Menyoal Pendidikan Lebih Maslahat
Oleh : Atin Apririyanti
Guru SDN 2 Gembongan Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon
PENDIDIKAN sebagai salah satu hal yang paling krusial dalam pengembangan pola pikir dan pola gerak siswa harus selalu berproses. Jangan sampai diselewengkan oleh oknum yang memiliki tujuan tertentu.
Jika pendidikan “berselingkuh” dengan oknum-oknum tersebut bisa jadi pendidikan yang awalnya berfungsi untuk mencerdaskan malah menjadi alat atau doktrinisasi atau dogmatisasi dalam upaya penghegemonian kekuasaan.
Tidak tertutup kemungkinan, bisa jadi bersekolah, murid menjadi bodoh karena pendidikan yang membodohkan.
Bahkan secara nyata komersialisasi pendidikan terjadi di depan mata. Ini artinya pendidikan bukan lagi menjadi pembebas seperti identitas otentiknya.
Pendidikan telah kehilangan jati dirinya jika ada pihak yang dirugikan. Hal ini disebabkan bahwa pendidikan seharusnya menjadi tempat penanaman nilai-nilai kesalihan yang akan diejawantahkan dalam kehidupan di masyarakat.
Akan tetapi saat ini pendidikan telah melahirkan out put yang prematur dan tidak jelas orientasinya. Keadaan seperti ini melahirkan adanya pelaku-pelaku baru dalam sistem dan pola “yang menindas dan tertindas”. Karena itu penyalahgunaan pendidikan harus segera diakhiri.
Pendidikan berlangsung sejak manusia itu lahir ke dunia, karena pendidikan adalah upaya untuk mengeksplorasi potensi anak didik dan “kawah candradimuka” dalam membentuk intelektualitas, moralitas dan mentalitas.
Hal tersebut merupakan cerminan dari tiga aspek yang dikaji dalam pendidikan, yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik. Disinilah siswa dibekali agar dapat mengarungi samudera kehidupannya kelak.
Namun sayang sekali, realitas saat ini justru menampakkan wajahnya yang carut marut dan bobrok. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan telah bergeser fungsinya menjadi hanya sekedar “halte” dengan jurusan perolehan gelar akademik semata.
Orang tua yang tak mau repot mengurus anak-anaknya, menyerahkan anaknya pada guru sepenuhnya tanpa dibarengi kontrol dan menukarnya dengan sejumlah uang yang kadang tidak sedikit.
Sehingga image bahwa sekolah yang baik itu yang mahal dan yang mahal itu pasti berkualitas tumbuh subur di masyarakat. Sekarang pendidikan hanya dapat dikenyam oleh segelintir orang saja.
Menurut Andreas Harefa, dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran di Era Serba Otonomi, dikatakan, mau tidak mau harus diakui bahwa persoalan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia salah satunya adalah tidak mempunyai seluruh anggota masyarakat untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam kemajuan dunia pendidikan.
Yang paling memprihatinkan, kondisi ini menyebabkan pemerataan pendidikan tidak dapat direalisasikan kendati sebagai seorang muslim menuntut ilmu itu wajib hukumnya, siapapun orang tersebut. Kemudian diperkuat dengan hukum positif di Indonesia, UUD 1945 pasal 27.
Dampak lain dari penyalahgunaan pendidikan adalah mengecilnya kesempatan untuk menikmati pendidikan dan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Ini menandakan adanya penyelewengan pendidikan secara poltik-ekonomi yang kemudian melahirkan pendidikan untuk orang miskin terganggu realisasinya.
Menurut Eko Frasetyo, dalam buku yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah, disebutkan situasi ini dipengaruhi pula oleh derasnya arus globalisasi yang melanda Indonesia melalui liberalisasi, kapitalisasi, dan privatisasi lembaga pendidikan.
Secara kasat mata terlihat perbedaan yang timbul antara yang berpendidikan dengan yang tidak berilmu sebagai akibat dari nilai-nilai pendidikan yang didapatkan walau dengan bersekolah tidak ada jaminan yang mutlak bahwa seseorang akan pintar.
Jika hal ini dibiarkan lebih lanjut, perbedaan ini akan menimbulkan efek psikologis yang dapat mengakibatkan tidak ada atau rendahnya kepercayaan diri untuk merubah keadaan.
Tak jarang kebijakan publik yang diputuskan pemerintah mempengaruhi kinerja sekolah dan ada pula yang mencoba mempolitisasi pendidikan yang pada hakekatnya pendidikan sebagai suatu komoditas yang “laku” untuk dijual dan semakin mempersempit orang miskin untuk mengakses pendidikan.
Maka untuk meminimalisir keadaan ini diperlukan konsep atau lembaga pendidikan yang dapat dijangkau oleh orang miskin secara materi agar tercipta suatu pola pendidikan yang terjangkau, tidak menelan biaya yang tinggi tapi punya daya saing dan respek pada kesejahteraan guru.
Wallahu a’lam.***