Opini

Urgensi Pendidikan Politik & Etika

Oleh Mohamad Joharudin

*Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan dan Sains FPS Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon. Saat ini menjabat Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Cirebon.

PENDIDIKAN politik dan pendidikan etika sangat dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia terlebih lagi dalam dunia pendidikan. Perilaku negatif di kalangan elite politik dan elite pejabat di Indonesia dewasa ini, perilaku korupsi kalangan oknum pejabat menjadi penyumbang indeks buruknya iklim bisnis di Indonesia pun tak bisa dilepaskan karena nir-etika dan moral di kalangan elite tersebut. Sementara itu, Pemilu Serentak 2024 di seluruh Indonesia telah di depan mata. Lantas, pendidikan politik dan etika seperti apa? Mengapa dianggap penting? Lalu apa tujuannya?

Pendidikan politik

Untuk me-restart (memulai kembali) langkah urgen bagi pembangunan demokrasi  yang sehat, bangsa Indonesia yang maju dan hebat serta pemilu bermartabat maka harus dilakukan percepatan dalam membangun kesadaran politik (political awareness) bagi setiap warganya. Maka, langkah fundamental yang dapat diambil ialah dengan menerapkan ‘Pendidikan Politik dan Etika’ untuk semua elemen, baik di pendidikan formal maupun nonformal.

Hal itu mutlak perlu dilakukan karena tidak mungkin kita menunggu tingginya kualitas pendidikan formal di Indonesia. Sebab, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk Indonesia tahun 2022 ini baru mencapai 8,69 tahun atau masih di level di kelas 2 SMP. Menunggu di usia lulus SMA tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Pendidikan politik memiliki peran penting dan sangat diperlukan bahkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, apalagi bagi kalangan pendidikan terutama dosen, guru, mahasiswa dan bahkan siswa sekolah sejak dini dan pendidikan dasar. Sebab, seluruh kebijakan (hukum) yang ada dalam setiap lembaga Pemerintah di negeri ini, yang mengatur segala bentuk tata kehidupan berbangsa dan  bernegara pada hakikatnya adalah sebuah produk politik.

Sebagaimana dalam tata urutan hukum di Indonesia di mana Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum positif di Indonesia kemudian UUD 1945 yang merupakan dasar dalam membuat produk hukum di Indonesia. Baik Pancasila dan UUD 1945 yang bahkan sudah mengalami perubahan hingga perubahan (amandemen) keempat merupakan sebuah hasil “kompromi” politik antar tokoh yang beragam latar belakang, suku, agama ras dan golongan.

Berikutnya, segala undang-undang (UU), Keputusan/Peraturan Presiden (Keppres/Perpres), Peraturan Menteri  (permen), Peraturan Daerah (Perda) dan aturan-aturan lain yang mengatur setiap aspek kehidupan adalah produk politik. Dengan demikian, pengenalan akan hakikat politik, praktik politik yang baik dan tujuan politik harus dapat dipahami tidak hanya oleh elite di negeri ini yang di antaranya bahkan malah “membiaskannya” bahwa politik seolah hanya kekuasaan “an sich.”

Padahal, memahami esensi politik yang saat ini dibangun dalam Trias Politika, di mana kekuasaan dibagi dalam tiga elemen: pertama, legislatif (melakukan legislasi, membuat hukum dan aturan) yakni oleh DPR dan DPRD; kedua, eksekutif (menjelankan legislasi, menjalankan kebijakan dan hukum yang ada dengan segala kewenangannya) di Indonesia direpresentasikan oleh Presiden, Gubernur dan Bupati/Wali Kota beserta jajaran di bawahnya, dan ketiga, Yudikatif (penegak hukum dari produk-produk hukum yang ada, yakni Mahkamah Agung (pengadilan tertinggi), Kepolisian, Kejaksaan, KPK (meskipun ad hoc), Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi  (MK).

