JPPRA Kecam Dugaan Intimidasi Korban Pemerkosaan
CIREBON – Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) mengecam adanya dugaan intimidasi yang dilakukan oknum jaksa di Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang, Banten, terhadap korban pemerkosaan dan ancaman kekerasan yang dilakukan terdakwa ALW.
Sekretaris Umum JPPRA, Agung Firmansyah mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sudah semestinya segala proses hukum harus berdasarkan perspektif keberpihakan kepada korban.
“Bukan justru korban mendapatkan beban ganda karena mengalami intimidasi di tengah rasa trauma yang ia terima dengan begitu berat,” kata Agung, Minggu (2/72023)
Ia berharap, proses hukum yang berlangsung dikembalikan kepada rel dan semangat untuk perlindungan dan pemulihan korban. Untuk para penegak hukum, ia minta agar tidak justru menunjukkan tindakan-tindakan diskriminatif yang merugikan korban.
“Di kasus ini, misalnya, keluarga korban mengaku baru mendapatkan informasi justru saat sidang kedua ketika adiknya dipanggil sebagai saksi. Jadi, tidak satu pun dari pihak korban mengetahui dakwaan terhadap pelaku,” kata Agung.
Sekretaris Majelis Masyayikh JPPRA, Nyai Uswatun Hasanah Syauqie mengatakan, kekerasan seksual merupakan pelanggaran berat yang seharusnya tidak memberikan peluang toleransi sedikit pun kepada pelaku.
“Kekerasan seksual yang dilakukan ALW merupakan tindakan yang sama sekali tidak dapat ditoleransi apa pun motifnya. Tidak hanya tubuh korban yang dilecehkan, tetapi mental, intelektual, dan spiritualnya yang telah dibangun oleh korban tiba-tiba ‘dibunuh’ dengan keji oleh pelaku,” kata sosok yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto tersebut.
Penegak hukum, kata dia, adalah kepanjangan tangan Tuhan yang seharusnya bekerja menyelesaikan kasus ini dengan segera. Bukannya lembek dan menjadi khianat terhadap masalah kemanusiaan hanya demi menghamba kepada pihak-pihak yang memiliki relasi kuasa.
Iman Zanatul Haeri, salah seorang guru di Pondok Pesantren Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan asuhan KH Said Aqil Siroj mengungkapkan bahwa dirinya sedang mencari dan menuntut keadilan hukum atas peristiwa yang menimpa adik kandungnya. Menurut penuturan Iman, adiknya diperkosa. Pelaku berinisial ALW memaksa adiknya menjadi pacar dengan ancaman video/revenge porn.
“Selama 3 tahun ia bertahan penuh siksaan. Persidangan dipersulit, kuasa hukum dan keluarga saya (korban) diusir pengadilan. Melapor ke posko PPA Kejaksaan, malah diintimidasi,” ungkap Iman.
Selama kasus berlangsung, kata Iman, keluarga berharap bahwa korban (adiknya) akan tetap kuat menjalani sampai ia mendapatkan keadilan. Namun, menurutnya, proses persidangan sangat janggal.
Ia menceritakan saat sidang pertama berlangsung, adiknya, keluarga, dan kuasa hukum sama sekali tidak mendapatkan informasi mengenai jadwal sidang. “Jadi kita enggak tahu kalau sudah masuk persidangan,” ungkap Iman.
Dia menjelaskan bahwa keluarganya baru mendapatkan informasi justru saat sidang kedua ketika adiknya dipanggil sebagai saksi. Jadi, kata Iman, tidak satu pun dari pihak korban mengetahui dakwaan terhadap pelaku.
Iman menceritakan, sidang kedua berlangsung pada 6 Juni 2023. Sebelum persidangan, adik dan kakaknya (saksi) dipanggil oleh jaksa penuntut kasus tersebut. Saat di kejaksaan, adiknya yang menjadi korban bejat ALW dipanggil ke ruangan pribadi jaksa.
“Ia (jaksa) berkali-kali menggiring opini psikologis korban (adik kami) untuk ‘memaaafkan’, ‘kami harus bijaksana’, ‘kamu harus mengikhlaskan’, keluarga, korban, dan kuasa hukum hadir dipersidangan. Saat itu kuasa hukum kami sempat diusir dari ruang sidang,” ungkap Iman.(Ismail/Rilis)