semua pihak. Dari sisi petugas pendamping halal, ini adalah sebagai amal ibadah dalam rangka menegakan perintah Allah, sedangkan dari sisi pelaku usaha berharap mudah-mudahan program ini tidak memberatkan disebabkan karena biaya produksi yang semakin membengkak. WaAllahu a’lam bissawwab.***

Related Articles

Back to top button