Menurut Edwin Nurdiansyah (2015) dalam Jurnal Bhinneka Tunggal Ika, secara lebih luas pendidikan politik diharapkan berfungsi antara lain: pertama, pendidikan politik sebagai pembentukan karakter bangsayang bermaksud untuk mengubah pikiran, sikap dan perilaku manusia ke arah yang menunjukkan kedewasaan.

Kedua, pendidikan politik sebagai pembangunan kesadaran berpolitik bahwa hal itu juga sejalan dengan UU No. 2 Tahun 2008 bahwa tujuan parpol adalah meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat, dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Membangun kesadaran berpolitik dimaksudkan adalah proses penyadaran warga negara tentang hak dan kewajibannya. Ketiga, Pendidikan politik sebagai pembinaan kader parpol untuk melahirkan kader parpol yang andal dan berkualitas sehingga diperlukan sistem pengkaderan yang efektif dan produktif. Pendidikan politik sangat strategis dalam kerangka pembinaan tersebut. Keempat, pendidikan politik sebagai penanaman ideologi kebangsaan.

Kemudian, kebijakan lain yang berkaitan dengan pendidikan politik juga terdapat pada Permendagri No. 36 Tahun 2010 tentang Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik. Pada Permendagri ini dijelaskan, fasilitasi penyelenggaraan pendidikan politik dapat diberikan terhadap kegiatan, antara lain: (1) seminar dan lokakarya; (2) sosialisasi dan diseminasi peraturan perundang-undangan; (3) asistensi, pelatihan dan bimbingan teknis; (4) pagelaran seni dan budaya; (5) jambore, perkemahan, napak tilas; dan (6) berbagai macam perlombaan seperti pidato, jalan sehat, cerdas tangkas, karya tulis ilmiah, film dokumenter, dan cipta lagu.

Pendidikan etika

Sebagaimana ditegaskan oleh Endang Somantri Guru Besar Pendidikan Etika dan Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bahwa membangun nilai-nilai etika melalui pendidikan, baik pendidikan anak maupun orang dewasa.  Pendidikan tersebut memang sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Somantri (2017) juga menegaskan, etika dalam kehidupan setiap diri individu karena etika merupakan filsafat moral dan filsafat tingkah laku manusia.

Obyek etika adalah “tindakan manusia” karena tingkah laku manusia bisa dinilai manusia lain melalui indra manusia sebagai manusia, sekaligus bisa menegaskan bahwa perilaku seseorang manusia itu baik atau buruknya dari etika. Dari penjelasan tersebut, menggambarkan bahwa etika akan menjadi sebuah konsensus bersama antara warga masyarakat dunia sebagaimana diatur dalam “global ethic” atau etika global yang mengatur bagaimana seluruh anggota masyarakat dunia bersama-sama menjaga martabat manusia.

Kemudian, etika normatif menjembatani kesenjangan antara meta-etika dan etika terapan. Ini adalah upaya untuk sampai pada standardisasi moral praktis yang memberitahu kita benar dari yang salah, dan bagaimana hidup dengan landasan moral. Ini mungkin melibatkan kebiasaan baik yang harus kita dapatkan, tugas yang harus kita ikuti, atau konsekuensi dari perilaku kita pada orang lain.

Pada sidang raya internasional pada tahun 1993 di Chicago, Amerika Serikat yang dihadiri 6.500 orang dari berbagai negara dan berbagai agama termasuk dari kalangan agnostik dan atheis bahwa konsep keluhuran martabat pribadi manusia merupakan azas pemersatu antar manusia. Dan itu semua telah disepakati sebagai dasar dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurut Philips R. Sakti, beberapa ahli menyatakan HAM adalah konsep dinamis yang selalu berubah dari waktu ke waktu, ia tidak sependapat, namun ia menganggap bahwa HAM selalu sama sejak awal, tetapi menyingkapnya sedikit-sedikit, jadi pemahaman akan HAM-lah yang dinamis bukan HAM itu sendiri.

