Pendekatan Diri dengan Tauhid
Oleh : Dedy Sutrisno Ahmad Sholeh
Alumni Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
IDULl Adha kerap kita lalui tiap tahun, namun bagi seorang muslim momen tersebut harus dijadikan sarana instrospeksi dan perenungan kembali seperti yang diterangkan dalam Alquran, salah satu yang paling pokok diantaranya adalah pendidikan yang ditanamkan Nabi Ibrahin kepada puteranya, Ismail.
Ismail seorang anak yang masih remaja mau disembelih oleh bapaknya. Padahal kita tahu disembelih itu sakit, tapi Ismail rela disembelih. Kenapa beliau demikian? karena keduanya, baik bapak maupun anaknya memiliki tauhid yang kuat. Dengan tauhid yang kuat keduanya rela mengorbankan apa saja termasuk dirinya demi melaksanakan tauhid kepada Allah SWT.
Menurut sejarah, ibadah qurban ini adalah termasuk ibadah yang paling tua usianya. Karena qurban sudah disyari’atkan oleh Allah kepada putera-putera Nabi Adam as. Seperti diungkapkan dalam Alquran mengenai kisah Qabil dan Habil yang telah melakukan qurban.
Masyarakat Jahiliyah sebelum Nabi lahir, sudah ada kebiasaan berqurban. Menurut catatan sejarah, Nabi sendiri pernah mengemukakan bahwa “Saya adalah keturunan dari dua orang yang pernah diqurbankan”.
Yang dimaksud adalah pertama, Nabi Ismail as. Kedua adalah Abdullah, ayah beliau sendiri yang pernah dikorbankan yang kemudian diganti dengan mengorbankan 100 ekor unta oleh kakeknya yaitu Abdul Mutholib.
Zaman sekarang kita harus mengikuti pendidikan yang ditanamkan Nabi Ibrahim yaitu mendidik anak-anak kita dengan tauhid yang kuat dan konsisten kepada tauhid. Kita harus ingat yang namanya tauhid bukan rukun iman atau bukan cuma percaya sifat-sifat Allah.
Tauhid adalah konsisten dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam segala-galanya. Harus diingat pula, jangan sampai tauhid hanya untuk persiapan di akhirat nanti. Sebetulnya dengan bertauhid akan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat pula.
Kisah Nabi Ibrahim dengan bertauhid yang kuat sampai akhirnya putra-putra beliau menjadi para nabi. Negaranya menjadi baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur. Sebagaimana kita lihat sekarang kota Makkah yang asalnya gersang kini menjadi subur makmur. Hal itu Berkat doa Nabi Ibrahim yang dikabulkan Allah karena bertauhid secara murni dan konsekuen.
Nabi Ibrahim mendidik anaknya dengan di “pesantrenkan”. Nabi Ibrahim tinggal di Palestina, tapi oleh beliau, anaknya ini di”singkirkan” ke pesantren. Pesantrennya di lingkungan Masjidil Haram yang sekarang dinamakan Hijr Ismail dan sebagai gurunya tidak lain ibunya sendiri, Siti Hajar. Ternyata dengan di pesantrenkan berhasil.
Kita mendidik anak pun harus mengikuti Nabi Ibrahim, selain menyekolahkan untuk kebutuhan duniawi, tidak lupa mendekatkan anak dengan pendidikan agama. Nabi Ibrahim mempesantrenkan anaknya sangat jauh dari tempat tinggalnya. Dari Palestina sampai ke lembah Mekah, jaraknya mencapai ribuan kilo meter.
Jika tauhid ini ditanamkan, insya Allah negara kita akan beres. Tauhid ini berpengaruh pula kepada akhlaknya. Dalam surat Al Furqan dijelaskan, “Seorang yang bertauhid kuat tidak mungkin berperilaku menyimpang”.
Seharusnya korupsi pun akan hilang. Dalam hadits dijelaskan, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak amanah”. Jadi memperbaiki akhlak harus diikuti dengan tauhid yang kuat.
Idul Adha dalam perspektif sosial bagi manusia banyak keuntungannya. Dengan banyaknya umat Islam naik haji, mendorong orang menjadi kaya.
Akibatnya, umat Islam mampu membeli binatang yang berimbas pada peningkatan sosial ekonomi peternak, karena setiap Idul Adha orang memerlukan jutaan binatang yang akan disembelih.
Peluang Ini dapat meningkatkan sosial ekonomi umat Islam, jangan sampai binatangnya dibeli dari orang lain. Jika umat Islam diberdayakan untuk memelihara dan mengembangkan peternakan akan lebih bermanfaat.
Dalam ajaran Islam paling tidak ada tiga macam ibadah yang diwujudkan dalam bentuk pemotongan hewan qurban. Pertama, tepat tanggal 10, 11, 12 dan 13 Zulhijah yang dilakukan oleh mereka yang mampu untuk melaksanakan pemotongan hewan qurban.
Diantaranya satu ekor kambing untuk satu orang, paling tidak untuk satu keluarga dan satu ekor sapi untuk tujuh orang.
Kedua, adalah yang terikat atau satu paket dengan ibadah haji. Bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji tamattu atau qirad diperintahkan untuk untuk melaksanakan pemotongan hewan qurban, atau dikenal dengan Alhadyu atau pula sering disebut dengan istilah Dam Tamattu dan Dam Qirad.
Pemotongan hewan yang ada kaitannya dengan ibadah haji ini, mesti dilakukan di Mina dan tidak boleh dilakukan dinegeri sendiri.
Bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan Alhadyu diperintahkan untuk menggantinya dengan puasa selama 10 hari, 3 hari di musim haji yakni di tanah suci dan 7 hari setelah pulang ke negeri masing-masing.
Ketiga, ibadah memotong seekor kambing itu karena ada acara di tengah-tengah keluarga. Bagi mereka yang dianugerahi oleh Allah kelahiran seorang bayi, maka ketika bayi itu menginjak hari ketujuh, lakukanlah pemotongan hewan qurban. Inilah yang dinamakan Aqiqah.
Qurban merupakan syari’at yang berlaku secara universal, bahkan kalau kita melakukan kajian berbagai macam agama, sekurang-kurangnya agama yang resmi di Indonesia, semuanya mengajarkan tentang qurban itu. Walaupun cara dan aturannya berbeda-beda. Islam mengingatkan tentang qurban tersebut.
Dalam Alquran surat Al-Kautsar ditegaskan bahwa qurban itu harus menjadi bagian manifestasi syukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita, ”Inna a’thoinaa kal kautsar fasholli lirobbika wanhar…”Aku berikan kepadamu nikmat yang serba banyak, maka sikapi nikmat itu dengan “fasholli” yakni lakukan sholat, “wanhar” dan berqurban.
Sholat dan berqurban sebagai salah satu manifestasi syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah Swt.
Wallahu a’lam.***