Opini

Dilema Proposional Terbuka atau Tertutup: Antara Kader dan Keder

Oleh: Ikfal Al Fazri
Tenaga Ahli DPRD Kabupaten Cirebon
Wakil Sekretaris DPC PKB Kabupaten Cirebon

SELURUH masyarakat Indonesia khususnya Cirebon menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menguji materi pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional daftar terbuka dalam Undang-Undang Pemilu.
Produk hukum dihasilkan dari sebuah Kebijakan politik. Secara politik, hukum merupakan hasil proses politik, akan tetapi selain hukum selaku produk pertimbangan politik, ada pula politik hukum sebagai dasar untuk menentukan arah atau kebijakan hukum yang harus diterapkan pada negara. Persoalan hubungan antara hukum dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu menarik untuk diperbincangkan karena kedua hal tersebut merupakan dua variabel yang selalu mempengaruhi.

Pada 30 Desember 2022 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) diminta mengganti sistem pemilu anggota legislatif dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Permohonan uji materi dilakukan sejumlah politisi dan warga negara agar Pasal 168 Ayat 2 dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Berawal dari era Reformasi, penerapan sistem pemilu proporsional selalu menuai perdebatan. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem proporsional adalah sistem pemilu yang dipilih para pembuat kebijakan.
Variasinya relatif terbatas: menggunakan proporsional tertutup, setengah terbuka, atau terbuka penuh.
Dikutip dari Moh Nurhasim (2023) bahwa Proporsional tertutup digunakan di Pemilu 1955 (dengan perbedaan adanya calon perseorangan), sepanjang pemilu era Orde Baru, hingga Pemilu 1999.

Pada Pemilu 2004 sistem proporsional ”Sete- ngah” terbuka diterapkan. Proporsional terbuka (penuh) mulai diterapkan sejak adanya Putusan MK No 22-24/ PUU-VI/2008 menjelang Pemilu 2009, mengoreksi penerapan proporsional ”setengah” terbuka jadi terbuka penuh, yang berlaku hingga Pemilu 2024.

Kader Militan dan Kader Karbitan

Dalam sistem pemilihan tertutup atau terbuka, sebagai kader partai politik semestinya siap dalam kondisi apapun untuk kemenangan partai. Walaupun dari kedunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Penulis menyebut ada dua tipe kader yaitu kader militan dan kader karbitan. Dimana kader yang siap bertarung dalam kondisi apapun ialah seorang kader militan, sebaliknya mereka yang mundur disaat ada perubahan sistem proposional tertutup ialah seorang kader karbitan.

Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu di mana pemilih memiih langsung wakil-wakil legislatifnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politiknya saja.
Dalam sistem proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik. Melalui sistem proporsional tertutup, setiap partai memberikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan (Dapil).
Dalam proses pemungutan suara dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih parpol. Kemudian setelah perolehan suara dihitung, maka penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.

Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih akan memilih satu nama calon anggota legislatif sesuai aspirasinya. Dalam sistem proporsional terbuka, partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh. Setelah itu, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kelebihan sistem proporsional tertutup ialah (1) Memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas (2) mampu meminimalisir praktik politik uang, (3) meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol.

Sedangkan kelebihan sistem proporsional terbuka ialah (1) Mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan, (2) terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan kandidat, (3) pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang dikehendakinya, (4) partisipasi dan kendali masyarakat meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen.

Akan tetapi, sistem proporsional tertutup juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu: (1) pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa kandidat caleg yang dicalonkan dari partai politik, (2) tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat, (3) menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascapemilu., (4) potensi menguatnya oligarki di internal parpol, (5) munculnya potensi ruang politik uang di internal parpol dalam hal jual beli nomor urut.

Sedangkan kelemahan sistem proporsional terbuka adalah: (1) membutuhkan modal politik yang cukup besar sehingga peluang terjadinya politik uang sangat tinggi, (2) penghitungan hasil suara rumit, (3) sulit menegakkan kuota gender dan etnis, (4) muncul potensi mereduksi peran parpol, (5) persaingan antarkandidat di internal partai.

Dilema Proposional Terbuka dan Tertutup
Secara tekstual, teoretis, dan kontekstual, beberapa varian itu bukanlah pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945). Demikian pula penggunaan sistem pemilu apa pun; proporsional (terbuka, setengah terbuka, atau tertutup), majoritarian, atau campuran; pada hakikatnya tidak melanggar UUD 1945.
Begitu pula dengan penerapan sistem kepartaian multipartai yang ekstrem atau moderat, dwipartai, presidensialisme dengan sistem mayoritas, dan sistem distrik berwakil banyak. Semua pilihan variasi sistem pemilu, baik untuk pemilu legislatif, presiden, maupun pilkada, tak melanggar asas konstitusional.
Secara filosofis, semua sistem pemilu yang tersedia saat ini adalah instrumen demokrasi untuk pergantian kepemimpinan dan kekuasaan secara damai yang tak melanggar konstitusi negara mana pun, kecuali tersirat ada pengecualian pada suatu konstitusi negara.

Karena itu, pertimbangan inkonstitusional sistem pemilu sebenarnya tidak memiliki justifikasi teoretis, tekstual, kontekstual, dan substansial yang memadai.
Masyarakat Indonesia tentunya menunggu MK untuk menggelar Putusan Sistem Pemilu, infonya akan digelar pada 15 Juni 2023.Bagi kader partai, hasil keputusan MK merupakan hasil yang harus diterima dan siap melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jadilah kader militant bukan karbitan. ***

Back to top button