Sementara dalam pandangan Noeng Muhadjir (1998) etika sering dicampuradukkan penggunaan pada tataran baik-uruk dalam tampilan, sopan, jujur, patriotik, solider, adil, teguh pada yang benar, mencintai keindahan dan lain-lain. Tampilan sopan dan menghormati tamu merupakan etiket pergaulan. Berupaya untuk jujur dan berkata benar merupakan conduct atau acuan berperilaku baik dan terpuji. Sikap patriotik, demokrat dan solider merupakan virtues atau watak-watak pribadi terpuji. Mencari yang indah, yang logis yang fungsional merupakan upaya-upaya mencari practical values atau nilai praktis. Berjuang untuk keadilan demi kebenaran merupakan perjuangan mempertahankan living values atau nilai-nilai moral kehidupan manusia.

Somantri juga menegaskan bahwa apabila etika dikembangkan kepada makna yang lebih terjangkau pemikiran orang banyak, maka akan melahirkan indikator-indikator dalam bentuk nilai-nilai kehidupan, baik yang konkret maupun abstrak. Artinya, bagi siapa pun yang menjalankan etika kehidupan dengan baik atau dalam Islam (akhlak) maka hal itu akan tercermin dari segala bentuk cara pandang, sikap dan tindakannya yang selalu mengandung nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran, cinta kasih, empati, peduli dan lain-lain.

Begitu juga dengan sumber etika yang berasal dari agama (yang nilai-nilainya berasal dari kitab-kitab suci), budaya masyarakat di mana nilai-nilai etika yang ada berasal dari “konsensus” masyarakat lokal yang dewasa ini dalam pemikiran postmodern adalah kearifan lokal (local wisdom). Dalam istilah lain dikenal juga sengan istilah local genius bagi masyarakat Indonesia yang sangat kaya dengan budayanya saat ini menjadi obyek kajian yang terus digali.

Kemudian berkaitan dengan sumber etika lainnya dari ideologi dan kebijakan Pemerintah di Indonesia bahkan sudah diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VI/ 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa (EKB).  Sebagaimana kita ketahui kompleksitas masalah yang melanda Indonesia saat ini sesungguhnya akibat jauhnya perilaku para pemimpin dan masyarakat terhadap Etika Kehidupan Berbangsa. Merajalelanya korupsi di banyak lini menjadi salah satu masalah yang akut di negeri ini. Bahkan, akibat tingginya indeks korupsi Indonesia menjadi penyebab utama turunnya indeks daya saing global Indonesia. Dilaporkan The Global Competitiveness Report 2016-2017 Indonesia berada di urutan 41 dari 138 negara. Turun 4 peringkat dari periode 2015-2016 berada pada urutan 37 dari 140 negara.

Etika Kehidupan Berbangsa harus kembali menjadi pedoman etika dalam perilaku dan tata kelola dalam setiap lini kehidupan di Indonesia. Diatur dalam TAP MPR RI No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dengan pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa, mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Ditegaskan dalam uraian Etika Kehidupan Berbangsa antara lain: (1) Etika Sosial dan Budaya; (2) Etika Politik dan Pemerintahan; (3) Etika Ekonomi dan Bisnis; (4) Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan; (5) Etika Keilmuan dan (6) Etika Lingkungan.

Komprehensifnya pedoman etika dalam Etika Kehidupan Berbangsa ke depan harus ada langkah konkret dari seluruh stakeholder (pihak terkait) untuk bersama-sama secara gotong-royong menginternalisasikan nilai-nilai tersebut melalui Pendidikan Etika dan Politik pada lembaga pendidikan di semua tingkatan serta di ruang-ruang lainnya. Dengan terbangunnya kesadaran politik secara masif serta kembali kepada nilai-nilai Etika Kehidupan Berbangsa, yang bersumber dari pemikiran para founding father Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945, maka Indonesia sebagai bangsa yang besar akan tetap terjaga seseru apa pun pemilunya dan bahkan mampu menginspirasi dunia.***

 

Related Articles

Back to top button