Nasional

Tanah Dirampas Sejak 1997, Yayasan Buddha Metta Cirebon Temui Mahfud MD

CIREBON- Perwakilan Yayasan Buddha Metta Cirebon menemui Menko Polhukam, Mahfud MD, di Jakarta. Pertemuan ini difasilitasi anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka. Pertemuan ini membahas pengembalian aset yayasan berupa sertifikat lima bangunan, di antaranya Vihara Dewi Welas Asih dan Klenteng Talang, yang dirampas paksa pada tahun 1997.

Rieke sendiri ditunjuk sebagai penerima mandat dari pengurus Yayasan Buddha Metta Cirebon dalam upaya penyelesaian pengembalian aset yayasan.

Sekretaris Yayasan Buddha Metta Cirebon, Richard D Pekasa memberikan pemaparan dan menyerahkan berkas dengan judul ‘Upaya Pengembalian Aset Yayasan Buddha Metta Cirebon’ kepada Mahfud MD.

“Dalam kesempatan tersebut, Bapak Mahfud MD menjadwalkan pertemuan dengan Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan dan Kementerian ATR/BPN dalam dua Minggu ke depan,” ujar Richard.

Menurutnya, upaya menemui Menko Polhukam ini sebagai upaya percepatan penyelesaian permasalahan yang telah berlarut selama 26 tahun. “Diharapkan bisa menjadi contoh bagi penyelesaian pengembalian pada permasalahan serupa,” tuturnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun KC, Yayasan Buddha Metta meminta lima sertifikat vihara di Kota Cirebon dikembalikan. Kelima vihara ini yaitu Vihara Dewi Welas Asih, Vihara Pemancar Keselamatan, Klenteng Talang, Vihara Budi Asih dan mes guru Talang.

Kelima sertifikat hak guna bangunan ini diambil paksa pada tahun 1997, diduga dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berkali-kali pihak yayasan meminta sertifikat tersebut dikembalikan, berbagai upaya dilakukan, namun hingga 26 tahun kemudian usaha itu belum membuahkan hasil.

“Sertifikat sudah diambil paksa oleh Sospol (sekarang Kesbangpol) pada tahun 1997. Padahal, sebenarnya lima tempat ini sudah berdiri lama, Vihara Dewi Welas Asih berdiri pada tahun1595, Klenteng Talang berdiri pada 1450. Sudah berdiri ratusan tahun, jauh sebelum Indonesia merdeka,” ujar Sekretaris Yayasan Budha Metta, Richard D Pekasa.

Hingga saat ini, menurutnya, pihak Pemerintah belum mengembalikan sertifikat tersebut.

“Setiap ditanya, selalu jawabannya dalam proses. Kita sudah ke BPN, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, ke anggota DPR RI, Wantimpres, hingga ke Sultan Kanoman. Namun semua upaya kami belum membuahkan hasil,” ungkapnya.(Fanny)

 

Related Articles

Back to top button