Komunikasi dan Solidaritas
Oleh: Dedy Sutrisno Ahmad Sholeh
Alumni Prodi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
KONFLIK sosial, bahkan mengarah dan berubah menjadi tindak anarkis, sudah sering kita saksikan di berbagai media massa, tidak tertutup kemungkinan kita alami sendiri.
Kasus perkelahian antar pelajar, baku hantam antar gank motor, baku serang antar warga desa sudah bukan barang baru dalam masyarakat kita.
Konflik-konflik itu, pada umumnya bersifat spontan, dipicu oleh dorongan-dorongan sesaat, dilandasi sebab musabab yang kurang rasional, bahkan sering hanya karena alasan sepele, tidak tanggung-tanggung bahkan ada yang sampai meninggal.
Namun dalam beberapa tahun akhir-akhir ini, kita menyaksikan maraknya dan makin beraninya pelaku konflik dengan tindak kekerasan yang sedikit-banyak terencana. Tidak lagi bersifat spontan, sering melibatkan pelaku dalam jumlah besar.
Termasuk dalam tindak kekerasan ini adalah perilaku agresif, pembegalan, perampokan, penjarahan. Tidak jarang diperparah dengan penganiyaan, pemerkosaan, pembunuhan, di samping pengrusakan harta benda.
Motifnya mempunyai kisaran cukup lebar, dari sekedar bertahan hidup sampai pemerkayaan diri, dari rasa kecewa sampai frustasi, dari ungkapan iri dengki sampai pelampiasan dendam kesumat.
Tindak Kekerasan Kelompok Sosial
Konflik dengan tindak kekerasan itu banyak yang merupakan kekerasan kelompok (group violence), karena isu atau masalah yang melandasinya bukan lagi individual atau personal, tetapi sosial. Aksi-aksinya cukup terorganisasi namun tidak selalu terkait dengan kelembagaan langsung.
Kategori konflik dengan kekerasan yang berbahaya ialah yang memang dirancang secara rapih, canggih dan dengan timing yang terpilih tepat. Perencanaan dan operasinya ‘tertutup atau rahasia’ (covered operation).
Tindak kekerasan kelompok biasanya mempunyai musuh sasaran yang jelas. Berlakulah proses psikologi “stereotype” “musuh” ditentukan berdasarkan kriteria atau definisi yang sudah dirumuskan sebelumnya berdasarkan hubungan afiliasinya. Yang penting bukan perbuatannya jahat atau tidak, tetapi masuk golongan mana dia.
Dengan demikian, konflik sosial baik sebagai bibit maupun sebagai gejala nyata sudah dilembagakan secara resmi. Reaksinya jelas, masyarakat berkesimpulan bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan keluar. Kekerasan dikhawatirkan menjadi membudaya.
Konflik yang berkembang menjadi tindak kekerasan gerombolan tidak jarang terjadi di negara kita yang luas dan majemuk, serta penuh kesenjangan ini yang mengandung berbagai pertentangan atau konflik antara berbagai kelompok kepentingan, baik yang latent maupun yang manifest.
Adanya konflik sosial, apalagi yang disertai tindak kekerasan, adalah bukti bahwa ada kemacetan komunikasi antar berbagai golongan dalam masyarakat kita yang majemuk.
Jika diakui bahwa komunikasi adalah bagian dari proses budaya yang adab, maka komunikasi dengan berbagai kiat dan pendekatannya bisa dipercaya untuk berperan meredam atau paling sedikit mengantisipasi datangnya konflik.
Meskipun ada krisis perbedaan diametral antara berbagai kelompok kepentingan, namun selama masih terbuka saluran komunikasi, masih ada kemungkinan untuk mencapai saling pengertian, akomodasi, mungkin malah kesepakatan kerjasama dan perdamaian.
Komunikasi bukan propaganda, penyebaran tak berimbang dari pendapat atau kemauan dari yang kuat kepada yang lemah.
Komunikasi bukan sekedar rekayasa media. Komunikasi yang wajar dalam pergaulan masyarakat yang beradab dan demokratis. Kami ulangi adalah proses penciptaan kebersamaan dalam makna.
Intinya adalah mencari titik temu. Modalitasnya adalah musyawarah, dialog, negosiasi. Tujuannya untuk mencapai kesepakatan untuk mendekatkan kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan (win-win solutions).
Musyawarah bukan teknik atau taktik pengambilan keputusan, melainkan semangat (spirit) memahami dan menghormati pendapat orang lain, yang menjiwai (inspire) proses pengambilan keputusan. Musyawarah tidak berkonotasi kuno atau modern.
Peran Komunikasi
Komunikasi yang kita kehendaki bukan propaganda dan bersifat linier, berlangsung satu arah. Komunikasi harus kita rancang secara konvergen dan sirkular.
Menurut pola ini sumber dan arus komunikasi tidak tergantung pada komunikator tunggal, siapapun dia itu. Tetapi siapa saja harus diusahaan dan diberi kesempatan untuk menjadi objek dan subjek komunikasi.
Komunikator tidak perlu dimonopoli oleh para birokrat professional, atau penguasa karena menguasai media komunikasi, entah melalui institusi yang menjadi wewenang mereka, entah melalui dana dan tenaga yang mereka miliki. Siapa saja, yang peduli dan kompeten, yang berdedikasi dan kredibel perlu diberi akses komunikasi dan kesempatan menjadi komunikator.
Komunikasi yang demikian secara berangsur bisa secara sadar merubah iklim sosial, atau lingkungan manusia yang kondusif bagi kehidupan demokratis dan beradab, yang tertib, tenteram, rajin bekerja dan sejahtera lahir dan batin.
Komunikasi untuk mengantisipasi dan meredam koflik adalah komunikasi yang mengedepankan keadilan, kejujuran, demokrasi dan peradaban. Semua modalitas boleh kita pakai mulai dari komunikasi massa jarak jauh (distant communication) sampai tatap muka (face to face).
Krisis termasuk konflik memang perlu disiarkan, kalau tidak kewaspadaan masyarakat akan tumpul. Tetapi perlu disiarkan pula secara berimbang peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kejadian-kejadian yang sejuk dan adem ayem, cara-cara damai (non-violence) dalam mengusahakan perubahan dan perbaikan negara kita.
Ketertiban, ketenteraman, kegairahan kerja dan kesejahteraan lahir batin yang dirasakan oleh masyarakat, itulah yang merupakan peran komunikasi dalam meredam konflik. Allahu a’lam